“Katanya, Aeldene sudah putus ya dengan Haleth? Sekarang dia sudah punya kekasih yang baru,” bisik bisik yang lebih terdengar seperti dengungan karena semua orang mengatakan hal yang sama hingga aku bosan. Ini adalah hari dimana aku memutuskan untuk mencabik-cabiknya. Aku sudah lelah dengan drama karena telah kubiarkan itu larut terlalu lama. Aku mencoba menutup mataku dan memaafkan setiap tindakan si b******k itu. Tapi kali ini aku sudah tak sudi lagi untuk berlapang d**a dengan apa apa saja yang sudah dia perbuat dibelakangku.
“Iya dia punya,” satu selenting lagi. Aku mendengarnya. Jika sudah muncul isu seperti ini. Jika sudah muncul banyak berita yang sudah dibuat dengan berbagai versi kemungkinan kebenarannya sudah mendekati Sembilan puluh persen.
“Dan katanya, kekasih barunya Aeldene itu Yavanna,” Ah.. aku merasa ingin bolos hari ini. Terlebih lagi, sesuatu seperti ini memang sepertinya disiapkan khusus untukku. Mereka yang tidak dekat denganku (sebenarnya mayoritas kampus) hanya menunggu kehancuranku. Mereka ingin sekali sepertinya melihatku kehilangan akal dan membabi buta untuk membuat kekacauan dengan melabrak nama yang mereka sebutkan. Aku tahu. Sebelumnya aku adalah seorang selebritis kampus, dengan kata lain aku kerap kali dijadikan ajang bagi para pria untuk diperebutkan. Anggap saja aku sedang pamer sekarang, namun aku tidak perlu merasa sombong. Itu bukan pencapaian. Karena gelar yang melekat secara tiba-tiba itulah aku secara tidak sadar menjadi objek kebencian perempuan lain. Yang seangkatan maupun kakak tingkatku. Terlebih aku bukan orang yang supel, sehingga aku dengan mudah disebut sebagai seorang yang sombong dan arogan. Sekali lagi apa kata orang tidak pernah jadi beban pikiran. Lagipula aku memiliki prinsip untuk hidup berdasarkan jalanku sendiri. Orang yang berkualitas akan mengetahui sisi baikku, dan orang yang membenciku akan tetap menilaiku atas keburukan meskipun aku telah berbuat seribu kebaikan. Apa gunanya aku bersusah payah demi sebuah pengakuan yang tidak aku inginkan?
Jika mereka ingin aku bertindak liar, maka tidak akan aku lakukan. Namun aku sekarang sudah mencapai pada sebuah keputusan. Sesuatu yang salah harus diperbaiki, kalau boleh bahkan digantikan dengan yang lebih baik. Si b******k akan terus b******k. Dan si jalang akan tetap jadi si jalang.
***
Aku merangka banyak yang hendak aku gunakan untuk menyoal soal Yavanna. Selepas kelas pertama kami usai, aku memintanya untuk bicara. Dan kedai kopi yang sedikit lebih jauh dari pelataran kampus menjadi pilihanku. Gadis itu tidak banyak bicara dan hanya menurut ketika aku memintanya pergi denganku. Dan hal yang paling menggangguku adalah raut mukanya yang sangat gelisah seperti seseorang yang bersalah dan dosanya telah terkuak sedemikian banyak oleh ku. Namun sepanjang perjalanan aku berpura-pura tidak sadar. Sebab tempat ini bukanlah tempat yang tepat bagiku untuk bicara.
Tiba ditempatnya, setelah lima belas menit saling bungkam. Kami duduk berhadapan. Kutatap dirinya sekali lagi lalu menghembuskan napas berat. Aku tidak mengerti kemana perginya seluruh rasa sakit dan kemarahanku. Padahal semestinya aku bisa saja menjambak rambutnya, atau paling tidak menampar wajahnya. Anehnya aku tidak mood untuk melakukan itu semua. Padahal setelah aku mengetahui kejahatan gadis cantik ini dibelakangku dan juga didepan mataku. Apa kubunuh saja ya dia disini?
“Pelayan!” kataku, tubuhnya tersentak hebat. Kaku dan canggung terlihat dari sosoknya. Paras cantiknya terlihat muram. Oh tidak apa aku baru saja membuatnya takut?
“A-anu.. Senior, sebenarnya apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?” tata bahasanya tidak buruk meskipun dia terlihat sangat ketakutan. Bagai tikus kotor yang mencicit. Ya, istilah itu cocok untuknya.
“Santai saja, aku akan bicara kalau pesanan kita tiba,”
“Senior, tolong katakan apa saja. Anda membuat saya tidak nyaman,” aku nya tiba-tiba yang membuat mataku sedikit lebih lebar dari biasanya. Itu mengejutkanku, gadis ini punya nyali untuk bicara jujur. Tapi kurasa itulah yang membuatnya jadi menarik. Aeldene pasti melihatnya dari sisi ini. Sisi yang tak aku miliki.
“Aku membuatmu tidak nyaman ya? Mengapa? Apa aku melakukan kesalahan dalam memperlakukanmu?” sahutku santai, tiba-tiba bibir gadis itu mengerat lagi. Dia menggigit bibir bawahnya. Sepertinya dia sudah sadar akan dosanya sendiri sehingga tidak bisa menjawab pertanyaanku yang sederhana. Dia menundukan kepalanya seperti enggan melihat wajahku. Pelayan datang dan menata pesanan kami. Ah bukan kami, tapi aku yang memesannya. Sesuatu yang aku sukai disini.
“Yevanna..” tubuhnya tersentak lagi ketika aku memanggil namanya. Dia melirik kearahku yang sudah memberinya sebuah senyuman manis. “Pesanannya sudah tiba, aku khawatir karena sejak tadi kepalamu terus menunduk,”
“Berhenti mempermainkanku Senior, katakan apa yang ingin kau katakan!” dia menyalak seperti anjing. Anjing jalanan tak terurus lebih tepatnya. Aku tertawa, lalu mengambil kopi hitam milikku dan menyesapnya dengan tenang.
“Kau orang yang menarik ya,” sahutku. Lalu kemudian tanganku tertarik mengambil pisau dan mengarahkannya ke leher gadis itu secara tiba-tiba. Wajahnya terlihat sangat ketakutan dan kaget tentu saja. Sebab bila dia tidak refleks menghindar pisau ini mungkin bisa melukai lehernya. Aku tidak akan terkejut bila itu terjadi. “Bisa menghindar ya? Tepat seperti apa yang aku perkirakan. Syukurlah pisauku tidak jadi kotor karena menyentuhmu” kataku dengan diselingi tawa renyah. Lalu memilih menggunakan pisau itu untuk mengeksekusi sepotong chesse cake yang aku pesan dan melahapnya dengan tenang.
“Anda sudah gila, senior! Apa anda berniat membunuh saya?”
“Jika aku bisa,” kataku tenang, membuat gadis ini menunjukan sisi lain dari dirinya. Dia menggebrak meja dan menyalak. Ah.. jadi ini sosok yang dia sembunyikan ya? Kutarik kembali kata-kataku. Dia bukan gadis yang menarik. Dia hanya manipulative. Fix.
“Jangan bercanda!”
“Sebaliknya apa yang sedang kau lakukan dengan Aeldene dua hari lalu di apartmentnya? Bermain kuda-kudaan ya?” tanyaku dengan tawa renyah. Wajah gadis itu pucat pasi. Matanya bergerak gelisah. Kedua tangannya mengerat di sisi tubuh. Terlihat ingin melukaiku atau apapun itu. Namun dia tidak melakukannya.
“Apa yang anda bicarakan?”
“Seperti sebelumnya, kau orang yang pandai mengelak ya,”
“Anda memanggil saya kemari untuk mengatakan omong kosong itu?!”
“Omong kosong ya? Tapi wajahmu dua hari lalu terlihat menikmatinya,”
“Senior! Ini bukan pembahasan yang pantas!”
“Setidaknya aku tidak merebut milik orang lain dan menikmatinya. Apa kau sangat putus asa dan tidak percaya diri sampai menggodanya?”
“Hah?”
“Kau mencintainya?”
“APA YANG SENIOR INGINKAN?” kali ini dia terpancing tanyaku. Nada bicaranya bahkan sangat meninggi. Apa dia memakan umpanku. Kutatap dia dengan pandangan tajam dan serius.
“Mencintainya atau tidak? aku tidak butuh jawaban yang lain,” aku meletakan cangkir kopiku lagi diatas meja hingga menimbulkan bunyi denting disana. Saat dua keramik beradu.
“Buat apa aku mencintai pacar oranglain?! Masih ada banyak pria yang mengantri untukku kenapa senior seolah-olah menuduhku berselingkuh dengan pacarmu hah? dia itu tidak lebih dari pecundang!” kembali bibirku terangkat, kali ini mataku tidak melihat pada Yevanna melainkan pada tamu yang datang tepat waktu memenuhi undanganku.
“Begitulah katanya, Aeldene.”
