Bab 2

2047 Words
       Ayra Aqila Pratama atau biasa orang memanggilnya Ayra atau biasa ia di panggil Rara oleh keluarganya. Ayra adalah anak pertama dari Bian dan Nesa, anak yang saat kelahirannya harus jauh dari ayah, namun akhirnya dirinyalah yang kembali menyatukan kedua orangtuanya. Gadis itu sedang asyik dengan dunianya, mengawasi area persawahan yang saat ini sedang digarap oleh beberapa buruh tani yang ia pekerjakan. Hidup mandiri di Wonogiri, mengelola persawahan dan cabang pondok pesantran milik keluarga dari ibunya. Ayra sendiri sudah dua tahun mengurusnya, di tangan Ayra persawahan dan pondok semakin maju, mungkin pemikiran Ayra yang masih fresh membuat suasana jadi lebih bersemangat. Lahan persawahan yang dulunya digunakan untuk stok beras di toko, namun sekarang dialih fungsikan menjadi sumber keuangan juga untuk pesantren. Meraka menanam apapun yang sekiranya bisa menambah keuangan pesantran.        Namun minggu lalu, seseorang yang mengatakan dirinya dari kota ingin membeli lokasi persawahan mereka dan juga sawah di sekelilingnya, mereka mengatakan ingin membuat pabrik. Tentu saja Ayra menolaknya, daerah di sini sudah asri dan tenang bila di sini di jadikan Pabrik maka akan berdampak banyak pada sekitar ya, belum limbahnya, belum juga alat berar dan mobil-mobil besar keluar masuk sesa membuat jalanan kecil seperti ini akan mudah hancur. Apalagi persawahan ini adalah mata pencaharian masyarakat di sini kalau di beli mereka akan makan apa nantinya kalau lahan sawah tidak punya. Jadi Nesa dan warga desa sepakat menolak, tapi yaa meski ada yang menolak beberapa warga tetap saja ada yang membelot, apalagi uang yang ditawarkan tidak sedikit. Mereka melakukannya tanpa pikir panjang bahwa ke depannya apa yang bisa mereka hasilkan kala uang hasil pembelian itu habis.       “Nduk, pulang yuk? makan siang e wes ibu paring ne bapak e, (Nak, pulang yuk? makan siangnya sudah ibu kasih bapaknya)" ucap Bu Narti salah satu pengurus pesantren, Bu Narti ini kebagian penanggung jawab dapur, menyiapkan makan untuk anak-anak pesantren dan juga para pekerja di sawah, dan para santriwati secara bergantian membantu bu Narti di dapur, ya sekaligus melatih mereka mandiri. Hidup itu keras jadi mereka harus bisa survive dari saat remaja begini. Dan pondok menjadi salah satu bentuk pelatihan dasarnya.      "Enggeh, Bu" Ayra mengikuti Bu narti melewati pematang sawah menuju jalan raya, Ayra gadis cantik Putri dari Bian dan Nesa ini tidak pernah malu untuk pergi ke sawah, dirinya senang mengantar sarapan dan makan siang bagi para pekerja di sawah, pakaian gamis yang ia kenakan tidak menghalanginya untuk tetap lincah beraktifitas di sawah seperti ini. Awalnya dirinya di sini banyak desas-desus aneh, karena dirinya bercadar. Bahkan sempat ada larangan orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren tersebut, takut anak-anak mereka diajarkan yang tidak benar, pernah pula saat akan pulang dari pasar dirinya di cegat oleh beberapa orang yang mengatas namakan team keamanan desa memaksa menggeledah mobilnya karena takut dirinya bawa bom, sampai akhirnya dirinya hampir menyerah, Untungnya sang adik menyusul danmemberikan motivasi untuk sang kakak, Danish pasang badan untuk sang kakak, begitupun adik-adiknya yang lain Ayra memang menjadi satu-satunya putri bagi Bian, sebenarnya Ayra juga bukan perempuan lemah, namun mungkin baginya ini sedikit berat karena dia menghadapi itu sendiri untuk pertama kalinya.       