"Jangan menangis, dan jangan pernah menoleh ke belakang!"
Nayyara meremas-remas kedua tangannya. Sekuat hati wanita itu terus melangkahkan kaki, keluar dari rumah mewah yang beberapa hari ini telah ia tinggali.
Hati dan perasaannya tidak hanya sakit dan sedih, tetapi juga hancur berkeping-keping.
Entah apa salahnya, hingga Zakki memintanya untuk pergi, bahkan pria itu tidak menoleh ke arahnya sedikitpun, saat ia melangkah keluar dari rumah itu.
"Mas Zakki akan secepatnya menyusulmu ke sana. Percayalah, Mas tidak akan pernah meninggalkanmu, Mas akan selalu ada, di manapun kamu berada."
Kalimat itulah yang selalu terngiang di telinga Nayyara, membuatnya bertekad dan menguatkan hati, untuk mempercayai ucapan Zakki sepenuhnya.
Tapi tak urung, air mata itu tetap menetes, membasahi kedua pipinya.
"Sabar ya, Nduk," ucap Bu Saiddah, mengusap bahu Yara dengan lembut, membuat air mata wanita itu justru mengalir semakin deras.
Wanita paruh baya yang di kenalkan sebagai bibinya Nayyara oleh Zakki itu, hanya bisa menghela nafas panjang, tanpa bisa berbuat apa-apa lagi.
"Ingat kata Pak Zakki, Bu. Ibu tidak boleh menangis, Ibu harus kuat," ujar Anindya serayak menyerahkan tissu kepada istri atasannya itu.
Namun Yara menolak sambil menggeleng, wanita itu memilih mengelap air matanya dengan ujung jilbabnya hingga terlihat basah.
Sementara itu di lantai dua rumahnya, Zakki menatap kepergian istrinya sambil meneteskan air mata.
Pria itu mengintip dari bali tirai kamarnya, kamar yang beberapa hari ini terasa ramai karena kehadiran Nayyara.
"Maafkan Mas, sayang. Mas terpaksa melakukannya, demi kebaikan kita kelak," gumam Zakki, tanpa mengalihkan pandangan matanya, dari mobil yang membawa Nayyara pergi meninggalkan halaman rumahnya.
***
Satu minggu kemudian, di pondok pesantren An-nur.
Pondok pesantren yang di buka untuk umum, khususnya remaja dan dewasa, laki-laki dan perempuan, yang ingin merubah diri, bertaubat, dan memperdalam ilmu agama, sehingga dapat membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih kuat, cerdas dan berahlaqul karimah.
Jam tiga subuh, semua santri putra dan santri putri mulai bangun dari tidur nyenyak dan mimpi manis mereka, untuk melaksanakan salat malam, dilanjut dengan membaca Alquran sembari menunggu waktu salat subuh tiba.
Di tengah rasa kantuk dan hawa dingin, mereka terlihat khusyuk dan bersemangat.
Tapi tidak dengan Nayyara. Santri yang baru masuk satu minggu yang lalu itu, terlihat sedih dan tidak bersemangat.
Bahkan wajahnya terlihat pucat, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.
Ia menangis bukan karena tidak betah, atau rindu ingin pulang, tapi dia rindu kepada seseorang yang sangat dicintainya, orang yang telah membuatnya berada di penjara suci ini.
Selesai melaksanakan salat subuh berjamaah, mereka pun kembali ke asrama dan kamar masing-masing untuk bersiap mengikuti pelajaran selanjutnya.
"Ya Allah, apa salah dan dosaku, sampai mas Zakki tega membuangku. Apakah aku istri yang sangat buruk, sehingga suamiku memilih untuk pergi dan membuangku di sini. Hamba mohon, pertemukan hamba dengan mas Zakki, ya Allah, hamba sangat merindukannya," rintih Nayyara dalam tangis dan do'anya. Wanita itu duduk meringkuk di sudut kamar, sembari memeluk guling yang sudah basah oleh air matanya.
"Sudah atuh, Nay. Mau sampai kapan kamu menangis terus? Enggak kasihan apa itu sama mata kamu? Sampai bengkak kayak abis di sengat lebah gitu," komentar Sahara, santri baru yang masuk di hari yang sama dengan Nayyara.
"Aduuh, Mbak Naya, untung santrinya sudah pada umur semua, coba kalau ada santri kecilnya, pasti di ketawaain ini," timpal temannya yang lain.
"Sudah sudah! Bersiap ke kelas masing-masing! Pagi ini Ustazah Salma berhalangan, jadi setoran hafalan akan di serahkan kepada Ustaz RFM!" seru Sakinah, sang ketua kamar.
"Alhamdulillah!" ucap para santri di kamar tersebut secara bersamaan, membuat Nayyara yang sejak tadi menunduk langsung menengadah.
Detik berikutnya, terjadi kehebohan di kamar yang di tempati lima belas santri tersebut.
"Aarrggh! Jadi enggak sabar melihat wajah tampan jelmaan Serkan Cayoglu di pondok ini," seru Calista. Saking senangnya, wanita itu sampai melompat-lompat kegirangan bersama teman lainnya.
Nayyara langsung terkesiap melihatnya, wanita itu sampai berhenti menangis demi melihat aksi teman sekamarnya itu.
"Bagiku dia lebih tampan dari Kang Serkan," timpal Hana serayak memegangi kedua pipinya yang tembem, sementara pikirannya sudah melanglang buana kemana-mana.
"Tubuhnya yang pelukable itu, membuat diriku selalu memimpikannya siang dan malam," ujar Marcella tersenyum, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri sambil membayangkan jika ia sedang memeluk Zakki.
Lagi, Nayyara hanya bisa melongok melihat kelakuan Marcella. Di samping itu, dia juga tidak paham dengan apa yang di katakan wanita itu. Pelukable.
"Astagfirullah ... istigfar kalian! Ingat niat kalian datang kemari!" tegur Sakinah yang membuat Calista, Hana dan Marcella langsung mengucap istigfar.
"Maaf, Mbak ... khilaf," aku Marcella sambil tersenyum lebar.
"Khilaf! Khilaf! Sudah, ayo berangkat! Kalau sampai terlambat kalian tau sendiri kon ...."
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, seluruh penghuni kamar itu sudah berlari keluar menuju kelas mereka.
Huufft
Sakinah membuang nafas kasar sambil mengelus-elus dadanya.
Sungguh! Menghadapi santri putri yang usianya rata-rata delapan belas tahun ke atas itu, membutuhkan energi dan kesabaran tersendiri.
Apalagi rata-rata dari mereka berasal dari kehidupan yang kelam, ada yang mantan kupu-kupu malam, anak punk, pemakai narkoba, sampai tukang copet dan sindikat penipuan.
Tidak jarang, ada saja di antara mereka yang membuat ulah dan keributan.
"Naya, Anin, ayo kita berangkat," ajak sakinah dengan lembut.
Dengan wajah lesu, Yara bangkit, lalu mengikuti langkah Sakinah menuju kelas mereka, di ikuti oleh Anindya di belakangnya.
"Semangat ... ingat kata Pak Zakki," bisik Anin dari belakang. Yara mengangguk, lalu kembali mengusap air matanya yang sudah menetes begitu saja.
"Anin, Naya, kalian duduk di tempat yang masih kosong itu." Sakinah menunjuk ke arah tengah di barisan paling depan yang masih kosong.
Anin langsung menarik tangan Yara, mengajaknya untuk segera duduk di tempat yang di tunjuk oleh Sakinah.
Hingga beberapa menit kemudian, sang ustaz dengan inisial RFM belum datang juga.
Nayyara yang merasa sangat mengantuk, memilih untuk tetap menunduk sambil memejamkan matanya. Sampai ia tidak menyadari jika sang ustaz sudah hadir di ruangan itu, dan kain pembatas sudah turunkan.
Semua santri langsung menunduk, mereka yang tadi di kamar pada heboh, nyatanya sekarang mereka tidak berani menegakkan kepalanya di hadapan sang ustaz.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Semua santri menjawab serentak ucapan salam dari Ustaz RFM.
"Mari di mulai," ucap Ustaz RFM, lalu membaca Bimillah, berbarengan dengan para santrinya.
"Nay, bangun," bisik Anin serayak menyikut pelan pinggang Yara.
"Ngantuk, Mbak," sahut Yara nyaris tidak terdengar.
"Ustaz nya sudah datang, Nay." Anin kembali berbisik.
"Nayyara Nazifa Zain!"
Kedua mata Yara langsung terbuka lebar, begitu ia mendengar suara seseorang yang sangat di kenalnya.
Mas Zakki?
Dengan cepat wanita itu menegakkan kepalanya, bagaikan seorang prajurit yang menyambut seruan komandannya.
Dan ... begitu ia melihat sosok ustaz yang memanggilnya, tubuh Yara seketika membeku, aliran darahnya seolah berhenti, membuat detak jantungnya menjadi benar-benar tidak stabil.
Tubuh gemetar, keringat panas dingin.
Manik hazel itu menatap tidak berkedip, sosok ustaz yang duduk di depannya.