Luapan Kecewa
Rere baru saja selesai mengobrol via telepon dengan Raka. Mereka sudah berbicara kurang lebih selama tiga jam non stop. Sebenarnya Rere sudah mengantuk dari tadi. Namun agar Raka tidak kecewa, Rere terus memaksakan diri walau terkadang kesadarannya hilang dan sempat terlelap beberapa kali.
Kerongkongannya kini terasa kering setelah lama tertawa karena lelucon Raka. Dia berdehem beberapa kali sambil memijit lehernya dengan lembut. Rere merasa malas untuk mengambil air minum. Tapi alasan sebenarnya adalah dia takut untuk keluar kamar. Mamanya baru saja mengabari bahwa dia dan Revan ketinggalan kereta. Tadi pagi mama Rere dan Revan pergi berkunjung ke salah satu rumah saudara di luar kota. Alhasil malam ini Rere sendirian di rumah.
Rere menghela napas panjang lalu membuka pintu kamarnya pelan. Dapur di ujung sana terasa begitu jauh saat ini. Meski seorang jagoan, Rere tetap takut pada hal-hal yang kasat mata alias ghoib. Baginya sesuatu yang tidak terlihat itu lebih menakutkan karena dia tidak bisa menyentuh dan melihatnya.
Setelah mengumpulkan keberaniannya, Rere berlari menuju dapur. Dahaganya kembali segar setelah meminum gelas yang ke empat. Tiba-tiba dia tersenyum. Rere teringat pembicaraannya dengan Raka barusan. Kali ini dia bahkan terkikik dengan gelas yang masih menempel di bibirnya.
Tiba-tiba Rere tersentak. Matanya segera melirik ke arah ruang tamu. Rere manahan napasnya sebentar lalu menajamkan pendengarannya. Benar, terdengar suara ketukan pintu dari luar sana. Rere bergidik ngeri membayangkan apa yang ada di balik pintu itu. Tapi setelah mendengarkan cukup lama, Rere tersenyum dan yakin kalau itu adalah suara manusia.
Rere mengambil tongkat baseball milik Revan lalu berjalan ke dekat pintu. Seseorang di luar sana terus mengetuk pelan. Rere sudah bersiap dengan tongkat baseballnya. Kemudian dia mulai memutar kunci pintu itu perlahan. Rere pun langsung mengangkat tongkat baseball itu ke udara. Namun begitu pintu terbuka, Rere terkejut.
“Adit ...!”
Adit tersenyum lemah dan langsung ambruk ke pelukannya. Rere menutup hidungnya setelah mencium bau alkohol yang menyengat dari tubuh Adit. Rere pun mencoba membangunkan Adit yang sudah tidak sadarkan diri. Namun Adit tetap meracau dengan mata yang kini terpejam rapat. Rere berinisiatif untuk memindahkannya. Namun dia kesulitan untuk mengangkat tubuh Adit yang berat. Akhirnya dia memilih menyeret kaki Adit seperti adegan pembunuhan di film horror.
“Dit, Adit ... bangun Dit.” Rere kembali mencoba membangunkan Adit.
Adit membuka matanya sebentar lalu tersenyum. Setelah itu dia duduk dan menatap Rere dengan mata yang terus menutup dan terbuka pelan. Meski ruangan itu hanya bercahaya remang, Rere bisa melihat sisa lelehan air mata Adit di pipinya. Rere pun menjadi cemas melihat keadaan Adit saat ini.
“Kenapa semua orang yang gue sayang pergi dari gue ....” Adit bersuara dengan mata yang kembali terpejam.
“Mama pergi ninggalin gue dan pergi entah kemana. Sementara papa, dia selalu sibuk dengan kerjaannya dan nggak ada waktu buat gue. Adik gue Hana pun pergi ninggalin gue buat selama-lamanya,” ucap Adit.
Rere terenyuh dan menghapus air mata Adit yang kembali menetes. Begitu jemari Rere menyentuhnya, Adit langsung meraih tangan itu dan menggenggamnya dengan erat.
“Yang gue punya sekarang ini cuma lo Re...,” bisiknya.
“Dit..., lo nggak boleh ngomong kayak gitu,” ucap Rere.
“Tapi sekarang lo pun pergi ninggalin gue,” sambung Adit.
Air mata Rere menitik mendengar kalimat itu. Rere tidak menyangka bahwa perasaan Adit padanya begitu dalam. Selama ini Rere hanya melihat Adit sebagai sosok yang arogan dan berhati keras. Selama ini Rere manyangka Adit adalah sosok yang kuat. Selama ini Rere berpikir ‘tak mengapa’ karena Adit pasti bisa melupakannya dengan mudah.
“Re....” Adit kembali memanggilnya lirih.
“Iya,”
“Gue sayang sama lo....”
Adit berucap lirih lalu kehilangan kesadarannya. Rere membatu dengan wajah Adit yang kini bertumpu di pelukannya. Rere pun mulai terisak pelan. Dia juga menangis dengan jemari membelai rambut Adit di tengah malam yang semakin pekat.
_
Pagi datang menjelang. Adit masih merasa sedikit pusing dan sesekali memijit kepalanya. Sementara Rere sudah menyiapkan sarapan dan segelas s**u segar untuk Adit. Kecanggungan masih menyelimuti keduanya. Tidak ada kata yang terlontar. Adit mulai menyuap nasi goreng buatan Rere tanpa suara. Rere pun juga begitu. Dia hanya diam menatap Adit dengan perasaan yang kini bercampur aduk.
“Maafin gue Re,” ucap Adit.
“Buat apa?” tanya Rere.
“Buat semuanya,” jawab Adit.
“Semuanya?” Kening rere berkerut.
“Maaf karena gue nggak bisa nerima kenyataan. Maaf karena gue lebih memilih memendam perasaan gue selama ini. Maaf karena gue marahin lo waktu itu. Maaf karena kemaren gue berkata kasar dan maaf karena semalam gue udah nyusahin lo...,” jelas Adit.
Rere diam tidak menjawab. Dia menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Adit pun menatapnya dengan canggung lalu menelan ludah.
“Lo nggak mau maafin gue?” tanya Adit.
“B-bukannya gitu,” jawab Rere.
“Terus kenapa?”
“Lo minta maafnya kebanyakan. Kepala gue jadi puyeng dan nggak ngerti sama apa yang lo omongin.” Rere menggaruk-garuk rambut gimbalnya.
Adit tersenyum kemudian menghela napas lega. “Makanya kapasitas otak lo itu di upgrade biar bisa nyimpen data lebih banyak,” ejek Adit.
“Enak aja lo ngomongin gue. Justru kalo dijual nih ya, harga otak gue itu lebih mahal daripada otak lo,” balas Rere.
“Karena lebih fresh ya. Karena jarang dipake,” seloroh Adit.
Rere tersenyum lalu mengepalkan tinjunya ke depan wajah Adit. Melihat senyum itu membuat Adit kembali lega. Dia menyuap nasi goreng buatan Rere dengan lahap. Tapi tiba-tiba mulutnya berhenti mengunyah. Dia merasakan ada sesuatu aneh. Adit menajamkan indera perasa lidahnya dengan mata berkedip-kedip. Melihat hal itu Rere langsung menyembunyikan senyumnya.
“Lo masukin jengkol ke nasi goreng ini?” tanya Adit.
Rere mengangkat jempolnya dengan sebuah senyuman nakal.
“Anjir, pantesan gue berasa aneh. Lo mau memengaruhi gue biar punya selera somplak kayak lo,” tuding Adit.
“Munafik lo, kalo enak bilang aja! Nggak usah banyak gaya,” ucap Rere.
Adit menyembunyikan senyumnya karena sudah tertangkap basah. Rere benar, dia menyukai perpaduan jengkol dan nasi goreng itu.
“Enak aja lo ngomong,” elak Adit.
Mereka pun kembali tertawa bersama. Berbagai bacotan silih berganti terdengar. Keduanya sudah bisa menghancurkan kebekuan yang sebelumnya telah menyiksa. Kecanggungan pun perlahan-lahan mulai memudar. Namun ketika obrolan itu mulai garing, keduanya kembali terjerat dalam diam.
“Re ...,” panggil Adit.
“Apa?”
“Seandainya gue yang lebih dulu mengungkapkan perasaan gue, apa lo bakalan milih gue?” tanya Adit lirih.
Rere terdiam. Bibirnya bergerak namun belum juga menjawab tanya itu. Dia bahkan menghindari tatapan mata Adit. Menyadari hal itu, Adit pun langsung mengerti. Senyumnya perlahan hilang. Dia menyuap sendoknya dengan jemari bergetar. Setelah itu dia tidak lagi berani menatap mata Rere dan hanya terpaku pada makanan di piringnya.
“Maafin gue Dit,” bisik Rere.
_
Meski dengan berat hati, akhirnya Adit merelakan Rere untuk Raka. Baik Rere mau pun Adit sama-sama ingin menjaga persahabatan yang telah lama mereka bina. Rere memang tidak bisa menerima sosok Adit sebagai kekasihnya. Tetapi sebagai sahabat, Adit sudah memiliki tempat tersendiri di hati Rere. Di sisi lain Adit juga tidak bisa jauh dari Rere. Walau pun perih, setidaknya Rere masih ada di sisinya.
"Kok lo diem mulu sih, Rin?" tanya Rere.
"Iya nih, gue berasa dejavu. Keinget saat kita pertama kali ketemu," timpal Adit.
"Tau nih, kumat lagi tuh anak," sambung Rere.
Airin hanya tersenyum. Ada alasan kenapa sikapnya yang berubah dingin. Ada sesuatu yang disembunyikan dari mereka berdua. Obrolan Adit dan Rere tempo hari masih berkelebat di ingatannya. Mengganggu pikiran Airin dan membuatnya gundah gulana.
"Aku nggak apa-apa kok, santai aja," jawab Airin kemudian.
"Eh, ternyata stok coca cola gue habis. Gue beli dulu sebentar ya.
Jangan gangguin Airin!" Rere memberi peringatan pada Adit sambil mengepalkan tinjunya.
Rere bergegas pergi setelah memasang jaket denimnya. Sepeninggal Rere, Airin menjadi semakin gelisah. Dia mencuri-curi pandang melihat Adit. Tapi saat Adit membalas tatapannya, dia segera menundukkan kepala.
"Apa ada sesuatu yang mau lo omongin sama gue?" tanya Adit.
Airin terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia menggenggam tangannya sendiri lebih erat. Airin tengah melawan perasaannya sendiri. Dia merasa tidak pantas menanyakan hal itu, tapi disisi lain dia juga ingin tahu kejelasan hubungan Adit dan Rere.
"Apa kamu beneran suka sama Rere. ..?" pertanyaan itu akhirnya terlontar.
Adit terdiam sebentar kemudian mengangguk pelan.
"Lalu?" tanya Airin.
"Rere lebih milih Raka daripada gue." Adit tertawa pelan sambil melemaskan otot lehernya.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Airin lagi.
"Yah, gue berusaha untuk baik-baik aja," jawab Adit.
Airin menatap Adit lekat-lekat. Tatapannya lembut dan penuh makna. Binar mata itu menyiratkan sejuta makna yang terpendam. Adit pun menyadari ada yang berbeda dari gelagat Airin. Namun dia berharap dugaannya itu salah.
"Bagi lo Rere itu apa ...?" tanya Airin.
"Segalanya," jawab Adit.
Entah mengapa jawaban Adit terasa pedih baginya. Airin kesulitan menyembunyikan raut wajah kecewa. Dia sendiri juga tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan. Meski baru mengenal Adit, meski baru sebentar bersamanya, ada rasa yang tidak biasa tumbuh di hatinya.
"Kenapa lo diem, Rin?" tanya Adit.
"Ah ... nggak kok. aku nggak apa-apa."
_