Tapi Alhamdulillah masa itu telah berlalu, sekarang pandangan itu semua luntur begitu saja, masyarakat di sana sekarang sudah sangat paham bagaimana seharusnya perempuan itu berpakaian. Bahkan desa di mana pesantren Alif tersebut berdiri ada aturan, denda bagi perempuan yang berkunjung dan tidak berhijab, Masya Allah, maha suci Allah yang mampu membolak-balikkan hati setiap hamba-Nya.      "Astagfirullah," teriak Bu Narti yang hampir saja terserempet mobil. Ayra yang melihat itu segera mendekat, sedangkan mobil yang hampir menyerempet berhenti tidak jauh dari mereka. Sosok lelaki muda turun dari arah pengemudi. Ayra yang melihat itu tidak tinggal diam dia segera mendekati lelaki tersebut.      "Assalamu'alaikum, mas, kalau bawa mobil hati-hati ini jalan kecil." marah Ayra, meski sosok tadi juga terlihat merasa bersalah, tapi itu tidak menyurutkan rasa kesal Ayra karena keteledoran si pengemudi. "Wa'alaikumussalam, maaf, mbak, saya nggak sengaja tadi saya terlalu fokus melihat sekeliling. Mbak, nggak papa?" Tanya pemuda itu pada Ayra. "Bukan saya, tapi Ibu yang di sana. Mas lagi nyetir begini harusnya fokus ke jalan bukan lihat kanan kiri. Kalau sampai ada apa-apa sama yang mas hampir tabrak bagaimana?" Ayra masih meneruskan omelannya, tanpa menyadari bahwa lelaki tersebut melihat hal berbeda dari Ayra.  "Baik, Mbak, saya minta maaf, Bu, saya minta maaf." ucap lelaki tersebut pada Bu Narti yang mendekat. "Lho, Den Ansell kan ya? Cucunya Eyang yang baru pulang kemarin kan ya?" tanya Bu Narti saat sudah mendekati keduanya. Semua orang di daerah sini tahu Eyang yang di maksudkan siapa jadi tidak aneh kalau semuanya di sini memanggil beliau hanya Eyang tanpa embel-embel nama. Ayra sedikit mengangkat alisnya, dirinya tidak tahu kalau Eyang punya cucu lelaki, yang di ceritakan padanya hanyalah kedua cucu perempuannya yang di Jakarta. Tapi ya sudahlah bukan urusan dia ini. "Ah iya, Bu," Ansell merasa lega karena ada yang mengenalinya, kalau tidak dirinya akan terkena masalah. Kalau Ansell tidak salah ingat perempuan ini adalah istri pak Jaka sopirnya. "Ya sudah, hati-hati bawa mobilnya kalau belum paham daerah sini mending di suruh antar Pak Jaka saja." "Iya, Bu tadi pak Jaka nya sepertinya sedang antar Kakung, jadi saya coba jalan sendiri. Ibu sama Mbak mau pulang mari saya antar." Tawar Ansell pada Keduanya, matanya melirik Ayra yang sedang memandang hamparan sawah. "Nggak perlu, Ibu sama Ayra bawa kendaraan sendiri.” Tolak bu Narti dengan sangat sopan, mau bagiamanapun ini adalah cucu dari majikan suaminya.  "Baiklah kalau begitu, sekali lagi saya minta maaf, Bu, Mbak." Pinta Ansell dengan penuh penyesalan. "Iya sudah ibu maafkan." "Bu, kita pulang ya." Ajak Ayra tanpa melihat masih ada orang lain di sekitar mereka.  "Ya wes ayo pulang. Nak Ansell ibu sama Ayra pulang dulu. Assalamu'alaikum." Pamit Bu Narti dan diikuti Ayra kembali ke tempat di mana motor matic miliknya terparkir. "Wa'alaikumussalam. Anak Pak Jaka lucu juga." Bisik Ansell tanpa sadar, masih dengan memperhatikan Ayra yang sudah menaiki matic miliknya. *** "Mbak Ayra tengnopo, Bu? (Mbak Ayra kenapa, Bu?)" Tanya salah satu ibu-ibu yang membantu Bu Narti di dapur.  Bu Narti ini bisa di bilang sebagai orang yang mengatur dapur kalau istilah kerenya tu kepala Koki. "Emange ginio? Wes gak sah ngurusi Ayra, maeme anak-anak santri wes siap pugung? (Emangnya kenapa? Sudah nggak usah ngurusi Ayra, makannya anak-anak santri sudah siap belum?)" usir Bu Narti sebagai pengalihan atas pertanyaan ibu-ibu yang sedang kepo. Apalagi biasanya pulang dari manapun Ayra akan menyempatkan diriny mampir ke dapur tapi ini tidak biasanya, Ayra langsung pergi begitu saja menuju kediamannya, makanya mereka penasaran. "Halah, Bu Narti, aku karo ibu-ibu liyane ki penasaran, biasane Mbak Ayra ke mampir nang pawon sek, lha kok iki blunus ngono ae. (Alah, Bu Narti, Aku sama ibu-ibu yang lain tu penasaran, biasanya Mbak Ayra itu mampir ke dapur dulu, lha ini kok pergi gitu aja)" "Yo kan sopo ngerti enek penting to? Kan jarene keluargane ape rene. (Ya siapa tahu ada kepentingan to? Kan katanya keluarganya mau ke sini.)" tambah Bu Narti menjelaskan, meski dirinya tahu apa penyebab Ayra bertingakah aneh, namun biarlah itu urusan Ayra, buat apa juga dia bergosip, bikin hati resah dan dosa semakin numpuk. Amalnya saja belum seberapa masa iya lancang buka privasi orang. "Oalah, Den bagus Danish lan adik-adik e berarti bakal mrene. Masya Allah ketemu tole-tole ganteng.( Oh begitu, nak bagus Danish dan adik-adiknya bakal ke sini. Masya Allah ketemu anak-anak ganteng)" timpal ibu yang lainnya, Danish itu adik Ayra yang pertama dan dia selalu jadi primadona bagi ibu-ibu di sini.  "Ya wes ndang kerjo neh, malah sek nek kene wae ra bar-bar engko. ( ya sudah segera kerja lagi, malah masih di sini saja nggak selesai-selesai nanti.)" Akhirnya para ibu-ibu itu kembali ke tempatnya masing-masing karena bel tanda istirahat sudah berbunyi. Tempat makan di pondok ini dibedakan di mana ruang makan anak lelaki dan perempuan di pisahkan, meski mereka ambilnya tetap dalam satu tempat. Pelajaran umum bisanya berlangsung sampai sebelum dzuhur, setelah bel dibunyikan anak-anak akan segera menuju tempat wudhu dan memulai jamaah salat Dzuhur, lalu di lanjutkan dengan makan siang dan istirahat sampai jam 2 siang, dilanjutkan kegiatan lain yaitu menghafal alquran dan hadist sampai waktu ashar, dilanjutkan bersih-bersih dan menyiapkan makan malam. Pukul 5 mereka sudah harus mandi dan menuju mushola untuk persiapan magrib dilanjutkan tausiyah singkat dari para ustaz secara bergantian tiap harinya. Memasuki Isya mereka kembali jamaah, isya selesai maka murid bisa kembali ke kamar untuk istirahat, dan saat istirahatlah mereka di bebaskan dalam artian terserah mereka mau mengisi istirahat dengan apa, langsung tidur atau mengulang ilmu yang tadi mereka dapatkan, atau melakukan kegiatan yang mereka sukai asalkan masih dalam koridor islamiah dan tidak melanggar tata tertib sekolah. Di sepertiga malam mereka akan dibiasakan untuk bangun dan salat tahajud, tidak ada paksaan untuk ini namun sebisa mungkin santri dan santriwati diharapkan dapat mengikutinya. Biasanya mereka akan dibangunkan pada jam 2-3 pagi lalu bertilawah bersama dan salat tahajud bersama, lalu mereka kembali tidur untuk menunggu subuh, bagi yang mau lalu lanjut untuk dua rakaat sebelum subuh mereka juga bisa melakukannya tanpa paksaan, pukul empat mereka para santri dan santriwati sudah bangun guna melaksanakan salat subuh berjamaah.  Rutinitas itulah yang di jalani anak-anak di sini, namun meski begitu para santri dan santriwati tidak ada yang mengeluh dan lain-lain. Pendidik di sini pun benar-benar dipilih dari banyak kandidat, terbaik dari yang terbaik insya Allah. Jadi bukan sekedar guru kulusan kumload namun pada realnya jauh dari kata kumload. Setiap orang mampu berteori namun pada hakikatnya dalam dunia luar teori yang kita pelajari mampu tidak menerangkan pada masyarakat? Bukankah kalangan masyarakat itu banyak yang berbeda? Tentu saja penyampaiannya pun juga perlu dipikirkan.  Kembali ke Ayra, gadis tadi memasuki kamarnya dan menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur. Hatinya merasa terganggu dengan lelaki yang tadi ia temui. Ada rasa yang tak biasa yang semakin nyata. "Astagfirullah, ada apa dengan hatiku ya Allah, kenapa gelisah begini?" Tanya Ayra pada Sang Pencipta. "Mungkin ini karena aku kesal dengannya, makanya Allah hukum aku, karena harusnya aku tidak perlu membentak" Ayra masih setia bermonolog ria di dalam kamarnya.  "Telpon Abi saja mungkin Abi ada jawaban." Ayra segera mengambil gaeai yang berada di saku gamisnya, namun dirinya kembali bingun "Tapi kalau Abi nanya macem-macem gimana? Apalagi kalau sampai nyusul buru-buru kan nggak asyik nggak bisa keluar." "Ya sudahlah biarkan saja nanti pasti hilang sendiri setelah salat." Ayra kembali meletakkan gawainya dan menuju kamar mandi untuk berwudhu. *** "Eyang, Pak Jaka punya anak perempuan yang cantik ya?" Tanya Ansell pada sang eyang saat mereka sedang santai di teras depan, Eyang sedang memandikan burung-burung peliharaannya yang katanya sudah dianggap sebagai penghibur kala rindu pasa anak-anaknya. "Anak perempuan? Anak pak Jaka lho lelaki semua." ucap sanga Eyang, pasalnya selama ia mengenal Jaka dia tidak tahu Jaka punya anak lain yang perempuan, masa ia Jaka punya anak dari perempuan lain? "Ha, lalu tadi siapa dong yang sama Bu Narti?" lanjut Ansell masih penasaran. Membuat Eyang juga ikutan penasaran apalagi cucunya ini tadi mengatakan kalau perempuan itu cantik, suatu kemajuan bukan? "Di mana kamu ketemu mereka?" Tanya Kakek lagi, fokusnya sekarang beralih pada sang cucu mengabaikan burung yang dari tadi ia mandikan. "Tadi Ansell ketemu di sawah saat lagi naik mobil dengan santai." ucap Ansell sedikit berbohong. Kalau tahu dirinya hampir nyerempet orang bisa habis dirinya di omeli. Eyangnya ini selalu mengajarkan dirinya untuk bersikap unggah ungguh di manapun berada, jadi naik mobil pun di sini harus pelan sambil sapa siapapun yang papasan. Batin Ansell "Apakah bercadar?" tegas kakek memastikan. Kalau tebakannya benar maka gadis itu adalah keponakan pengurus pondok. "Iya," "Oh itu Ayra namanya dan dia orang Jakarta dia keponakan pemilik pondok pesantren, wajahnya cantik insya Allah, baik dan eyang lihat dia tidak setengah-setengah dalam berjuang untuk agamanya. Dia yang akhirnya bisa merubah para ibu-ibu dan remaja di sini berhijab syar'i, sampai akhirnya di sini ada peraturan denda jika tidak berhijab bagi perempuan muslim. Kan kebetulan di desa ini muslim semuanya,  dia juga adalah ketua dari perhimpunan kelompok ibu tani di desa sini, dan yang paling penting dia adalah pemilik lahan yang sedang kau ditawar untuk lokasi proyekmu itu." Ansell yang mendengar penjelasan sang kakek seketika lemas, apa yang dia rencanakan tidak sesuai harapan.  “Berarti kalau Ansell bisa luluhkan hatinya, Ansell bisa mudah dapatkan lahan itu?” Tanya Ansell namun seketika ia meralat ucapannya saat meliht tataoan sangeyng padanya. “Ahh maksudnya Ansell itu luluhkan dalam artian dia bisa paham niat Ansell kenapa beli lahan itu.”  “Ohhh begitu, eyang hanya berpeaan jangan kamu bermain api kalau kamu tidak sanggup menahan panasnya rasa terbakar.” Setelah mengatakan itu eyang pun pergi meninggalkan Ansell dengan kebingungan, mencoba mencerna maksud dari perkataan sang eyang.  TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD