10. Bara Pergi

1600 Words
10. Bara Pergi Cinta yang kamu tawarkan seperti apa? Mengapa hanya satu penolakan dan kamu menyerah begitu saja. --- Anna bangun lebih pagi dari biasanya. Beberapa kali dia meregangkan tubuh, menarik otot-ototnya yang terasa kaku. Menguap dengan mata setengah memejam, Anna membuka knop pintu kamarnya. Yang setelahnya disambut kesunyian. Ini tidak biasa. Beberapa minggu belakangan, rumahnya tak lagi sepi seperti dulu, berkat kehadiran satu orang lelaki. Namun kali ini .... Anna membelalak, teringat pertengkarannya dengan Bara semalam. Beberapa kalimat kasar yang dia lontarkan pada Bara kembali menggema. Membuat ulu hatinya ngilu. Dia mungkin sudah keterlaluan. Pada dasarnya, lelaki itu hanya menginginkan Anna menjauhi bahaya. "Kak Bara," Anna memanggil, mencari lelaki itu hendak meminta maaf. Namun, saat langkah kakinya terayun ke dapur. Pemandangan yang selama ini menemaninya kembali hadir, hanya ada gelap, hanya ada sepi. Tidak ada Bara yang berdiri di depan kompor, disibukkan dengan penggorengan. Tidak ada bau masakan yang semerbak menggoda penciumannya. Tidak ada bunyi berisik dari spatula dan penggorengan yang saling beradu, yang membuat suasana rumah terasa lebih hidup. Anna mengernyit. Mungkinkah lelaki itu kesiangan. Pikirnya. Dia menimbang gerak tangannya yang hampir terayun membuka pintu kamar yang Bara tempati. Ragu untuk menerobos kamar itu, sedang di dalamnya ada seorang laki-laki yang tidak memiliki ikatan apapun dengannya. Anna tidak mau lancang. Namun dia juga penasaran. Tidak biasanya Bara bangun kesiangan. Tiga minggu terakhir ini, justru dia yang hampir setiap harinya dibangunkan oleh Bara. Menarik napas, Anna memutuskan untuk mengetuk pintu. Mendahulukan kesopanan. "Kak Bara," panggil Anna, sembari jemarinya tak lelah mengetuk. Masih belum ada sahutan, kesunyian itu terasa semakin pekat menyelimuti sekelilingnya. "Kak Bara marah ya, maaf deh ...." Anna memelas. Segala perkataan yang keluar dari bibirnya semalam adalah emosi semata. Dia terkejut dengan segala pengakuan Bara. Terlalu tidak terduga. Hingga Anna merasa seolah ada bom yang diledakkan di dekatnya tanpa dia memiliki persiapan. Anna sudah terbiasa tanpa kata itu, sehingga hatinya begitu beku untuk satu kata cinta. Masih terus mengetuk, dan masih tanpa sahutan, Anna lelah sendiri. Pada akhirnya, dia memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Bara. Dan kesepian yang kembali menyambutnya. Kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Dengan puluhan tanya bersarang di dalam kepalanya, Anna melangkah masuk. Memindai kamar yang tampak rapi dan menebarkan wangi khas lelaki. Hanya tiga minggu, dan Bara sukses mengubah kamar neneknya menjadi lebih hidup. Anna tidak tahu, jika hanya karena wangi parfum yang menguar mampu memberi kesan sampai sedalam itu. "Kak Bara ke mana?" tanya Anna pada dirinya sendiri. "Atau mungkin sedang keluar rumah. Tapi, masih terlalu pagi." Berpikir positif, Anna keluar kamar, menutup pintu di baliknya dengan gerakan pelan. Kemudian pergi ke arah dapur lalu berbelok ke kamar mandi. Menjalani rutinitas paginya seperti biasa. Hingga Anna selesai mandi dan berpakaian. Bara tak kunjung terlihat. Anna menelan ludah, mengingat kembali ucapannya semalam dan mengumpat seketika. Nampaknya ucapannya memang berlebihan. Kembali masuk ke dalam kamar yang Bara tempati, Anna memindai kamar itu lebih saksama. Napasnya tertahan, ketika tak menemukan tas ransel Bara. Kakinya ingin melemas saja menyadari kebodohan. Dia hanya emosi semalam, sehingga tidak memikirkan segala kata yang keluar dari bibirnya lebih dulu. Terlambat kah? Bara sudah pergi, seperti yang dia katakan semalam. Anna melangkah lemah, menghadapi kenyataan, bahwa tidak akan ada lagi kehangatan di rumah itu. Tidak akan ada lagi senyum Bara di pagi hari dan wangi masakan lelaki itu. Dia telah salah. Dan kini, Anna tak tahu harus bagaimana? Meski lesu, tak bersemangat dan enggan memakan apapun. Anna memaksakan diri untuk membuka lemari pendingin. Harinya akan panjang nanti, jam kuliahnya penuh sampai siang. Dan, dia tak berharap untuk pingsan di tengah jam kuliah karena lupa makan. Makan ini dulu. Sandwich daging, buat sarapan. Anna tersenyum, membaca sepotong memo yang menyambutnya saat membuka lemari pendingin. Tertempel di sebuah kotak bekal warna merah. Seingat Anna, dia tidak pernah membeli kotak bekal seperti itu. Meletakkan kembali kotak itu ke tempatnya. Anna beralih mengambil kotak lain. Berisi rendang matang dengan wangi yang menggiurkan saat dibuka. Masih dengan memo, mengatakan untuk menghangatkannya dulu sebelum dimakan. Lalu harus menghabiskannya sebelum tiga hari. Dengan kuluman senyum tipis, Anna memindai isi kulkasnya yang kini terisi penuh. Ada banyak kotak s**u, buah-buahan beraneka macam, makanan ringan dan minuman kaleng. Semua itu adalah ulah Bara. Lelaki itu yang mengisi kulkasnya sampai terisi penuh seperti itu. Dan hal itu, membuat hati Anna kembali tercungkil. Merasa bersalah. Mengapa dia sampai berbicara sekasar itu pada Bara. Laki-laki yang jelas bersikap baik padanya. Tanpa kedatangan Bara kemarin malam, Anna tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Menghela napas, Anna meraih kotak sandwich itu dan mengambil sebotol minum. Bekal sarapan yang akan dia habiskan di kampus nanti. Dia bertekad untuk mencari Bara. Alasannya, sudah pasti karena dia merasa bersalah pada lelaki itu. *** Kampus masih sepi, ketika Anna menginjakkan kaki di gerbang depan. Padahal, dia datang tidak pagi-pagi sekali kok. Tadi, sebelum naik bus, Anna menyempatkan diri berjalan di sepanjang trotoar, hampir tiga puluh menit untuk mencari sosok laki-laki yang menghilang dari rumahnya. Lelah sendiri, akhirnya Anna menunggu bus di halte dan memutuskan berangkat ke kampus. Anna mendongak, menatap birunya langit dan awan putih yang menghias di atas sana. Juga cerahnya matahari yang bersinar pagi ini. Namun, perasaan di hatinya, tidak secerah matahari itu. Bias cahaya kekuningan itu, tak berpengaruh pada mood-nya yang sudah buruk sejak di rumah. Padahal, tidak seharusnya dia seperti itu. Bara kan laki-laki, bisa menjaga diri. Ups, tunggu. Meski laki-laki, tetap saja kejahatan tak pandang bulu. Nyatanya, Bara menjadi korban p********n. Membelalakan mata, Anna menggelengkan kepala ketika berpikir Bara bisa saja tersesat. Lalu jadi bulan-bulanan preman. Ahh, Anna semakin lesu saja. Dengan langkah lambat, Anna memasuki kelas, menjadi orang pertama yang menempati salah satu kursi. Duduk di baris kedua dari depan. Jam kuliah baru akan dimulai kurang lebih satu jam lagi. Wow. Dia teramat rajin. Anna mengeluarkan kotak bekal dan minumannya dari dalam tas. Siap melahap sandwich daging buatan Bara, sebelum teringat sesuatu. Kapan Bara membuat sandwich itu? Seingatnya, sebelum berangkat kerja, Anna tidak mendapati kotak bekal itu di dalam kulkas kemarin malam. Menggigit dengan perasaan setengah hati. Anna mencoba menikmati makanan di mulutnya. Yang sialnya, semua makanan buatan Bara selalu bersahabat dengan lidahnya. Luar biasa enak. Bahkan, Anna sendiri ragu bisa membuat sandwich sederhana seperti itu dengan rasa luar biasa. Bara memang juara. Dan Anna telah menyia-nyiakan kebaikan lelaki itu. "Lho, perasaan di luar kelas cerah. Kok di dalam suram gini?" Nuri meledek. Berjalan mendekat ke arah Anna yang duduk bersandar dengan muka ditekuk. Di dalam kelas tidak ada