Juan Pov
Sudah cukup lama aku duduk di dalam ruangan kantor, hanya untuk menenangkan dan mengendalikan diri dari kemarahanku saat ini.
Waktu pun cepat dengan berlalu, ketika kulihat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan jam makan siang. Aku hampir melewatkannya.
Bukannya sedang lapar? Tidak, aku sama sekali tidak lapar, yang saat ini ada dalam benakku tentang gadisku. Apakah dia melewatkan makan siangnya, atau tidak. Menginggat kejadian penamparan tadi, aku takut dia sedih dan tidak mau makan.
Sedari tadi aku juga belum melihat keadaannya, apakah dia tengah menangis atau tidak. Untuk memastikan keadaannya aku harus melihatnya sendiri.
Setelah merepikan jas, aku bergegas keluar dari ruangan kantor lalu menuju lift. Kutekan tombol nomer untuk turun ke bawah, lalu menuju ruangan khusus. Yang biasa aku gunakan untuk memantau aktifitas pegawaiku, dan dari sini juga aku bisa leluasa melihat gadisku.
Kuedarkan pandangan mencari sosoknya, apakah dia termasuk pegawaiku yang tengah sibuk melayani para pengunjung restoran. Akhirnya aku menemukannya, dan kulihat wajahnya yang biasa tersenyum kini hanya terlihat murung.
Meskipun dia bekerja dengan cekatan seperti biasa, saat melayani pengunjung restoran. Wajahnya cantiknya tidak lagi berbinar, senyuman seolah hilang dari bibirnya yang membuatku menyukai senyumannya.
Karena sudah tidak tahan melihat dia murung, akhirnya kuputuskan untuk duduk di dalam restoranku sendiri. Seperti selayaknya seorang pengunjung restoran lainnya, untuk itu aku harus banyak interaksi dengannya.
"Nona, bisa aku pesan sesuatu," ucapku sedikit keras, hingga dia menoleh ke rahku.
"Ohh ... iya boleh, Tuan. Anda mau pesan apa? Biar saya catat duluhu," jawab gadisku dengan nada sopan, tapi tetap saja wajah murungnya, tidak kunjung hilang.
"Aku pesan kopi hitam. Hmm ... kalau boleh komu bisa merekomendasikan makanan dan minuman, yang kamu suka dalam restoran ini. Semuanya, jangan sungkan bahkan makanan mahal di sini jangan lupa sebutkan," pesanku padanya, dan sengaja aku meminta bantuan dia untuk memesan makanan.
"Ehh ... kok saya, Tuan?"
"Bukankah, yang makan adalah Anda sendiri. Lalu kenapa saya yang harus memesan makanan kesukaan Anda, dengan selera saya," tanya gadisku dengan polosnya.
"Sudah lakukan saja, cepat. Karena saat ini aku tengah lapar sekali," ucapku sedikit merajuk, seraya memegangi perut seolah benar merasa lapar.
"Tapi yang saya suka makanan di sini banyak, dan hampir semua mahal,'' jawab gadisku dengan sedikit menunduk, mungkin malu karena takut akan harga makananya.
"Aku tidak peduli, akan harganya. Pesankan saja makanan yang kamu suka, aku yang membayar jadi kamu tidak perlu khawatir."
"Satu lagi buatkan sendiri kopi hitamku, jangan orang lain mau pun chat restoran ini.
"Tapi, Tuan. Nanti saya di marahi manager, jika saya berani masuk ke area pentri," tanpa sadar gadisku berbicara seraya mengembungkan pipinya, dia merajuk tidak mau karena takut dimarahi manager lagi.
"Untuk itu, biar aku bicara dengan manager kamu. Sekarang pergilah ke belakang, pesan makanan dan minuman kesukaan kamu serta buatkan kopi hitam untukku," pintaku pada gadisku untuk pergi, ke belakang.
