Konfrontasi

1605 Words
Perasaan Kirei saat itu merasa terhina. Ia seorang model yang cukup punya nama, setiap lelaki menginginkan dirinya kecuali Bernaldi. Terlebih, sekarang ada sosok Puput yang bekerja bahkan tinggal di mansion mewah Aldi. Ia sungguh tidak terima akan hal itu. Duduk di samping Aldi bagaikan duduk di atas bara. Ucapan lelaki itu padanya telah melukai perasaannya terdalamnya. Ia jatuh hati pada lelaki gagah yang tampan itu dari sejak duduk di bangku kuliah. Namun, lima tahun telah berlalu dan Aldi masih bersikap dingin kepadanya. "Rei, mau di drop di mana?" tanya Aldi tanpa menoleh ke samping. Ia tengah sibuk membaca laporan-laporan dari kantor melalui tabletnya. "Hmm, ke Gading, Al. Aku ada meeting di sana," sahut Kirei. "Baiklah, Pak, nanti antar Bu Kirei ke Gading ya, Pak setelah sampai kantor," titah Aldi kepada supirnya. "What?! Kamu gak antar aku?" Kirei menatap Aldi dengan heran. Aldi mengernyitkan keningnya. "Ini jam kantor, hei ... mana mungkin aku tinggalkan kesibukanku demi mengantarmu lalu balik lagi ke kantor?" Aldi merasa heran dengan keinginan Kirei. "Kamu memang tidak pernah mementingkan aku, Al," lirih Kirei. "What?!" pekik Aldi dengan nada rendah, pertanyaan itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. Lelaki itu tidak habis pikir kenapa ia harus ikut mengantar? Sungguh tidak masuk akal baginya. Keduanya kembali terdiam. Mobil yang mereka tumpangi, memasuki gerbang gedung perkantoran. Aldi menoleh kepada Kirei sebelum turun dari mobil. "Kamu, hati-hati di jalan, see you." Namun, Kirei yang sudah terlanjur kecewa, ikut turun dari mobil. "Aku pakai taksi saja!" serunya kepada Aldi yang refleks mengangkat bahunya. Aldi tidak peduli sama sekali karena ia telah ditunggu untuk memimpin rapat pagi ini. Dengan langkah tergesa, lelaki itu masuk ke dalam lobby gedung. Kirei semakin merasa kecewa atas ketidakpedulian Aldi padanya. Ia merasakan emosi yang entah bagaimana caranya harus dilampiaskan. 'Aldi! Untuk bisa ketemu kamu pagi ini, aku telah meninggalkan sesi pemotreran penting. Lalu, apa yang kudapat selain perlakuan tak acuhmu dan wanita buruk itu?' batin Kirei. Ia segera memasuki taksi yang menurunkan penumpang di depannya. "Timur, Pak!" serunya setelah duduk di jok mobil. Ia ingin mendatangi mansion Aldi dan melakukan konfrontasi kepada Puput. Bagaimana pun ia sangat tidak percaya kalau antara Aldi dan Puput tidak terjadi sesuatu. "Tidak mungkin seorang bawahan berani membanting pintu dan bos harus memohon-mohon untuk dibukakan, di rumahnya sendiri," gumam Kirei merasa tidak masuk akal. Ia meraih telepon genggamnya, kemudian menekan satu tombol yang tersambung otomatis. Panggilannya langsung di respons. "Ya?" "Tolong cari tahu seseorang yang berkaitan dengan Bernaldi bernama Puput, segera ya." "Oke!" Panggilan diputus. Kirei kembali berpikir keras, karena ia sangat terobsesi kepada Aldi. Lelaki itu sangat mistierius. Hubungannya dengan Lena tidak banyak orang tahu, bahkan, Kirei pun tahu mengenai hal itu justru setelah ia menyuruh orang untuk mencari tahu. Ia juga belakangan tahu kalau keduanya telah putus hubungan karena Lena dianggap selingkuh oleh Aldi. Lantas, Puput siapa? Kenapa tinggal di mansion yang ternyata Aldi pun berada di sana? Inilah yang ingin diketahuinya. Satu jam kemudian, taksi yang ditumpanginya telah sampai di depan mansion. Kirei turun dari mobil setelah membayar argo, lalu, ia menghampiri keamanan yang sedang berjaga. "Pak, saya butuh ketemu bu Puput karena ada yang ketinggalan tadi," ujar Kirei dengan keramahan yang dibuat-buat. Mengenali kalau wanita itu adalah tamu yang datang tadi pagi dan