Aku mendongak, namun rasanya diriku menjadi beku, terkejut sekaligus tertegun melihatnya berdiri di hadapanku.
"Hasbiiii, siapa yang datang? Apa kurir pengantar makanan?" tanya suara seorang perempuan dari dalam. Kemudian wanita cantik itu datang menghampiri kami yang sedari tadi terdiam.
"Hei, ada orang kok bengong aja!" tukas wanita itu sambil menepuk lengannya. Mas Hasbi hanya tersenyum sambil sesekali melirikku. Senyumannya masih sama, seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya.
"Berapa semuanya, Mbak?" tanya wanita itu, setelah dia tahu aku membawa makanan yang mereka pesan.
"Ini mba." Kuserahkan nota itu, diapun menerimanya. "Tunggu sebentar ya, aku ambil uangnya dulu."
Aku mengangguk.
"Oh iya mbak, bisa minta tolong sekalian dibawakan ke dalam, soalnya anak-anak sudah menunggu," pintanya.
"Baik, mbak," jawabku gugup. Dagdigdug, debaran jantungku berirama makin tak menentu, rasanya begitu canggung.
"Hasbi, tolong ya, bantu mbaknya ke dalam," pinta wanita cantik itu.
"Ayo ikut," ajak Mas Hasbi, ia menenteng dua kresek besar sedangkan aku membawa sisanya.
Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul dibenakku. Kenapa dulu, dia tidak menepati janjinya? Kenapa dulu dia meninggalkanku begitu saja tanpa ada satupun kabar darinya? Ah, kenapa aku malah jadi ingat masa lalu. Tak ada yang perlu diingat-ingat lagi, toh semuanya sudah berlalu. Buktinya dia bersikap biasa aja. Dia juga sudah move on. Itu tadi istrinya bukan? Tapi wajahnya seperti tidak asing.
Sampai di sebuah ruangan terdapat anak-anak, kurang lebih lima belas anak. Mereka sedang duduk sambil mengaji.
"Terima kasih ya, mbak. Ini ya uangnya, coba dihitung lagi," ucap wanita itu sambil memberikanku lembaran-lembaran uang seratus ribuan.
"Alhamdulillah, pas mbak, terima kasih ya," sahutku.
"Ah iya ini, buat ongkos kirimnya," ucapnya lagi sembari menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribuan.
"Ini terlalu banyak mbak," sahutku kikuk.
"Tidak apa-apa, aku merasa terbantu dengan ini. Jadi acara santunan anak yatim akan tetap berlangsung. Kami masih baru disini, jadi belum kenal banyak orang," tuturnya dengan nada ramah.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Kami berjalan beriringan keluar rumah.
"Aku kok salut ya sama kamu, tadi kupikir kurirnya laki-laki lho, eh ternyata wanita. Emangnya suamimu kemana?" tanyanya blak-blakan.
"Emmh, kami sudah pisah mbak," jawabku gugup. Entahlah aku benar-benar merasa canggung dan gugup sekali.
"Ooh, maaf ya aku tidak tahu."
"I-iya, tidak apa-apa mbak."
"Tunggu deh sebentar, sepertinya wajahmu gak asing, tapi siapa ya?" tanyanya sambil mengingat-ingat.
"Bundaaaa...!" panggil suara anak kecil, disusul langkah lari anak kecil berumur sekitar lima tahunan berlari ke arah wanita itu, lalu seorang laki-laki menggendong anak yang lebih kecil.
"Bunda, aku bosan main sama ayah, aku maunya main sama Om Hasbi!" celotehnya dengan nada manja.
"Ssstttt, jangan gitu, kalian sama ayah dulu ya nak, Om Hasbi'nya mau buka puasa dulu," jawab wanita itu yang dijawab anggukan kepala si gadis kecil. Ah iya, aku ingat, sepertinya dia Mbak Nisa, kakaknya Mas Hasbi. Entahlah aku merasa pangling padanya, wajahnya berubah lebih cantik dari pada dulu.
Gadis mungil itu melirikku dengan tatapan penuh tanya. "Tante itu siapa, Bunda?" tanyanya yang membuatku terhenyak.
"Ah mbak, mas kalau begitu saya permisi dulu, assalamualaikum," pamitku.
"Waalaikum salam," sahut mereka kompak. "Ayo kita masuk ke dalam."
Aku melangkah menuju motorku yang terparkir di halaman.
"Tunggu!" teriak seseorang mencegahku. Dia berjalan mendekatiku.
"Ya? Ada apa, Mas?" tanyaku canggung. Namun dia tak langsung menjawabnya. Dia terdiam menatapku.
"Maaf mas, kalau tidak ada yang dibicarakan aku permisi dulu," pamitku undur diri. Dia cukup terkejut mendengar ucapanku.
"Hasbiiii... Cepat kesini...!" panggil Mbak Nisa dengan nada berteriak.
"Ya mbak, tunggu sebentar," jawab Mas Hasbi.
"Nadia, mudah-mudahan kita dipertemukan lagi setelah ini, banyak yang ingin aku tanyakan padamu. Tapi sebelumnya aku minta maaf ya, aku masuk ke dalam dulu sudah ditunggu mbak sama anak-anak. Kamu hati-hati di jalan," ujarnya.
Aku mengangguk pelan. Kemudian dia berlalu begitu saja. Entahlah kenapa ada rasa kecewa di sudut hatiku. Mendadak hatiku menjadi aneh. Gejolak dan bayangan masa lalu kembali hadir.