"Tapi---"
Belum sempat gadisku membalas, aku memotong perkataannya. Aku yakin gadisku belum menyadari kalau aku sedari tadi meminta di pesankan makanan kesukaannya.
"Buatkan saja kopi hitamku, dan pesan semua makanan serta minuman yang kamu suka,'' ucapku dengan nada pelan, dan penuh kesabaran menghadapi sifat polosnya.
"Hah! Kenapa harus saya yang memilih makanan, apalagi makanan yang saya suka semua? Bukannya nanti, yang makan adalah Tuan sendiri?" jawab gadisku mulai tersadar akan apa yang aku ucapkan sedari tadi.
"Tidak apa-apa, hanya pengen kamu yang memesankan makanan yang sebentar lagi kumakan. Sudah sana jangan membantah, kalau terus cerewet aku laporin ke manager, mau?" ancamku, sekaligus memaksa dia.
"Dasar Tuan aneh, kenapa menyuruhku memesan makanan kesukaanku semua padahal nanti yang makan 'kan dia," tanpa sadar gadisku menggerutu dengan ekspresi menggemaskan.
"Aku mendengarkan ucapanmu, Nona," ucapku yang masih di dengarnya.
''Maaf."
"Jadi saya harus memesan makanan dan minuman kesukaan saya begitu?" tanya gadisku, masih dengan suara yang menggemaskan.
"Hmmm ...."
Kuanggukkan kepala membenarkan ucapannya, seraya mengetuk meja restoran dengan jari telunjuk kananku. Namun, pandanganku sama sekali tidak lepas dari wajah chubbynya.
"Apa Anda yakin, Tuan? Tuan tidak akan menyesalkan, jika saya mememasankan makanan dan minuman kesukaan saya?" tanya gadisku lagi.
"Iya ... iya, Nona. Sekarang pergilah kebelakang, kalau tidak mau aku laporkan dengan manager kamu sekarang?" jawabku mulai jengah, dengan cerewatnya, tapi aku suka.
"Cepat! Buatkan aku kopi hitam, ya," lanjutku, dengan nada lembut tentunya. Jangan lupakan senyuman manis yang bertengger di bibirku.
Aku sedikit kesal, karena gadisku sama sekali tidak terpesona dengan senyuman di wajahku. Kulihat dia cuma diam, dan malah langsung ke kebelakang restoran menuruti kemauanku. Lebih tepatnya pesanan dia sendiri juga, karena yang kubutuhkan cuma kopi hitam.
Sepuluh menit kemudian gadisku datang membawa pesananku, dia mulai menata makanan dan minuman yang dia bawa tadi. Tidak lupa juga dia menaruh kopi hitam yang kupesan, dan sudah dia taruh tepat di depanku.
Setelah selesai menata semua yang kupesan, dia meminta izin untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ketika dia ingin melangkah, dengan gerakan cepat aku menahan lengannya.
"Tetap disini, temani aku makan," kuraih pergelangan tangannya dengan lembut, untuk tetap tinggal.
"Tapi, Tuan? Saya harus melanjutkan pekerjaan saya," jawab gadisku, terkejut ketika aku meraih tangannya.
"Tidak ada penolakan," tegasku.
"Saya takut dimarahi oleh atasan saya, Tuan. Jadi tolong biarkan saya pergi,'' cicit gadisku seraya menunduk dengan ekspresi sedih.
Aku tidak tega melihat gadisku sedih, akhirnya aku berdiri lalu menuntun menuju kursi dan mendudukkannya. Setelah itu, aku kembali duduk di tempatku semula.
Gadisku masih diam, dan terlihat binggung karena aku memaksanya.
"Bantu aku untuk memakan makanan di atas meja ini?"
"Maaf, saya sudah kenyang."
"Tidak ada penolakan, Nona.
Atau kamu mau adukan kamu ke manager, kalau kamu tidak bisa melayani pelanggan restoran dengan baik. Biar kamu di pecat dari pekerjaanmu, mau?" ucapku dengan pura-pura mengancam lagi.