mahasiswa lain kecuali Anna. Teman-temannya masih di lorong atau pun di kantin, saat Nuri berjalan melewati. Sebenarnya mencari Anna, namun gadis itu tak terlihat. Sehingga dia memutuskan mencari di dalam kelas. Dan... Gotcha. Dia menemukan Anna dengan wajah lesu. Berbeda sekali dengan  wajah Anna beberapa hari belakangan. "Kamu kenapa?" Nuri menyenggol bahu Anna, saat dia sudah menempati duduk di kursi sebelahnya. Anna menelan potongan sandiwch terakhir di mulutnya. Lalu berucap lirih. "Kak Bara pergi," Butuh waktu setidaknya beberapa detik, sebelum Nuri mencerna kalimat singkat Anna. "Kok bisa?" Anna cemberut. Menoleh enggan, membalas tatap sahabatnya. "Aku ngusir dia semalam," Nuri menaikkan sebelah alisnya. Kalau ngusir, kenapa muka ditekuk lesu seperti itu. Anna mirip seorang gadis yang kehilangan pacar. Lah? "Dia lecehin kamu?" tebak Nuri tiba-tiba. Mencari alasan di balik pengusiran Bara. Tapi tunggu ... Kalau dilecehkan, nggak mungkin juga Anna semenyesal itu kan. Harusnya marah. Anna mendecap. "Kak Bara bukan laki-laki berengsek yang gemar melecehkan wanita." Dan entah kenapa, Anna tidak terima jika Bara dituduh yang tidak-tidak. Karena, yang hampir melecehkan dirinya itu bukan Bara, tapi yang lain. Anna seperti orang yang nggak ngerti terima kasih, sudah ditolong, malah emosi dan mengeluarkan kalimat menyebalkan. Malah sempat ngajak debat semalam. Nuri melenguh. Di balik raut wajah lesu tak bersemangat itu, tersimpan kesewotan luar biasa. "Dia datang ke club semalam, trus narik aku keluar secara paksa pas mergokin aku dipepet salah satu pelanggan." cerita Anna lirih, namun, mampu membuat Nuri menggebrak meja dengan cukup keras. "Apa? Dipepet!" jerit Nuri tertahan. Selama ini, Anna tidak pernah bercerita tentang hal seperti itu. Karena memang tidak pernah terjadi, kecuali ditawari berdua oleh banyak pelanggan. Anna cantik, meski tidak berdandan pun pasti membuat banyak lelaki tertarik. Apalagi, lelaki hidung belang yang hanya mencari kesenangan dan kepuasan. Anna meletakan jari telunjuknya di depan bibir. Berdesis tajam. Sebab sudah ada beberapa mahasiswa yang masuk ke dalam kelas. Nuri nyegir, menggumamkan maaf. "Terus?" "Ya, gitu. Kak Bara nonjok laki-laki yang mepet aku, bawa aku kabur, dan di tengah jalan, kami justru berdebat ..." Nuri diam mendengarkan. Anna menelan ludah. Ini, inti dari masalah, yang membuat dia sampai meluapkan amarah. "Dia bilang, dia cinta sama aku." Sama seperti reaksi saat Anna memulai bercerita. Nuri menggebrak meja. Membuat beberapa teman sekelasnya menoleh ingin tahu. Nuri menolehkan kepala, melirik area sekitarnya dengan dua tangan ditangkup menjadi satu. "Maaf," gumamnya lirih, sebelum menghadap kembali ke arah Anna. "Dia nembak, dan kamu mengusirnya tanpa belas kasih. Ck ... tega kamu Ann," "Aku emosi. Tahu sendiri, gimana reaksiku tentang kalimat cinta itu sendiri." Nuri meluruhkan bahu, bersandar. Paham benar dengan gejolak di hati Anna, ketika menyinggung tentang cinta. Gadis yang ditinggalkan sedari kecil. Hasil dari pengkhianatan cinta kedua orang tuanya. Tentu, itu bukan hal yang mudah bagi Anna untuk menerima. Ketika Anna sendiri sudah kehilangan kepercayaan cinta itu sendiri. "Kalau dia cinta, kenapa begitu mudah pergi hanya karena satu penolakan diriku," Anna melirih. Tak habis pikir akan satu hal itu. Dia sadar, dia memang salah, namun dalam hal ini, Bara yang pergi hanya satu penolakan darinya, membuat Anna semakin tak mempercayai. "Memangnya, cinta seperti apa yang dia tawarkan?" kembali menggumam, kali ini, Anna melontarkannya dengan segenap ketidaktahuan rasa. Dan ... dua gadis di sana sama-sama tak menemukan jawaban
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD