Hukuman dan Perhatian
Insiden lepasnya celana Bombom menjadi trending topic di sekolah. Bahkan mading pun ikut memuat pose Bombom yang sudah diblur sebelumnya demi kepentingan privasi. Berbagai meme lucu, serta cuplikan video hasil kreativitas nakal para murid segera menyebar dan sampai ke telinga majelis guru. Rere memang berhasil memberi Bombom pelajaran yang membuatnya tidak lagi menampakkan muka di sekolah. Tapi sekarang dia juga harus menanggung akibat perbuatannya.
“Kalau sampai kamu berbuat seperti ini lagi, kami tidak punya pilihan lain selain mengeluarkan kamu dari sekolah.” bu Marta mengeluarkan ultimatumnya.
“Sudah 21 tahun saya mengajar, baru kali ini saya ketemu siswi yang seperti ini,” Pak Anwar ikut menimpali.
Rere hanya tersenyum tipis, dalam hati dia berbisik, “Hebat dong, berarti gue mecahin rekor.”
“Ya Tuhan Rere...! apa lagi yang kamu perbuat sekarang?” mama Rere yang baru saja sampai langsung bersuara dengan raut wajah rusuh.
“Mama nggak pernah ngajarin kamu seperti ini, Mama nggak suka kamu berkelakuan seperti ini.” sang mama memukul-mukul pundak Rere seiring dengan air matanya yang menitik.
Seketika seisi kantor mejelis guru itu membeku melihat sosok Ibu dan anak itu. Hingga kemudian seorang guru datang dan mencoba menenangkan mama Rere. Begitu pun Rere yang kemudian juga dibawa ke ruangan terpisah. Gadis itu mulai merasa bersalah. Dia melihat sosok mamanya menangis saat berbicara dengan kepala sekolah. Rasa sesal kini mulai menggerogoti hatinya.
_
Setelah cukup lama berada di ruangan kepala sekolah, sang mama keluar. Rere lekas mendekat dengan langkah gamang. Dia tidak berani menatap mata mamanya. Rere terpekur dengan jemari yang berpilin. Setelah cukup lama terdiam akhirnya Rere mengangkat wajahnya. Sang mama hanya menatap dingin dengan lelehen air mata yang masih melekat. Rere menelan ludah dan tidak bisa berkata-kata melihat raut wajah mamanya.
“Ma ...,”
Rere baru saja bersuara, namun sang mama segera pergi tanpa sepatah kata.
“Mama ...!” Rere kembali memanggil mamanya.
Sang mama tidak menghiraukan dan terus melangkah dengan bahu bergetar menahan tangis. Pemandangan itu membuat hati Rere terasa perih. Dia tidak menyangka kelakuannya itu akan memberi luka pada mamanya. Ketika berbalik badan, Rere melihat sosok Adit yang kini sudah berdiri di belakangnya. Tatapan keduanya beradu. Adit melangkah dengan terus menatap Rere tanpa berkedip.
“Apa lo juga marah sama gue?” tanya Rere.
Adit diam membisu. Tapi mimik wajahnya jelas memberikan jawaban. Rere mengerti bahwa Adit juga tidak suka akan perbuatannya.
Keduanya terdiam untuk waktu yang cukup lama. Seakan Adit tengah memarahi Rere hanya dengan tatapan tajam matanya. Kali ini Adit berbalik badan lalu menghela napas panjang. Rere pun manatap punggung yang kini marah padanya itu. Dia tahu Adit kesal padanya. Tapi anehnya, dia juga tidak sanggup membela diri seperti biasanya.
“Sepertinya lo emang harus berhenti, Re,” ucap Adit.
Adit kembali berbalik lalu memandang Rere lekat-lekat. Sepertinya dia berusaha menahan diri untuk tidak berkata banyak. Dia takut kata-katanya akan melukai perasaan Rere. Namun dia juga tak bisa membiarkan Rere berlarut-larut dalam kenakalannya.
“Kalau lo masih terus-terusan kayak gini ... gue nggak mau berteman sama lo lagi!” Adit berkata pelan dan segera melangkah pergi.
Rere terhenyak. Tangannya terangkat hendak memanggil Adit kembali. Dia ingin mengejar tapi kedua kakinya bagai terpaku ke tanah. Perlahan aliran hangat terasa memenuhi rongga matanya. Rere segera menyeka air matanya yang tumpah. Dia tidak ingin murid-murid yang lain melihatnya menangis. Tapi rupanya Raka menyaksikan semua itu. Rere terkejut dan menyembunyikan wajahnya. Tapi Raka malah tersenyum dan melangkah mendekatinya.
“Ini ...!” Raka memberikan sebuah sapu tangan berwarna jingga pada Rere.
Rere menatap Raka dengan tatapan sangsi. Dia merasa risih dengan perlakuan Raka yang terasa asing baginya.
“Gue nggak butuh itu,” tolaknya.
Raka mengulum senyum, kemudian meraih tangan Rere lalu meletakkan sapu tangan itu di sana.
“Lo tau pojokan deket labor bahasa? Di sana itu sepi. Lo bisa nangis sepuasnya di sana tanpa takut dilihat sama anak-anak yang lain,” katanya.
“Mmm ... makasih sarannya.” nada suara Rere melunak.
Perlahan Rere menatap pria berperawakan tinggi yang kini tersenyum memamerkan gigi rapinya. Cucuran peluh masih mengalir di wajahnya. Otot lengan dan betisnya terlihat jelas. Sebuah bola basket masih diapit di antara lengan dan tubuhnya. Rere tersentak, ada sebuah perasaan aneh terasa di hatinya. Dia segera memalingkan wajah dari Raka yang masih menatapnya.
“Yaudah gue lanjut main basket lagi ya,” Raka mengacak-acak rambut Rere kemudian melangkah pergi.
Sedangkan Rere kini terdiam dengan wajah tegang dan mata melotot. Untuk sesaat saluran pernapasannya berhenti bekerja. Setelah Raka cukup jauh, barulah Rere menghembuskan udara yang sempat tertahan. Dia menatap punggung Raka yang asik memantulkan bola basket itu dengan sejuta tanya di hatinya. Baru kali ini dia mendapatkan perlakuan seperti itu. Baru kali ini dia merasakan perasaan seperti ini.
Bel pertanda pulang sekolah berdentang keras. Para siswa berhamburan meneriakan momen kebebasan mereka. Rere mengemasi buku-bukunya dengan lemas. Dia yakin setiba di rumah nanti, dia akan langsung di sidang oleh mama dan Revan abangnya. Meski sudah terbiasa dan terjadi berulang kali, tetap saja momen itu terasa mengerikan bagi Rere.
Cuaca yang terik membuat tubuh Rere melemas. Adit rupanya tidak main-main dengan ancamannya. Sekarang bahkan dia tidak lagi memberi tumpangan dan membiarkan Rere kepanasan berjalan kaki. Rere melemaskan otot lehernya, kerongkongannya juga terasa kering. Rere menyeret langkah dengan berat. Kakinya bagai terikat beban yang tidak kasat mata. Mulutnya terus saja komat-kamit menggerutu tak jelas. Rere merasa enggan untuk pulang ke rumah hari ini.
“Apa sebaiknya gue ke rumah Airin aja?” Rere bergumam sendiri.
Rere terus melangkah tanpa sadar bahwa ada seseorang di belakangnya.
Kring.... Kring....
Bunyi klakson sepeda itu membuat Rere terkejut dan terjatuh. Dia merasa kesal dan segera menyeka butiran tanah yang melekat di sikunya. Aliran darah panasnya dengan cepat naik menuju ubun-ubun. Rere tersulut emosi dan bermaksud untuk langsung menyerang.
“Apa-apaan sih lo ....” ucapan Rere terhenti begitu melihat sosok yang mengendarai sepeda itu.
“Maaf ya! gue nggak bermaksud bikin lo kaget.” siswa itu langsung turun dan membantu Rere untuk berdiri.
“O ... mmm gue nggak apa-apa kok,” jawab Rere.
“Sekali lagi maaf ya.” ulang siswa itu.
“Iya gue maafin kok.”
“Oh iya, walau pun kita sekelas dan lo udah tau siapa gue ... tapi gue tetap mau kenalan secara resmi sama lo. Gue Raka Cahya Prasetyo!” siswa itu mengulurkan tangannya.
Rere menyambut uluran tangan itu dengan malu-malu. “Lo kan udah tau nama gue, Rere.”
“Panggilan lo itu unik ya, udah langka lo zaman sekarang yang namanya klasik seperti itu,” ucap Raka.
“Maksud lo nama panggilan gue kuno gitu?”
“Bukan-bukan!” Raka langsung membantah. “Iya gue suka aja, karena terdengar unik dan ....”
“Ah udahlah.” Rere mengibaskan tangannya sambil tersenyum.
“Wow ...! ini pertama kalinya gue ngeliat lo senyum.” Raka langsung berkomentar.
Raut wajah Rere yang tadi sumringah langsung kembali datar.
“Apaan sih,” jawabnya.
“Oh iya, rumah lo di mana?” tanya Raka.
“Di jalan Cempaka Putih,” jawab Rere.
“Berarti cempakanya nggak item ya?” Raka terkekeh.
Rere sontak tertawa sebentar, kemudian kembali diam. Sesaat setelah itu mereka saling pandang lalu tawa keduanya pecah. Namun beberapa detik kemudian suasana canggung kembali terasa. Rere merasa grogi karena Raka terus tersenyum menatapnya.
“Ya udah naik gih, kebetulan gue juga lewat sana.” ajak Raka.
“Nggak usah, gue jalan kaki aja. Deket kok.” Rere menolak tawaran itu.
“Naik aja.” Raka menepuk kursi boncengannya. “Anggap aja sebagai kompensasi karena gue udah bikin lo jatuh barusan.”
Setelah terus dibujuk akhirnya Rere setuju untuk diantar pulang. Sepanjang perjalanan Raka menanyakan tentang banyak hal. Kecanggungan pun mulai pudar diantara keduanya. Raka begitu lihai dalam mencairkan suasana. Dia mampu membuat Rere merasa nyaman saat berbicara dengannya.
Ketika asyik mengobrol, tiba-tiba sepeda itu oleng dan meliuk-liuk karena menabrak lubang. Secara spontan Rere langsung merangkul Raka agar tidak terjatuh. Untungnya Raka mampu mengendalikan laju sepedanya. Raka menghentikan kayuhannya dan segera menarik rem sepedanya. Sementara Rere masih memeluknya erat dengan mata tertutup rapat.
“Kamu nggak apa apa kan?” tanya Raka.
“Hah ... aku nggak apa-apa,” jawab Rere.
Tatapan Raka beralih pada tangan Rere yang memeluknya erat. Menyadari hal itu Rere langsung menarik tangannya. Namun dengan cepat Raka menangkap tangan itu dan meletakkannya ke tempat semula.
“Gue nggak mau lo jatuh dan terluka,” ucap Raka.
Rere tersipu mendengar kalimat itu. Rona merah mencuat di kedua pipinya. Seulas senyum tak biasa tergurat di wajah gadis itu. Rere menggigit bibirnya menahan rasa. Aroma tubuh Raka yang khas juga membuatnya terasa nyaman. Keduanya kembali melaju bersama semilir angin lembut yang memberi kehangatan
_
Bersambung …