"Jangan, Tuan! Sebenarnya saya tidak ingin makan, karena tadi pagi saya sudah sarapan," jawab gadisku, seraya menatapku.
"Tapi aku ingin, kamu mau makan makanan ini walau hanya sedikit," bujukku.
"Dasar Tuan pemaksa, dan pengancam," gumam gadisku, sedikit menunduk. Namun, ucapannya masih kudengar dengan jelas. Kalau saat ini dia tengah kesal padaku, dan itu membuat dia semakin menggemaskan.
"Aku mendengarmu, Nona."
'Kenapa dia menunjukkan wajah menggemaskan seperti itu, rasanya aku ingin memakannya saja. Tidak akan aku biarkan siapa pun melihat wajah menggemaskan seperti yang dia lakukan saat ini. Agar tidak di oleh pria mana pun, dia yang seperti ini begitu membuatku gila,' batinku
"Baiklah, saya akan membantu Anda untuk memakan makanan ini, Tuan Pemaksa. Anda sekarang puas!" marahnya, dengan wajah yang menggemaskan pula, dan itu membuatku terkekeh.
***
Juan tidak melepaskan pandangannya pada Rani, entah magnet apa yang membuatnya begitu tergila-gila pada gadis yang sudah di klaim sebagai gadisnya. Padahal keduanya baru saja bertemu.
Rani mulai mengambil piring yang berisikan makanan kesukaannya, dan memulai memakan makanan yang ada di dalam piringnya. Namun, setelah itu terlihat ia melamun dan memainkan makanannya.
"Jangan dimainkan makanan itu? Di luar sana masih banyak orang yang susah mencari makanan, apalagi yang enak kayak gitu," ucap Juan bijak.
"Iya, saya tahu," tanpa sadar Rani menurut, dan mulai makan dalam diam.
Ketika Rani makan, Juan sama sekali tidak melepaskan pandangannya pada gadisnya. Seolah pemandangan di depannya itu sayang untuk dilewatkan, apalagi saat Rani memasukan suapan dalam mulut. Terlihat pipi chabbynya mengembung, membuat gadisnya terlihat lucu dan menggemaskan.
'Aku lega kamu mau makan dan melihatmu tiak murung membuatku senang,' batinnya Juan.
Sambil memperhatikan Rani, Juan milai mengambil kopi hitamna. Spesial hari ini Ranilah yang membuatnya, saat ia mulai menyesap satu tegukkan. Ia sedikit terkejut ketika merasakan rasa kopi yang ia minum.
"Fuih ...," Juan menyerburkan kopi dari mulutnya
"Tu--tuan, tidak apa-apa?" tanya Rani dengan rasa khawatir khawatirnya.
Rani langsung berdiri menghampiri Juan dengan perasaan khawatir, ia tanpa sadar memegang tangan dan mengelus punggung Juan dengan lembut. Karena ia takut jika pria di depannya tersedak minuman.
Mereka tidak sadar jika posisi tubuh mereka sangat dekat, dan wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja.
"Tuan ... tuan, tidak apa-apa 'kan? Apa minumannya tidak enak? Atau tadi Tuan kepanasan, mana yang panas?"
"Tuan, sich, dibilangin tidak percaya kalau saya tidak bisa, sebab lebih enak koki saja yang bikin," panik Rani dengan rasa khawatirnya, bahkan tanpa sadar ia dengan mengalirnya bertanya seraya memegang wajah Juan dengan kedua telapak tangannya.
"Sttt ... aku tidak apa? Minumannya sangat enak, hanya saja mengingatkanku dengan orang yang paling aku sayangi" jawab Juan dengan nada lembut, seraya meletakkan tangannya di atas bibir Rani tanpa menyadari jika posisinya semakin dekat.