“Hah? apa?” tubuh Yevanna menegang. Seperti tubuh robot, dia memutar dirinya dan melirik kebelakang memastikan perkataanku bohong atau tidak.
“Selamat datang Aeldene, bagaimana menurutmu? Apa aku masih sosok perempuan pembohong sekarang?” Aku memang seperti ini. Jika aku berpikir aku harus menyelesaikannya maka akan aku selesaikan dengan dua pihak sekaligus di tempat yang sama. Sebelum aku mengatur waktu untuk mengajak Yevanna aku sudah lebih dulu meminta bertemu pada Aeldene. Tentu saja aku melewatkan satu fakta bila aku mengajak satu orang lagi untuk reuni kecil-kecilan ini. Dengan bumbu berupa ‘kejutan’ kataku. Dan ternyata meski enggan pria itu mau datang. Sepertinya dia penasaran dengan kejutan yang aku maksudkan.
“Ka- Kak Aeldene?” tubuh Yevanna menegang. Terkejut luar biasa pasti sedang dia rasakan bergejolak dalam dirinya. Kata-katanya barusan jujur saja mengejutkanku juga. Aku tidak percaya dia akan mengatakan sesuatu yang jahat seperti itu demi menghapus fakta atas perbuataanya. Berniat untuk tidak mengaku, dengan membuatku percaya. Tapi itu tidak berarti apa-apa. Bagiku meski dia berkata mencintainya sekalipun tujuan utamaku tidak akan berubah. Karena dari dua jawaban itu aku sudah menyiapkan senjata untuk menghadapinya. Dan kurasa drama picisan akan berlangsung. Aku perlu untuk pergi dari sini sekarang juga.
Aku berdiri dari tempat dudukku, ini penyelesaian yang aku inginkan dan sesuai dengan harapan. Aku melangkah mendekati pacarku itu dan memberinya sebuah senyuman semanis mungkin lalu berdiri dihadapannya. Kami berpandangan selama beberapa detik.
“Apa yang sedang kau rencakan Haleth?” aku bisa merasakan bila pria ini menggeram padaku. Terlihat sekali bila dia sangat marah atas pertunjukan yang aku persembahkan khusus untuknya ini. Ah.. bagaimana ini? Aku tidak bisa menahan diriku untuk menunjukan betapa aku sangat mencintai dirinya sampai rasanya ingin mati.
PLAK! Tamparan keras mendarat dipipinya. Bekas merah terlukis dengan indah disana. Sampai tanganku saja perih dibuatnya. Tapi aku tidak peduli. Kuberi dia tatapanku sekali lagi. Kali ini aku memiringkan kepalaku sedikit dan tertawa kecil.
“Sakit?” tanyaku. Untung saja aku sudah terlatih untuk tidak meneteskan air mata dalam situasi seperti ini. Walaupun dalam hatiku rasanya bukan lagi Sesuatu yang sanggup aku deskripsikan.
“Haleth..” suara Aeldene merendah. Dia hendak menyentuhku namun kutepis tangannya dengan cepat. Aku menolak untuk bodoh lagi.
“Yang aku rasakan lebih dari itu b******k! Kupikir kau berbeda. Tapi aku salah. Setidaknya aku sepaham dengan apa yang jalang itu katakan. Kau itu pecundang! Aku berharap lebih padamu. Setidaknya kalau kau ingin berselingkuh cari yang lebih baik dariku. Tapi apa ini? Levelmu rendah sekali.” Ah.. ini diluar skenarioku, mengapa aku mengatakan sesuatu yang ada dalam hatiku pada si b******k ini. Lagipula dia tidak akan mengerti. Ya, dia tidak akan mengerti.
“Haleth kita perlu memperbaiki ini semua,” katanya sekali lagi. Dia seperti mencoba untuk meyakinkanku. Tapi apa yang bisa diperbaiki dari ini? Sejak aku melihat dia menghabiskan malam panas bersama perempuan itu. Aku sendiri sudah sangat jijik pada mereka berdua.
“Hubungan kita berakhir!” putusku. Jangan bercanda! Setelah apa yang terjadi setelah apa yang dia lakukan padaku dia masih mau bilang kalau dia ingin memperbaikinya? Otaknya sudah tidak waras. Dan bila aku menerimanya maka aku sama gilanya dengan si sialan Aeldene. Setidaknya kubiarkan dia menerka sendiri mengapa aku melakukan ini. Bahwa dimanapun dan sejauh apapun, selama apapun. Dia tidak akan pernah menemukan orang yang sama sepertiku. Dan aku bersumpah akan membuatnya menyesal seumur hidup untuk itu. Maaf saja, aslinya aku memang begini. Pendendam ulung.