“Ah, Pak Rangga ... kenapa kau bisa ....” Sekretaris itu terkejut melihat bosnya malah melindungi Nadira.
“Aaaaargh!” Rangga meringis sambil merasakan sakit di bagian punggungnya. Jas bagian belakangnya kotor karena terkena tanah yang tumpah dari pot.
“Biar saya bersihkan,” ujar sang sekretaris sambil mencoba menepuk-nepuk punggung Rangga.
“Pulanglah!” Rangga menepis tangan sang sekretaris dan menghindar. Dia tampak tak ingin dibantu oleh perempuan tersebut.
“Tapi, Pak Rangga ...?”
“Aku bilang pulang, ya pulang!” bentaknya saat itu juga.
Sekretaris Rangga itu langsung tertunduk lesu dan tampak hendak menangis.
Nadira awalnya merasa terkejut sekaligus sedikit merasakan haru karena Rangga yang melindungi dirinya. Tapi perasaan itu hanya sekejap karena tiba-tiba wajah Rangga tampak menyesal setelah membentak Hellena.
“Anu, Hellena ... maksudku ... sebaiknya kamu pulang.” Intonasi dan ekspresi wajah suami Nadira itu langsung berubah. Seakan ia tak mau menyakiti sekretarisnya.
“Sebaiknya kalian tak membuat keributan di depan rumah orang lain.” Nadira langsung memegang tuas pintu rumah dan membukanya. Dia bahkan tak mengucapkan terima kasih pada Rangga yang telah menolongnya.
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu?” tutur Rangga yang tampak menahan rasa sakit di area punggung.
Nadira langsung menoleh, dia hanya mengangguk sekali. Lalu kemudian masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa.
Terdengar langkah kaki yang mengikuti perempuan itu masuk ke rumah. Rangga duduk di ruang tengah, area keluarga berkumpul, di mana masih terpajang foto pernikahan keduanya di sana.
“Jika kau ingin membicarakan tentang perceraian. Kita pasti bercerai, tapi seperti yang aku bilang, aku harus pastikan jika aku mengandung anakmu, Rangga!” tegas Nadira sambil menatap suaminya.
Pria tersebut tampak kesal dengan apa yang dikatakan sang istri. “Kau ... benar-benar menguji kesabaranku!” kesalnya.
Nadira tak mau menanggapi, biar saja Rangga menganggap buruk pada dirinya.
“Aku menerima cara kasarmu bermain padaku, Rangga. Aku ... tak peduli,” lanjut Nadira, tapi kali ini dia mengucapkannya dengan cara yang sedih sambil berlalu menuju ke lantai dua.
“Selama aku bisa menyelamatkan Rio, aku sudah lagi tidak peduli dengan harga diriku. Terlebih harga diriku di depanmu,” gumam Nadira dalam hatinya.
“Apa lagi yang kaurencanakan, hah?” bentak Rangga sambil mengejar Nadira menaiki tangga.
“Kau ingin bagian gono-gini yang lebih besar dariku karena mengandung anak? Atau ... kau ingin memerasku di masa depan karena ada anak di antara kita? Hah?” Rangga mencibir istrinya itu. “Rencana apa yang sedang kaubuat ini?”
Tanpa menjawab apa-apa, Nadira langsung ke kamarnya dan saat itu juga Rangga mengikutinya.
“Berhentilah bersikap licik, Nad! Iya, jika kau ingat kasus area tambang yang dibangun oleh keluargamu di atas tanah keluargaku, apa kau masih belum puas? Sampai saat ini, aku tidak akan pernah memaafkan orang licik yang memanfaatkan kebaikan orang lain dengan menipunya!” tegur Rangga sambil mengungkit masa lalu mereka.
Sementara Nadira yang mendengarkan Rangga sambil membelakangi pria tersebut, malah menitikkan air mata. Dia sama sekali tak pernah bisa lupa dengan kejadian itu, tapi Rangga tak pernah melihat jika Nadira juga merasakan sakit yang sama.
“Intinya, aku tidak bisa! Kita tidak mungkin melakukan hal seperti itu berkali-kali! Atau jika kamu berharap agar aku menaruh hati lagi padamu setelah kita tidur bersama beberapa kali, itu juga ... sangat tidak mungkin.”
“Apa karena sudah ada Hellena?” sela Nadira untuk bertanya.
Perempuan itu berbalik dan langsung ingin melihat pada Rangga.
Untuk saat ini, Rangga sendiri tak menyangkalnya ataupun mengiyakan. “Aku harus pergi! Persidangan kita hanya diskors tiga hari! Kuharap di sidang berikutnya, kau bisa datang!”
Pria tersebut berjalan meninggalkan Nadira dan menuju pintu kamar.
Akan tetapi, tepat saat dia berdiri di dekat pintu, dirinya langsung bersandar pada kusen sambil mencoba meraba bagian belikat.
“Rangga ...?” Nadira langsung mendekat dan melihat bagaimana kondisi suaminya tersebut.
Rangga tetap berusaha untuk berjalan sambil menahan sakit.
Sementara tangan Nadira ditepis oleh Rangga, walau tadinya ia hendak membantu.
“Baiklah, kau juga tidak butuh bantuanku! Aku juga tidak seharusnya merasa hutang budi karena dia telah menyelamatkanku. Toh, orang yang berusaha mencelakaiku adalah selingkuhannya sendiri,” ucap Nadira sambil melihat Rangga yang berjalan menuruni tangga di rumahnya.
**
“Bagaimana kondisi Rio?” tanya Nadira.
Dia berada di sebuah rumah sakit, tepatnya di sebuah ruang rawat unit intensif.
“Dia harus segera mendapatkan terapi, Nad! Kemarin dia masuk ICU, tapi untung organ vitalnya kembali stabil pagi tadi. Dokter masih akan memantaunya, sampai beberapa hari ke depan. Jika tak ada kendala, baru dia akan kembali ke rawat inap seperti biasa.” Seorang dokter muda menjelaskan kondisi Rio pada Nadira.
“Danish, terima kasih! Jika tidak ada kau yang memantau Rio, mungkin aku sudah ....”
“Kau tak perlu sungkan. Aku bersyukur jika bisa kauandalkan, Nad!”
Keduanya tersenyum menunjukkan kedekatan. Lalu setelahnya, Nadira masuk ke ruang ICU tersebut untuk melihat anaknya dari dekat.
“Dia sedang tidur ...,” lirih Dokter Danish saat masuk.
“Ma ....” Sayup-sayup, dia mendengar suara dari balik masker oksigen.
Dua manusia tersebut langsung melihat ke arah anak kecil yang berbaring itu.
“Rio ...?” panggil Nadira lirih dan langsung mendekat.
Nadira tak kuasa menahan air mata. Tapi dia berusaha tegar, karena tak ingin anaknya melihat dirinya sedang rapuh.
“Ma ....”
Dokter Danish membantu Rio membuka masker oksigen agar anak itu lebih leluasa untuk bicara.
“Apa benar yang bisa mengobati Rio adalah adiknya Rio ...?” Anak itu bertanya perihal yang rumit bagi Nadira dengan sangat mudah. Bahkan dia mengucapkannya seolah itu bukan sesuatu yang sulit sama sekali.
Nadira hanya mengangguk untuk memberi jawabannya.
“Adik Rio ... pasti sangat baik. Semoga dia tidak menderita kelainan darah sepertiku. Jika aku sembuh, aku berjanji akan membawanya untuk bermain bersama,” ucap Rio dengan suara yang cukup lirih, tapi terdengar penuh semangat.
Lagi-lagi Nadira hanya bisa mengangguk. Walau dia tak tahu pasti, apakah keinginan dari sang anak akan terkabul atau tidak?
“Ma, tapi kalau Rio tetap mati bagaimana ...?”
“Jangan berkata seperti itu,” tutur Nadira yang langsung menggelengkan kepala. Dia tak ingin membayangkan apa pun itu yang berkaitan dengan kematian. Ia tak mau berpisah dengan orang yang ia sayang secepat ini.
“Ma, kalau Rio mati ... berarti Rio akan ketemu dengan papa, ya?” tanya anak itu dengan nada yang sangat polos.
Dokter Danish melihat jika Nadira terguncang secara mental karena pertanyaan anaknya sendiri. Untuk dia langsung meminta Rio agar beristirahat lagi saja, sementara dia akan membawa Nadira keluar.
“Aku ... merasa bersalah pada Rio,” ungkap Nadira pada rekan dokternya tersebut.
“Maksudmu?”
Nadira terdiam menatap ke arah taman belakang rumah sakit. Dia sangat merasa bersalah pada Rio karena telah menyembunyikan papanya, terlebih dia mengatakan jika papa dari Rio telah meninggal dunia.
Tapi Nadira juga tak punya pilihan, jika ia memberitahu tentang anak mereka pada Rangga. Keadaan pasti akan jauh lebih buruk dari ini.