Hingga tanpa sadar keduanya saling menatap, netra keduanya bertemu. Keduanya masih betah saling memandang dengan posisi Juan yang tengah duduk, sedangkan Rani berdiri sambil menunduk sedikit. Tangan berisinya juga masih menempel di wajah Juan.
Siapa saja yang melihat dari kejauhan, akan mengira kalau keduanya tengah berciuman.
Kedekatan keduanya dengan posisi yang teramat dekat, tanpa sadar jantung keduanya bergetar. Menandakan ada sesuatu yang tengah dirasakan keduanya.
Deg! Deg!
Namun, di sisi lain tepatnya di dalam restoran yang sama ada sepasang mata yang terus memperhatikan dan mendengar interaksi keduannya. Dengan pangan yang sulit di artikan.
****
Rani Pov
Kami masih terus saling memandang, dan aku bisa melihat mata hitam kelamnya. Memandangku dengan padangan lembut sekaligus puja, hingga menusuk ke jantung.
Seketika membuat jantungku berdebar kencang untuk pertama kalinya pada lawan jenisku. Yaitu berdebar pada pria, yang baru beberapa kali kulihat.
Sesungguhnya ini adalah pertama kalinya aku bisa sedekat ini dengan seorang pria, dan pertama kalinya aku memegang wajah serta tangan pria.
Aku merasa seperti berada di dalam mimpi, ketika tangan ini merasakan hangat tubuh dari pria tampan yang ada di hadapanku sekarang.
Aku pun tersadar dari khayalanku, karena yang kurasakan saat ini nyata. Merasa malu, dan tidak tahu dengan apa yang akan kulakukan. Tanpa sengaja kudorong d**a bidang pria pengunjung restoran itu.
Namun, yang terjadi malah aku akan terjatuh, merasa takut tanpa sadar aku memejamkan mata.
Untuk beberapa detik aku berpikir, kenapa kalau jatuh aku tidak merasakan sakit pada tubuhku. Karena penasaran kubuka mata secara perlahan, kenapa aku tidak merasakan sakit ketika jatuh dan lagi aku merasakan ada sesuatu yang melingkar di pinggangku.
Betapa terkejutnya saat aku membuka mata, ternyata pria pengunjung restoran yang menahan berat tubuhku. Aku sedikit malu, sekaligus bersyukur karena tidak sampai terjatuh di lantai tadi.
Saat aku akan berterima kasih padanya, tiba-tiba ada yang meraih pergelangan tanganku dengan sangat kuat. Hingga aku merasakan sakit di pergelangan tanganku.
Namun, yang paling menyakitkan, ketika tiba-tiba ada seseorang dengan beraninya menampar pipiku cukup keras. Hingga aku memekik kesakitan.
Aku begitu shock. Karena selama ini tidak pernah membuat kesalahan pada siapa pun termasuk seseorang yang berada di hadapanku saat ini.
''Aww ...," pekikku seraya memegangi pipi.
Aku memandang Fransisca, dengan pandangan terkejut sekaligaus tanya. Mengapa dia marah, dan menamparku tiba-tiba.
***
Juan Pov
Sungguh aku merasa sangat bahagia bisa berada dalam posisi sekarang ini, akhirnya aku bisa berdekatan dan menyentuh gadisku.
Ketika kami dalam posisi dekat, aku bisa melihat bibir merah alaminya. Ingin sekali menyentuhnya pasti sangat lembut bibir itu, bahkan aku menahan diri agar tidak menciumnya.
Gerakan tiba-tiba saat gadisku hampir terjatuh, bersyukur aku dengan sigap menyanggah berat badanya dengan tangan kekarku.
Tanpa sengaja tanganku memegang pinggangnya, dia masih memejamkan mata. Mungkin dia takut benar-benar akan terjatuh, aku yakin dia tidak tahu kalau saat ini dia berada dalam dekapanku.
Posisinya yang sedekat ini, sesaat aku bisa menghirup aroma tubuhnya yang memabukkan seketika membuatku gila. Karena diri ini tidak tahan untuk mendekapnya, bahkan menghujani wajahnya dengan ciuman.
Kalau saat ini bukan di tempat umum, aku yakin sudah membopong dan menguncinya dalam kamar mewahku.
Aku pun hanya bisa terkekeh dengan pikiran liarku, entah mengapa hanya memegang pinggang gadisku saja aku bisa berpikiran m***m.
Padahal selama ini aku sama sekali tidak pernah berpikiran seperti itu, ketika dekat dengan wanita-wanita yang menemani malam panasku.
Saat gadisku sudah membuka matanya, kupandang wajah cantiknya terlihat dia ingin ingin mengatakan sesuatu. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang menarik pergelangan tangannya.
Bahkan dengan beraninya seseorang itu menampar gadisku, tepat di depan mataku sendiri dan itu membuatku marah. Karena dengan beraninya menyakiti milikku, aku ingin sekali langsung meledakkan isi kepalanya dengan pistol kesayanganku.
Ketika seseorang itu menoleh, betapa terkejutnya saat aku melihat wajah Fransisca yang telah berani menampar gadisku.
***
Fransiska Putri Pov
Siang ini sebenarnya aku ada janjian dengan pria kencanku di restoran, yang pernah kudatangi bersama Juan Alexander tidak lain kekasihku.
Saat aku tengah menikmati makan siang dengan teman kencanku, tiba-tiba pandanganku jatuh pada pria yang tengah duduk tidak jauh dariku.
Pria yang tidak lain adalah Juan kekasihku, beruntung aku memesan tempat paling ujung? Jadi dia tidak akan sampai melihatku. Jika sampai dia tahu, pasti dia akan marah karena selama ini aku sering menduakannya.
Sudah tidak terhitung berapa kali aku jalan dengan pria yang berbeda, bahkan uang Juan juga yang kupakai untuk bersenang-senang bersama pria-pria yang menemani hariku.
Sebab Black Card yang Juan kasih, tidak akan pernah habis bila kupakai untuk berfoya-foya.
Aku terus memperhatikan Juan kekasihku, dan berpikir kenapa dia duduk sendirian. Apakah saat ini dia tengah menunggu seseorang, atau karena urusan pekerjaan. Namun, ada yang salah ketika aku melihat Juan tengah berbicara dengan pelayan restoran itu.
Gadis yang kubenci, dan sangat menjijikkan bila di pandang mata. Tapi kenapa Juan begitu terlihat enjoy bila berbicara dengannya, bahkan terlihat ia mengembangkan senyuman yang tidak pernah dia tunjukkan padaku.
Hal itu membuatku iri, karena gadis jelek itu bisa dekat dengan kekasihku. Marah tentu saja aku marah karena Juan begitu perhatian, bahkan berbicara dengan lembut pada gadis gendut itu!
Sedangkan selama aku menjadi kekasihnya, Juan sama sekali tidak pernah memperlakukanku seperti itu.
Setiap interaksi yang mereka lakukan, aku terus memperhatikannya. Hingga aku bener-bener marah ketika, Juan semakin dekat dan intim pada gadis jelek itu.
Aku menghampirinya, lalu menarik tangan gadis gendut jelek itu dan menampar pipinya menggunakan kekuatan yang kupunya.
Aku ingin gadis jelek seperti dia merasakan sakit dari tamparanku, dengan begitu aku merasa puas, siapa suruh berani mendekati Juan kekasihku.
***
Author Pov
Plakk!
Terdengar suara tamparan menggema di dalam restoran mewah itu, dan membuat semua para pengunjung terfokus memperhatikan di mana suara itu berasal.
"Apa yang sudah kamu lakukan dengan kekasihku, hah?!" bentak Fransisca, setelah menampar pipi Rani dengan cukup keras.
"Apa kamu mencoba merayu kekasihku, Gadis menjijikkan? Yang benar saja. Lihatlah dirimu yang menjijikkan itu! Tidak ada pantasnya, karena orang sepertimu tidak pantas mendekati Juan kekasihku!" ejek Fransisca dengan kata-kata kasarnya.
Rani yang mendengar semua hinaan itu, hanya bisa menunduk sambil memegangi pipinya yang memerah. Ia mulai menitikkan air mata, setelah mendengar kata-kata kasar yang diucapkan oleh Fransisca.
Juan yang saat itu tengah shock, hanya bisa terdiam. Ia merasa kejadian barusan terjadi begitu cepat, hingga ia tidak bisa melindungi orang yang paling ia cintai. Setelah sadar dari rasa terkejutnya, ia berusaha keras menahan kemarahannya.
Tangan Juan mengepal erat, rahangnya mengeras. Dengan kasar ia menarik Fransisca agar tidak melukai gadisnya lagi. Terlihat sorot mata Juan begitu dipenuhi kemarahan.
Tanpa mereka sadari Rani sudah berlari kebelakang restoran, karena ia merasa malu telah menjadi tontonan semua orang dalam restoran. Ia terus berlari, seraya menyeka air mata yang mulai membasahi pipinya.
Rani terus berlari ke belakang restoran lalu duduk di bangku yang ada, dengan perasaan sakit ia terus berpikir kenapa Fransisca marah. Ia juga tidak mengerti kenapa Fransiska dengan tega menampar pipinya dihadapan semua orang.
'Hikz ... hikz. Kenapa kamu tega sekali menamparku Fransisca? Apa salahku, padamu? Kenapa kamu selalu jahat sama aku, bahkan saat di sekolah kita dulu,' gumam Rani, bertanya. Mengapa Fransisca selalu saja menyakitinya hingga ia terluka seperti saat ini.
Buka luka fisik yang ia rasakan, melainkan hatinya begitu sakit karena ulah wanita yang sama selalu membully dirinya.
Ketika Rani tengah menangis, di dalam restoran Juan tengah memarahi kekasihnya Fransisca.
"Sisca! Apa yang sudah kamu lakukan padanya, hah!! Kenapa kamu menamparnya?!" bentak Juan dingin, seraya menyengkeram pipi Fransisca.
"Karena aku tidak suka kamu dekat dan perhatian padanya?"
"Apa yang kamu lihat dalam diri gadis gendut jelek sekaligus menjijikkan itu, apa?!" jawab Fransisca, sama marahnya.
"Itu bukan urusanmu, satu lagi jangan pernah mengatai wanita tadi dengan kata-kata kasar. Jika tidak, kamu akan mendapatkan hal buruk dariku," ucap Juan dengan nada dingin.
"Aku berhak tahu semua urusanmu, Juan. Karena kamu itu, kekasihku."
"Apa kurangnya aku, Juan? Aku cantik segala kesempurnaan ada dalam diriku, dan tentunya aku bisa memuaskanmu seperti wanita-wanita yang sering kamu kencani dan tiduri selama ini," jawab Fransisca frustrasi.
"Cihh ... kekasih, kamu bilang? Itu hanya ada dalam hayalanmu semata,karena selama ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai kekasihku!" desis Juan, seraya mengejek hubungannya bersama Fransisca selama ini.
"Asal kamu tahu, aku sudah tahu semua tentangmu yang selalu berganti-ganti laki-laki. Bahkan selama ini kamu sering berfoya-foya, menggunakan uangku bersama pria simpananmu itu!"
"Karena itu? Selama ini aku hanya memanfaatkan kamu, supaya wartawan-wartawan sialan itu tidak lagi mengganggu kehidupanku tenang ku."
"Tapi ada untungnya 'kan untukmu, kamu bisa menggunakan uangku sesukamu? Meskipun sudah berapa milyar yang kau buat berfoya-foya, aku sama sekali tidak masalah. Karena uangku tidak akan habis, meski kau pala untuk kesenanganmu bersama laki-laki b******k itu!" desis Juan dengan nada dingin.
"Tapi saat kamu sudah menyentuh yang paling berhargaku, aku tidak akan tinggal diam lagi," lanjutnya dengan nada marah.
'Cukup kali ini kamu bisa melukai milikku, tapi tidak lain kali. Jika kamu melakakukannya lagi, aku tidak akan memaafkan kesalahanmu,' batin Juan.
Fransisca yang mendengar ucapan Juan hanya bisa terdiam, ia merasa takut dan malu. Ketika kebohongannya selama ini diketahui Juan.
"Tapi aku melakukannya untuk menarik perhatianmu, Juan. Karena kamu selalu mengacuhkanku, disaat aku mencintaimu, Sayang?" jawab Fransisca dengan nada merayunya.
"Aku tidak peduli dengan perasaanmu, camkan dalam pikiranmu kata-kataku. Kalau aku tidak mencintai atau punya rasa terhadapmu," ucap Jua datar.
'Tapi aku peduli, karena aku mencintaimu, Juan. Karena aku ingin dirikulah yang menjadi satu-satunya dalam hidupmu, bukan orang lain. Termasuk gadis gendut jelek, itu."
'Aku tidak akan membiarkan wanita manapun mendapatkan perhatianmu, lagi,' batin Fransisca.
Saat Fransisca dan Juan tengah berdebat, tiba-tiba ada pria lumayan tampan datang menghampiri keduanya.
"Lho, Sayang. Katanya mau ke kamar mandi, kok masih disini? tanya pria itu, langsung merangkul tubuh Fransisca.
Fransisca hanya bisa terdiam, ketika melihat pria kencanya datang menghampirinya tepat di hadapan Juan. Ia pun langsung beranjak seraya menggandeng tangan pria itu untuk menjauh, karena kebodohannya itu, kini ia ketahuan lagi oleh Juan.
Juan yang melihat itu tidak peduli, yang ada dalam pikirannya saat ini kemana pergi gadisnya. Sebelum pergi Juan melihat ruangan restoran itu, pandangannya jatuh kearah belakang restoran.
"Apa yang kalian lihat, hah! Urusi urusan kalian sendiri," bentak Juan pada pengunjung restoran yang melihat perdepatan.
Juan mulai berjalan ke arah belakang restoran, dan mencari di mana gadisnya. Saat ia sampai di belakang ia mendengar suara tangisan seseorang, dan ia mencari di mana arah suara tangisan itu berasal.
Akhirnya Juan menemukan gadisnya yang berderai air mata, dan itu membuat ia turut merasakan sakit karena tidak bisa melindungi gadis yang di cintainya..
Akhirnya Juan menghampiri gadisnya, Lalu ia ikut duduk di samping Rani, yang tengah menangis.
Karena sudah tidak tahan melihat gadisnya menangis, dan bersedih. Ia memberanikan diri memeluk Rani dengan pelukan lembut.
Karena perlakuan lembut itu bukannya membuat Rani berhenti menagis, yang ada malah membuat ia menangis semakin kencang.
"Apakah masih sakit?" tanya Juan sambil menunduk, lalu menyentuh pipi chubby Rani. Yang di tanya malah mengangguk imut.
"Haruskah aku menamparnya untukmu?" ucap juan dengan lembut.
"Hiks ... jangan, tidak perlu," jawab Rani seraya terisak di d**a bidang Juan.
"Kalau begitu jangan menangis lagi, aku tidak suka."
Rani hanya mengangguk imut lagi, ia masih teriksak di d**a bidang Juan.
"Kalau begitu lap dulu ingusmu, Karena bajuku sudah basah karena air matamu," goda Juan seraya terkekeh.
Rani yang tersadar berada dalam d**a bidang Juan, berusaha merelai pelukannya. Lalu memandang wajah pria pengunjung restoran, dengan pandangan tanya.
"Hiks ... Kenapa Tuan berada di sini, dan kenapa Anda tahu kalau saya berada di sini?" tanya Rani dengan rasa ingin tahunya.
"Itu tidak penting yang terpenting saat ini, lap dulu air matamu itu? Karena kalau kamu terus menangis, hanya akan membuat jelek wajahmu nantinya" ucap Juan panjang seraya terkekeh, serta mengulurkan sapu tangan pada Rani.
"Iya ... saya tahu, saya memang jelek tidak usah di ingatkan, Tuan," jawab Rani dengan ekspresi cemberut. Seraya mengambil sapu tangan yang berada di tangan Juan, lalu ia pun mengelap air mata serta ingusnya.
Juan yang melihat itu hanya bisa terkekeh, melihat tingkah polos gadisnya dengan perasaan yang sulit di artikan.
"Maaf, Tuan. Sapu tangannya jadi kotor,biar saya cuci di ramah dan nanti baru akan saya kembalikan pada, Anda," ucap Rani tiba-tiba, memecah kecanggungan di antara mereka.
"Tidak apa, jangan di pikirkan," jawab Juan seraya melepaskan jasnya, lalu menyampirkan ke tubuh gempal Rani.
"Pakai ini, aku tidak mau asma kamu kambuh karena cuaca saat ini begitu dingin," ucap Juan lembut seraya membenarkan letak jasnya.
Rani yang mendapat perlakuan manis itu hanya bisa terdiam, seketika wajahnya merona merah karena malu.
"Kenapa dengan wajahmu, itu? Kenapa jadi memerah begini, apakah kamu sedang sakit?" tanya Juan panik, seraya menangkup wajah Rani yang seperti bakpau itu.
Wajah Rani semakin memerah karena, mana kala Juan memperlakukannya begitu lembut dan manis seperti saat ini.
'Aku tidak sakit, bodoh. Semua ini karena perlakuanmu yang tiba-tiba dan setiap sentuhan tanganmu itu membuatku merasa malu. Sebab ini kali pertama aku di sentuh seorang pria,' batin Rani, seraya menunduk malu.
"Saya tidak apa-apa, Tuan. Mungkin ini karena udara yang cukup dingin,membuat wajah saya memerah," jawab Rani berbohong, agar Juan tidak khawatir lagi.
Juan yang masih khawatir langsung berdiri dari duduknya lalu mengulurkan tangannya kemudian meraih tangan Rani untuk ia genggam.
"Ayo aku akan mengantarkan kamu pulang," ajak Juan, dengan nada lembut. Bahkan tangannya sudah menggenggam tangan Rani.
"Tapi, Tuan. Saya harus kembali bekerja," tolak Rani seraya menunduk melihat tangannya, yang sudah di genggam Juan lembut.
"Tidak ada bantahan, masalah pekerjaan kamu biar orangku yang mengurusnya," jawab Juan tegas, seraya menarik lembut Rani keluar dari restoran.
Interaksi keduanya mengundang perhatian banyak orang termasuk Robert sang tangan kanananya, yang berada di restoran. Ada yang memekik karena iri dan juga tidak suka jika Rani di perlakukan lembut seperti itu.
'Apakah ini sisi lain Anda juga, Tuan. Yang tidak pernah Anda tunjukkan kepada siapa pun?'
'Apakah karena gadis ini yang membuat Anda bisa tersenyum sekaligus marah, dengan kemarahan yang belum pernah saya saksikan selama saya mengikuti dan berada di samping Anda selama ini.'
'Saya berharap Anda selalu tersenyum seperti ini, Tuan,' batin Robert penuh harap, ia ingin tuannya selalu bahagia dan sudah cukup penderitaan yang di rasakan tuannya selama ini.
Bersambung