Tak berselang lama, terdengar suara adzan maghrib berkumandang. Aku menepikan laju motorku menuju mushola terdekat. Segera kuambil wudhu dan sholat berjamaah di mushola itu, beruntung ada mukena yang disiapkan disana.
***
Sesampainya di rumah, segera kubereskan alat-alat masak yang tadi kupakai serta piring-piring kotor, aku cuci sampai bersih dan menempatkannya di tempat semula.
Badanku terasa letih sekali. Setelah selesai mandi, aku segera berbaring. Menatap langit-langit kamar. Kembali terngiang ucapan Mas Hasbi tadi sore. Ah sebenarnya ada apa? Apa yang ingin dia tanyakan.
Klunting
Sebuah pesan masuk ke WhatsAppku.
[Assalamualaikum, apakah ini nomor Nadia?] isi pesan dari nomor yang tidak dikenal.
Siapa ya? Balas atau jangan? Balas sajalah siapa tahu dia akan pesan catering di tempatku. Ya, aku selalu menyelipkan kartu nama di setiap kotak nasi itu, untuk promosi.
[Waalaikum salam, iya saya sendiri. Ini siapa ya? Ada perlu apa?]
[Ini aku, Hasbi. Gimana keadaanmu, baik-baik saja?]
Deg deg deg, jantungku kembali berdetak tak menentu. Namun aku tak kunjung membalas pesannya. Harus kujawab apa? Semua ini mengingatkanku pada masa lalu.
[Nadia Catering itu ternyata kamu ya? Aku suka masakanmu. Kayaknya aku bakal jadi pelanggan tetapmu nih]
Ah, kenapa dia santai sekali mengirim pesan seperti itu?
[Apa aku mengganggu waktumu?] tanyanya lagi, karena aku tak kunjung membalas pesannya.
[Maaf kalau sudah mengganggu waktumu. jangan lupa simpan nomorku ya]
[Oh iya, kalau ada waktu bisakah kita bertemu? Banyak yang ingin kubicarakan padamu]
[Selamat istirahat, assalamualaikum]
'Waalaikum salam,' jawabku dalam hati, tanpa membalas pesannya.
***
Hari ke empat merintis usaha, Mbak Andin jadi pelanggan setia. Hari ini pesanannya bertambah banyak, 15 porsi nasi box. Ia bilang bos besarnya juga ingin mencicipi kembali. Selain pesanan nasi box ada pesanan snack dan nasi box juga untuk pengajian di rumah tetangga sore nanti.
Kali ini aku dibantu Mak Piah dan Mbak Sarni. Mak Piah memang sering menjadi juru masak di acara hajatan tetangga, biarpun sudah berumur paruh baya. Sedangkan Mbak Sarni, dia seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Kehidupannya yang pas-pasan kadang membuat aku sering membantunya meskipun sedikit. Anaknya ada lima masih kecil, yang paling besar masih duduk di bangku SMP, yang dua masih sekolah dasar dan yang dua masing-masing masih berumur lima dan tiga tahun.
"Mbak, nanti bikinin arem-arem 75 biji ya mbak, lebihin aja buatnya gak apa-apa buat anak-anak," pintaku. Mbak Sarni memang cekatan dalam pekerjaannya, iapun sering dipanggil menjadi tenaga pembantu oleh tetangga sekitar.
"Baik, Mbak" jawabnya. Sebenarnya aku risih dipanggil mbak, oleh Mbak Sarni. Usianya jauh berada diatasku.
Selain arem-arem atau lontong isi, aku juga meminta Mbak Sarni untuk membuat risoles dan tahu isi. Sedangkan Mak Piah yang bertugas memasak untuk pesanan nasi box. Mereka saling bantu satu sama lain. Sedangkan bolu kukus biar nanti aku yang bikin sendiri. Hari ini memang cukup merepotkan. Tapi aku senang, karenanya bisa memberdayakan tetangga untuk membantuku.
***
Seperti biasa jam setengah dua belas aku kembali jadi kurir pengantar makanan. Kulihat seseorang berdiri di depan kantor, dia sedang menerima telepon. Bukan, bukan Mas Rizki melainkan Mas Hasbi. Aku kembali bertanya-tanya, kenapa dia ada di kantor ini?
Kulewati dia begitu saja, lalu segera meletakkan pesanan di loby. Aku disuruh menunggu oleh staff resepsionis yang berada disana. Tak berselang lama Mbak Andin turun dan tersenyum manis. Kami bertransaksi seperti biasa. Akupun pamit undur diri.
Kulihat Mbak Andin berjalan mendekati Mas Hasbi.
"Pak, ini pesanan makanannya sudah datang," ujarnya sangat ramah.
"Ya, taruh di mejaku dulu. Aku ada keperluan," sahut Mas Hasbi datar.
"Baik, pak," jawabnya.
Aku berlalu melewati mereka, berusaha tak mengenali siapapun disini.
"Tunggu, Nadia!" cegahnya. Tetiba dia sudah berdiri di depanku.
"Maaf, ada apa, Mas?"
"Kenapa semalam tidak membalas pesanku?" tanyanya. Aku sempat terkesima melihatnya, penampilannya yang rapi membuat dirinya terlihat makin keren.
"Kapan kamu ada waktu? Sore ini apakah bisa? Aku perlu bicara denganmu," tukasnya lagi dengan tatapan penuh harap.
"Maaf mas, aku sibuk, lagi banyak pesanan. Lagi pula tidak ada yang perlu dibicarakan lagi diantara ki..."
"Ehem ... Ehem ...!" suara orang berdehem mengagetkan kami. Kami menoleh secara bersamaan.
Mas Rizki?