Bab 8. Ancaman

1346 Words
Entah sejak kapan perlakuan Andhika sedikit berubah. Dia mempunyai hobi baru, main game online yang sedang viral dan terkenal itu. Hingga aku diabaikan. Dia memang masih mengajakku jalan tapi tidak seperti dulu. Sore itu aku masih menunggu Andhika di depan kampus. Tapi dia tak kunjung muncul padahal sudah lewat satu jam dari waktu janjian. Aku menghubunginya namun tidak direspon. Hingga kulihat sebuah mobil mendekat. Mobil Om Rizki. Dia berhenti tepat di depanku berdiri. "Key, sedang nunggu siapa? Ayo pulang," ajak Om Rizki. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak ada tanda-tanda Andhika akan muncul. "Ayo naik, udah sore lho," sergah Om Rizki lagi. Akhirnya akupun naik ke dalam mobilnya. Sejak hari itu Om Rizki jadi sering mengantar jemputku. Aku merasa justru akhir-akhir ini perhatian Om Rizki terlalu berlebihan. Diapun sering mencuri-curi pandang ke arahku. Diam-diam aku juga sering memperhatikannya ketika dia sedang bersama Tante Nadia, terlihat manis dan mesra. Aku jadi iri ingin menjadi seperti Tante Nadia. Hal yang sering kudengar mereka seringkali berdebat masalah anak. Ya, selama menikah dengan Om Rizki, Tante Nadia tak kunjung hamil. Entah siapa yang bermasalah, akupun tidak tahu. Tapi aku sering mendengar ibu mertua tante selalu memaki-maki atau mempersalahkan bahwa Tante Nadia-lah yang mandul, tidak bisa memiliki keturunan. Hari berganti hari, aku makin merasa nyaman dengan Om Rizki, ketika aku meminta uang tambahan jajan ataupun minta dibelikan baju, bahkan handphone baru, dia pun segera membelikannya. Bahkan waktu itu, dia sempat memberiku sebuah cincin permata biru. Saat kutanyakan ke toko perhiasan, harganya mencapai belasan juta hanya untuk sebuah cincin. Amazing! Rasa nyamanku terhadap Om Rizki membuatku lupa diri dan melupakan balas jasaku pada Tante Nadia. Aku khilaf, aku memang bersalah, sudah mengkhianati tanteku sendiri demi egoku *** "Key, Keysha, kenapa bengong? Kenapa diam aja dari tadi?" suara Om Rizki mengagetkanku. "I-iya, Om." "Tenang aja, jangan gugup," sahut Om Rizki lagi. "Iya, Om." "Maaf, om turunin kamu disini ya," ucap Om Rizki hati-hati. "Iya, gak apa-apa om." Akupun turun dari mobil dan mulai berjalan kaki menuju rumah. Langkahku seakan berat sejak dari tadi beraktivitas. Kuketuk pintu, semoga Tante Nadia tidak menanyaiku macam-macam. Seperti yang kuduga, ada rasa cemas dan curiga ketika aku sering pulang malam. Tatapannya seperti mengulitiku, hingga aku merasa kikuk dan gugup menghadapi tante. Segera aku memasuki kamar dan mengunci pintu setelah menjawab pertanyaan tante, bahwa aku baik-baik saja. Menjelang malam, segera kupejamkan mataku. Setelah mengirim pesan WA pada Om Rizki. Tapi sepertinya Om Rizki tidak on, mungkin dia juga kelelahan. Entah berapa lama aku terpejam, ketika terbangun waktu sudah menunjukkan hampir dua dinihari. Karena rasa penasaranku, setelah buang air kecil segera aku menguji alat tes kehamilan itu. Dag-dig-dug jantungku berirama tak menentu, ketika menunggu beberapa saat. Dan dua garis merah terlihat jelas pada alat itu, yang artinya aku positif. Rasanya shock melihat ini semua. Tubuhku gemetaran. Tidak, rasanya ini tidak mungkin! Segera kuhubungi om Rizki perihal itu. Kukirim foto hasil testpack. Aku menangis, rasanya tidak percaya, bagaimana ini? Akupun merasa ragu ini anak siapa? Tak berselang lama Om Rizki datang ke kamarku. Aku benar-benar khawatir, entahlah apa yang harus kulakukan. Aku menyetujui semua omongan Om Rizki, karena kupikir itulah yang terbaik. Tapi siapa sangka Tante Nadia mendengar semuanya. Aku yakin Tante sangat terluka atas pengkhianatan aku dan juga suaminya. Dugaan Om Rizki ternyata meleset jauh, buktinya Tante Nadia justru menolak untuk dimadu. Yang artinya dia tidak menerimaku. Dadaku terasa sesak. Siapa yang akan Om Rizki pilih? Namun siapa sangka justru Tante Nadia memilih mundur dan mengusir kami semua dari rumah. Ah, aku jadi benci sama Tante Nadia! Kenapa dia begitu tega mengusir kami semua seperti melecut ayam yang bertandang ke rumah. Sebelumnya tak pernah kulihat Tante Nadia semarah dan seberani ini pada kami. Aku dibawa ke rumah ibu, singkatnya ibu merestui kami untuk menikah berkat bayi yang kukandung, meskipun sempat ada drama dan perdebatan yang lain. Om Rizki pun begitu memanjakanku. Membuat aku merasa mantap bahwa pilihanku tidak salah. Biarlah menikah dengan orang yang lebih tua sebelas tahun dariku, yang penting dia mapan dan mampu memenuhi kebutuhanku dengan baik. *** "Anak perempuan jam segini baru bangun!" sindir ibu saat aku menghampirinya di meja makan. Kutoleh ke kanan dan ke kiri namun tak kulihat sosok Om Rizki. "Maaf bu, Om Rizki dimana ya? Kok gak kelihatan?" tanyaku ingin tahu. "Dia sudah berangkat kerja dari tadi!" pungkas ibu dengan ketus. Aku hanya mengangguk, sepertinya ibu memang tidak menyukaiku. Tapi tenang saja, aku punya senjata yang ampuh untuk membungkam mulut ibu, ya, anak ini. Karena dia, Om Rizki menyayangiku. "Kalau bukan karena Rizki dan anak yang kamu kandung, sudah kuusir kamu dari rumah ini!" sentak ibu lagi dengan nada begitu ketus. Rasanya sangat nyeri. Entahlah kenapa aku tidak bisa bangun pagi, dulu Tante Nadia selalu membangunkanku dan mengingatkanku untuk sholat subuh. "Sekali lagi kamu malas seperti ini, ibu tidak segan-segan untuk mengusirmu," ancam ibu lagi. "Nih beresin piring-piring kotor ini lalu segera cuci yang bersih!" imbuhnya yang hanya kujawab dengan anggukan kepala. Tunggu saja Bu, kalau aku sudah menikah dengan anakmu, akan kubalas perlakuan ibu seperti ini. Aku tidak akan pernah mau tinggal disini dan dianggap sebagai babu. Aku akan tinggal di rumahku sendiri sebagai ratu. Om Rizki pasti akan sangat menyayangiku. Setelah membersihkan piring dan menyapu rumah, segera aku bersiap-siap menuju ke kampus. [Om, Keysha berangkat kuliah dulu. Kalau bisa nanti jemput ya om seperti biasa, Key pengin diajak jalan-jalan lagi] Kuklik tombol send dan terkirim padanya. Namun ia tak segera membalas atau membacanya. Biasanya kalau ada pesan dariku dia langsung baca dan meresponnya. Apakah pekerjaannya di kantor sangat sibuk? Bahkan tadi saat berangkat ngantor, dia tidak berpamitan denganku. Aaahh, sudahlah. Sampai di kampus, aku melihat Andhika di depan ruang kelas. Aku segera berbalik dan berlari menuju ke belakang gedung. Namun langkah cepat Andhika menghentikanku. "Tunggu, Key! Key, tolong, maafin aku, kumohon," ujarnya. Dia masih mengejarku, entahlah kenapa dia tak gampang menyerah. Dia terus mendekatiku, dan langkahku terus mundur hingga badanku terpentok tembok. Dia menyanderaku dengan kedua tangannya bertumpu pada dinding, kepalaku berada diantara kedua tangannya. Suasana di belakang gedung yang sepi membuatku merasa takut. Hanya terdapat pepohonan rimbun yang menjulang tinggi. 'Sial! Kenapa tadi aku lari kesini sih!' gumamku dalam hati "Kenapa kamu mau lari dariku, Key?" tanyanya dengan nada pelan penuh penekanan. "Kita saling mencintai kenapa kau ingin berpisah? Bahkan kita sudah sejauh ini? Aku tidak terima kalau kita putus begitu saja!" pungkasnya, seraya tangan kanannya membelai pipiku dengan lembut. Aku terdiam. Tidak, sudah kuputuskan aku akan bersama Om Rizki. Om Rizki lebih baik dari pada Andhika. "Key, apapun akan kulakukan. Aku janji akan berhenti main game. Tapi tolong jangan putus dariku," ucapnya dengan nada menghiba. Aku menggeleng perlahan. "Maaf, aku tidak bisa." "Kenapa? Apa karena laki-laki itu? Siapa dia? Ayo, katakan padaku! Akan kubuat perhitungan padanya!" Nada penuh penekanan yang dilontarkan Andhika membuatku bergidik ngeri. Deg, jantungku berpacu dengan cepat mendengar pernyataannya. Bisa saja Andhika berlaku nekat dan mencelakakan Om Rizki. "Laki-laki? Laki-laki siapa?" aku balik bertanya dengan nada pura-pura tidak tahu. Andhika menatapku dengan sinis dan sorot mata kebencian. "Katakan, siapa laki-laki itu? Laki-laki yang sudah menidurimu selain aku?!" lirihnya. Dia sedang mengintimidasiku. "Apa maksudmu? Aku gak ngerti!" Dia hanya menyeringai, menyeramkan. "Kau akan menikah bukan? Aku yakin pasti ada sesuatu yang terjadi hingga tiba-tiba kau menikah." Aku menggeleng. "Aku sudah tahu semuanya, tantemu yang memberi tahu kalau kau akan menikah." "Ta-tante?" "Ya, kemarin aku ke rumahmu, tapi kau tidak ada. Tantemu bilang kau pindah ikut calon suamimu." "A-apa lagi yang ta-tante katakan?" tanyaku dengan nada terbata. "Tidak ada. Tapi tantemu sungguh-sungguh sangat cantik. Aku kira tantemu itu wanita tua dengan dandanan yang menor. Ternyata aku salah. Tantemu sangat anggun, dia bahkan memakai jilbab, tidak mungkin kan kalau dia berbohong?!" Glek, aku menelan saliva. Dia sudah berani datang ke rumah tante. Kalau Andhika bertemu dengan Om Rizki bisa gawat. Apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan berkelahi? "Baik, kalau kau tidak mau mengatakannya, biar aku yang cari tahu sendiri," tukasnya ketus. "Ingat, aku akan buat perhitungan padanya. Karena dia sudah berani merebut kekasihku!" ancamnya lagi. "Ingat ya Key, kau hanya milikku. Sampai kapanpun kau akan tetap milikku!" bisiknya lagi kemudian dia pergi meninggalkanku begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD