*
Jadi setelah semua pekerjaan selesai di kantor aku memutuskan untuk kembali ke rumah saja, tubuh dan pikiranku penat ditambah lagi kulihat suamiku masih sibuk dan baik-baik saja di ruang kerjanya.
"Hai, sayang," sapaku dari balik pintu.
"Hai," balasnya dari balik layar laptopnya.
"Masih banyak kerjaan sayang?"
"Gak dikit lagi, kamu mau pulang?" tanyanya.
"Iya, sebaiknya aku pulang, aku sudah lelah."
"Mau kuantar sayang?" tawarnya lembut. Sungguh kelembutan dan keramahannya, suamiku memiliki pesona suami idaman.
Kutatap ia seksama, suamiku dari balik meja kerja masih terfokus pada ketikan dan garwkan tangannya di mouse komputer. Wajah yang maskulin dengan rahang tegas dan hidung mancung khas pria indo padahal ia asli Indonesia. Mata teduh dengan manik kecoklatan dan alisnya yang tebal, tinggi 172 Cm dan bentuk tubuh ateltis membuat pakaian apapun yang dia pakai terlihat sempurna di tubuhnya.
"Hei, kenapa melamun," katanya sambil mengibas-ibaskan tangannya ke udara.
"A-aku ... tidak ada, Mas. Aku pulang dulu ya, sayang." Aku berpamitan dan segera meninggalkan koridor ruang kerjanya.
"Oh ya, sayang," tahannya.
"Aku gak langsung pulang ya, aku ada pertemuan."
Aku sedikit mengernyit mendengarnya sambil melirik jam yang hampir menunjukkan jam empat sore.
"Kemana?"
"Yang aku bilang pagi tadi," jawabnya serius.
"Tapi ini udah jam empat sore, kantor mana yang masih terbuka?"
"Uhm, ini bukan pertemuan resmi, aku harus meloby kesepakatan khusus dengan wakil deriktur mereka," jawabnya dengan roman antusias dan serius.
Aku menghela napas sesaat dan menanyainya, "Yang tadi pagi menghubungi kamu?"
"Oh, bukan, bukan dia. Dia hanya asisten meneger perusahaan tersebut."
"Oh," kataku sambil mengangguk-angguk pura-pura paham.
Jadi, wanita yang dikencani suamiku hanya staf biasa? Sungguh seleranya luar biasa.
**
Di loby utama aku sempat bertemu dengan Pak Bastian Widodo, ia wakil direktur dan termasuk tangan kanan Papa dulunya. Beliau cukup berumur dan punya loyalitas tinggi terhadap korporasi kami. Aku telah mengenalnya dari dulu dan aku mempercayai beliau.
"Selamat sore, Pak."
"Selamat sore, Bu Melda," jawabnya sambil menyambut uluran tangannya dengan penuh hormat.
"Kelihatannya ibu punya maksud tertentu tiba-tiba melakukan inspeksi mendadak, maaf tadi saya ada pertemuan dengan pihak asuransi jadi tak sempat menyapa Ibu sejak pagi tadi," katanya dengan senyum ramah.
Apa? Dia menangani asuransi. Dan tadi Mas Randy bilang akan menemui wakil direktur Moon insurance, lalu jika Pak Bastian sudah menemuinya, siapa lagi yang akan di temui suamiku?
"Bu ...." Pria itu heran melihatku tercenung sejenak.
"Oh, maaf, maafkan saya," kataku tak enak padanya.
"Tak masalah, Bu."
"Pak Bastian anda sudah lama bekerja di sini," sambil aku menatapnya instens agar dia merasa aku begitu menghargainya, "saya mohon bantu saya," pintaku.
"Saya selalu siap membantu anda, Bu direktur, Ibu tinggal katakan saja, apa hag harus saya lakukan," jawabnya hormat.
"Saya mulai sekarang akan lebih sering meminta bantuan dan menelepon, saya harap pertolongan dan pengertiannya," kataku.
"Saya tak mengerti, Bu." Ia terlihat semakin heran dengan cara bicaraku.
"Saya tak bisa banyak bicara sekarang, namun saya minta, tetaplah menjadi Pak basyia, tangan kanan Papa yang baik san loyal."
"Tentu saja, itu pasti Bu."
"Terima kasih."
"Sama-sama." Ia menyalamiku laku aku meninggalkan gedung berloby mewah dengan panel kaca premium dan hiasan lampu-lampu Swedia yang mewah dengan nuansa yang amat berkelas.
*
Aku masih di sini, dduduk dan menunggu dibalik kemudi BMW biru di lokasi parkiran kantorku sendiri. Aku tak memutuskan pulang, karena sesungguhnya aku ingin tahu suamiku akan pergi menemui siapa sore ini.
Aku sudah menyamarkan mobilku agak jauh dari lokasi tempat mobilnya terparkir agar aku bisa mudah memantaunya dan mengikutinya.