pergi bersama bosnya, Keamanan itu membukakan pintu dan mempersilakan Kirei masuk. "Terima kasih, Pak." Kirei melangkah dengan percaya diri dan merasa di atas angin. "Non, mau ketemu siapa? Bukankah tadi berangkat sama Bapak?" tanya bibik kepada Kirei. "Bu Puput, Mbak. Ada yang ketinggalan tadi," sahut Kirei sambil nyelonong melangkah ke arah tangga. "Eh, eh ... maaf, Non. Tapi, bu Puput tidak ada di atas. Silakan Non duduk dulu," cegah bibik. Ia merasa tidak suka dengan orang yang suka main selonong di rumah orang, meskipun dia teman dari majikannya. "Kalau tidak bekerja di 'kantornya' yang di atas, lalu di mana?" tanya Kirei dengan penekanan sinis saat mengucapkan kata 'kantor'. Perasaan bibik semakin tidak enak. Jelas tamunya itu datang bukan dengan itikad baik. "Silakan duduk dan tunggu. Saya akan memanggilkan bu Puput." Bibik berkata tegas dengan raut wajah dingin. "Lastri! Temani tamu Ibu," titah bibik kepada Lastri yang langsung datang dan berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Kirei. Bibik menyelinap ke ruang makan, mengambil jalan memutar menuju taman di mana Puput tengah memberikan pengarahan kepada para tukang kebun dan pembersih kolam renang yang merangkap sebagai keamanan malam hari. "Ngapain kamu di situ? Pergi! Pergi sana! Hii saya alergi dekat-dekat pembantu," hardik Kirei kepada Lastri yang tetap bergeming. "Hei! Tuli apa tidak sih, kamu? Pergi sana!" teriak Kirei sambil melotot. "Saya hanya menerima perintah dari Bapak, Bu Puput dan Bibik," sahut Lastri dengan gaya tak acuh meskipun tetap mempertahankan kesopanannya. "Apa kamu bilang? Puput? Memangnya dia siapa di rumah ini?" tanya Kirei terkejut mendengar perkataan Lastri. "Bu Puput atasan saya juga, Bu. Beliau yang atur semua hal di rumah ini. Bapak telah menyerahkan semuanya kepada bu Puput." Lastri berkata jujur. "Bukan itu maksud saya! Puput siapanya Bapak, ha? Jawab," ujar Kirei dengan suara tertahan menahan emosi. "Saya tidak tahu, Bu. Bisa saja calon istri bapak, karena tiap hari ribut terus. Tapi bapak benar-benar melindungi bu Puput, beliau tidak boleh keluar rumah tanpa pengawalan ketat dan bapak juga jadi hampir tiap hari tidur di sini, biasanya kan gak pernah," tutur Lastri kepanjangan, seolah jiwa gosipnya mendapatkan tempat untuk nyerocos. "Apa?!" Kirei membelalakkan kedua matanya sambil melongo lebar. Apa yang diucapkan Lastri benar-benar bagai petir di siang bolong baginya. "Bu," sapa Lastri kepada Puput yang tiba-tiba muncul di sana dengan hormat. Melihat hal itu, Kirei semakin ternganga. "Maaf, siapa namanya ya? Saya lupa waktu Pak Aldi mengenalkan kita tadi." Puput berpura-pura lupa. Kirei menatap tajam kepada Puput. "Untuk apa tahu namaku kalau semenit kemudian kamu lupa?" Sinis suara Kirei saat itu. "Ada keperluan apa ya? Saya sedang sibuk hari ini," ujar Puput sambil tetap berdiri. "Saya mau bicara empat mata! Di kantor." Kirei bangkit dari kursi yang didudukinya dan melangkah melewati Puput. Dengan santai, Puput berbalik. "Bicara di sini saja," sahut Puput sambil mendaratkan bokongnya pada kursi sofa. "Lastri, masuk ke dalam," titah Puput kepada gadis muda itu. "Baik, Bu." Lastri pun segera beranjak dari sana. Kirei merasa sangat kesal karena telah ditolak dua kali untuk berada di kantor pribadi Aldi. "Ok, siapa kamu sebenarnya? Apa huhunganmu dengan kekasih saya, Aldi? Saya sangat keberatan dengan keberadaanmu di sini. Saya harap hari ini juga kamu pergi dari sini!" tegas Kirei yang saat itu telah berada di depan Puput, menolak untuk duduk. Puput ingin tertawa tapi ia menahannya, alhasil, yang keluar dari mulutnya dengusan demi dengusan dengan senyum terkulum. Hal itu membuat Kirei merasa terhina karena ditertawakan. Kemarahannya memuncak hingga ia melayangkan tangannya dan PLAK, telapak tangan mendarat dengan sempurna di pipi sebelah kiri Puput. Demi rasa panas yang menyengat pada pipinya, tanpa sadar, Puput berdiri dengan cepat dan PLAK, PLAK, kedua tangan Puput menampar pipi kiri dan kanan Kirei dengan keras. Saat itu, ia menekan tombol pada dinding bawah di atas meja kecil samping kursi, saat Kirei terhuyung dan merasa kepalanya pusing. "Kurang ajar kamu cewek jelek! Pelakor busuk!" teriak Kirei dengan napas tersengal-sengal oleh nafsu dan kebencian. Namun, dua orang keamanan datang dan merasa aneh dengan situasi di sana. "Bu?" tegur keamanan kepada Puput. "Bawa wanita ini keluar dan ingatkan semua orang, jika dia datang sendiri, jangan diterima. Kecuali dibawa oleh Bapak. Silakan," perintah Puput kepada kedua keamanan itu. Mereka segera menarik lengan Kirei kiri dan kanan lalu menyeretnya keluar dari sana. Kirei tidak terima, ia benar-benar marah dan terus memaki-maki, bukan hanya Puput tapi semua orang yang telah menghinanya di mansion tersebut. "Aku akan laporkan perbuatanmu ini! Dasar perempuan hina!" teriak Kirei. Puput mendengus. "Katakan padanya bahwa seluruh rumah ini dipantau oleh CCTV dan telah saya kunci. Siapapun tidak akan ada yang bisa menghancurkan atau menghapusnya!" Puput berbalik dan segera menaiki tangga menuju kantor pribadi Aldi dan mengistirahatkan dirinya di sana, duduk di sofa dengan mata berkaca-kaca. Bagaimana pun, ketidakacuhannya tadi hanyalah akting belaka. Kenyataannya, setiap patah kata hinaan dan makian yang meluncur dari mulut Kirei tadi sangat melukai hatinya. Ia telah difinah sedemikian rupa hanya karena berada di mansion tersebut. Sejurus kemudian, ia memutuskan untuk menyimpan semuanya pada sudut hati dan harus mulai bekerja agar cepat selesai urusan dan bisa melaporkan hasil kerjanya tepat waktu. Ia berkonsentrasi penuh melaksanakan tugas-tugasnya hingga bibik berinisiatif menghidangkan makan siang di dalam kantor karena Puput menolak untuk beranjak dari depan komputernya. Pukul enam lewat tiga puluh menit, jari jemari Puput mengetikkan laporan yang tersusun rapi dan mengirimkannya kepada Aldi melalui email pribadinya. Setelah selesai, ia merapikan meja, menyusun gambar dan berkas kemudian mematikan lampu dan keluar dari sana menuju kamarnya. Ia mengunci pintu rapat-rapat dan mengaitkan selot rantai lalu menghubungi bibik untuk tidak mengganggunya sampai pagi. Ia mengatakan pada bibik bahwa dirinya butuh istirahat lebih awal hari itu. Sebenarnya, Puput butuh waktu untuk berpikir dan menelaah kenapa semua kesialan menimpa dirinya secara terus menerus. Telepon yang berada di atas nakas samping tempat tidur, berdering. Dengan malas Puput menerimanya. Terdengar suara bibik di ujung telepon. "Non ...." "Bik, saya sudah bilang jangan ganggu dulu sampai pagi," rengek Puput dengan nada memohon. "Maaf, Non. Tapi ini bapak yang telepon, Non." Suara bibik terdengar dalam penyesalan. "Aku gak peduli, Bik. Semua kerjaan sudah beres dan aku tidak mau diganggu oleh siapa pun juga termasuk bapak. Selamat malam, Bik," ucap Puput sambil meletakkan gagang telepon pada tempatnya kemudian mencabut kabel telepon yang terhubung. Dengan begitu, tidak akan ada dering telepon lagi yang mengganggu dirinya sepanjang malam. Di penghujung telepon, pada saluran pertama, Aldi mendengar apa yang diucapkan oleh Puput dan seketika ia merasa panik. Tapi beberapa saat kemudian, ia bingung sendiri. 'Kenapa harus panik kalau dia pikir aku kekasih Kirei?' batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD