"Itu untuk yang pertama," gumam Sakha saat melepaskan ciumannya.
"Kur ... hmmppp," ucapan Shinta terpotong, karena Sakha sekali lagi mencium bibirnya.
Buukk
Lutut Shinta menghantam s**********n Sakha, sehingga spontan membuat Sakha melepaskan Shinta.
"Uuuhhh ... macam betina juga ternyata kamu ya!" Seru Sakha, ia terduduk di tepi ranjang.
"Jangan meremehkan perempuan ya, dibalik kelembutan tersimpan kekuatan."
"Kamu lembut!? Haah lembut apanya, kasar persis ampelas paling kasar tahu!" sahut Sakha, dengan wajah meringis sambil mengusap-usap selangkangannya.
"Rasain lo!" Shinta segera membuka pintu, dan ke luar dari kamar Sakha.
'Kamu harus membayar ini juga, Shinta, aku pastikan di malam pertama pernikahan kita, kamu akan membayar semuanya, plus dengan bunganya!' geram hati Sakha. Ini pertama kalinya seorang wanita berani menolaknya.
Begitu masuk ke kamarnya, Shinta langsung masuk ke dalam kamar mandi, setelah lebih dulu mencharge ponselnya.
Di pandang wajahnya di cermin, yang ada di atas wastafel, diraba bibirnya yang baru saja dicium Sakha.
"Dasar, Chakar Ayam, enak saja main nyosor bibir orang," gerutunya sendirian.
Shinta sudah selesai mandi, ia ke luar dari kamarnya.
"Sakha mana, Bik?"
"Mas Sakha pergi ke musholla, Mbak."
"Musholla?"
"Iya, nanti setelah shalat isya baru pulang, Mbak ingin makan malam sekarang?"
"Tidak, Bik, nanti setelah shalat maghrib saja."
"Oh ya, Kiblatnya ke arah mana ya, Bik?"
"Ooh, sini biar Bibik yang gelarkan sajadahnya."
"Terima kasih, Bik."
Shinta kembali ke kamar dengan diikuti Bibik.
Setelah shalat maghrib, Shinta makan malam sendirian.
Menunya telur balado, dengan sambal goreng hati sapi, plus kentang.
Shinta makan dengan lahap. Ia merasa sangat lapar, karena tadi siang hanya makan sedikit.
--
Shalat Isya sudah lama selesai, tapi Sakha belum pulang ke rumah juga. Shinta yang merasa kesepian, sebentar-sebentar menatap ke arah pintu.
'Kok dia belum pulang ya, shalat Isya kan sudah lama selesai,' batin Shinta.
"Mbak Shinta kalau mengantuk tidur saja, biar saya nanti yang membukakan pintu untuk Mas Sakha," kata Bibik yang datang dari dapur.
"Memangnya dia ke mana, Bik?"
"Mungkin ikut ke rumah Pak Sekdes, menghadiri syukuran anak Pak Sekdes, yang baru lulus kuliah, dan pulang dari Jogja."
"Oooh, ya sudah aku tidur duluan ya, Bik."
"Iya, Mbak, silakan."
Shinta masuk ke kamar, ia membaringkan tubuh di atas ranjang.
Berkelebat kejadian saat siang tadi, ia benar-benar tidak menduga, kalau Chandra ingin memaksanya kawin lari.
Ia memang mencintai Chandra, tapi untuk kawin lari, ia merasa harus berpikir jutaan kali. Ia tidak ingin melukai hati banyak orang yang mencintainya, hanya demi kebahagiaannya sendiri.
'Haruskah aku menghabiskan hidupku, dengan si Chakar Ayam playboy yang menyebalkan itu? Hhhhh ... aku pusiiing!'
--
Setelah syukuran, Sakha tidak langsung pulang, tapi mengobrol dulu dengan Pak Kades, dan Pak Sekdes. Banyak hal yang mereka bahas, termasuk soal program bea siswa yang diberikan peternakan bagi anak berprestasi di desa tersebut.
"Kakekmu itu luar biasa, Sakha, dulu saat peternakan ini dibangun, usia beliau baru 23 tahun, tapi pikiran beliau sudah sangat maju. Beliau bukan cuma membangun peternakan di sini, tapi juga membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan. Karena itulah beliau menggagas program bea siswa ini."
Pak Kades menarik napas sesaat.
"Bahkan juga menggagas, untuk bedah rumah, bagi warga yang tidak mampu. Selain itu, beliau juga membangun perumahan murah, bagi warga desa yang belum memiliki rumah. Kehidupan warga desa di sini, jauh lebih baik setelah peternakan ini di bangun. Kakekmu orang yang paling berjasa di desa ini," ujar Pak Kades, yang merupakan warga asli desa tempat peternakan berada.
"Ya, Pak, semoga saya bisa melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh Kakek, dan selama ini sudah diteruskan oleh Ayah saya," sahut Sakha.
"Aamiin, itu juga harapan seluruh warga desa di sini," ujar Pak Kades.
Sakha pulang saat jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukan pukul 12 malam, ia pulang dengan diantar Pak Kades, yang juga akan pulang.
"Shinta sudah tidur, Bik?" Tanyanya saat Bibik membukakan pintu.
"Sudah, Mas."
"Dia sudah makan malam?"
"Sudah, Mas ingin makan, biar saya siapkan?"
"Tidak, Bik, aku sudah kenyang."
"Ooh ya sudah, Bibik tinggal tidur ya."
"Ya, Bik."
Sakha masuk ke kamarnya untuk tidur. Besok pagi dia berencana untuk jiarah ke makan Pak Rahmat, Bapak angkat Sekar, neneknya.
Setelah itu baru melihat-lihat peternakan.
--
"Chinta ... Chinta!" Sakha mengetuk pintu kamar Shinta. Shinta muncul di ambang pintu, dengan pakaian sudah rapi. Kaos oblong warna merah, dan celana jeans 7/8 warna hitam, melekat pas di tubuhnya.
"Kamu tinggal di rumah, atau ikut aku pergi?"
"Mau ke mana?"
"Melihat peternakan."
"Ya sudah gue ikut, dari pada bengong sendirian di sini."
"Kita sarapan dulu baru pergi."
"Gue ambil tas dulu." Shinta kembali masuk ke dalam kamar. Sedang Sakha menunju ruang makan.
"Bagaimana tidurmu tadi malam?"
"Biasa saja."
"Oh ya, ciumanku semalam tidak mengganggu perasaanmu ya?"
"Cih, ngapain ciuman lo harus mengganggu perasaan gue, siapa lo!"
"Siapa aku, kamu lupa siapa aku ya Princess Churut, aku ini Sakha, calon suamimu, apa ciumanku semalam sudah membuatmu amnesia?"
"Cih, calon suami, untuk apa gue mengingat calon suami seperti lo, nggak ada pentingnya, hidup gue akan lebih nyaman tanpa ada lo tahu!"
"Kamu pikir hidupku nyaman di dekatmu, telingaku sakit mendengar suaramu, yang persis suara petasan itu, mana mencicit terus persis curut ... cit ... cit ... cit ... cit, kalau tiap hari mendengar suaramu, bisa rusak pendengaranku."
"Lo juga, tampang jelek lo itu, bikin mata gue sakit tahu!"
"Aku jelek!? Sepertinya kamu harus segera ke dokter mata, eeh atau mungkin ke psikiater, karena diantara semua orang yang mengenalku, cuma kamu yang bilang aku jelek. Ehmm ... atau kamu sengaja ya menilaiku beda, biar bisa menarik perhatianku." Sakha menaikan kedua alisnya menggoda Shinta.
"Lo yang lebih cocok disebut curut, hobi mencicit panjang lebar, narsisnya over dosis, sok kegantengan, sok kecakepan, sok segalanya!" Tuding Shinta dengan mata melotot ke arah Sakha.
Sakha memajukan tubuhnya, matanya intens menatap wajah Shinta.
Spontan Shinta menarik tubuhnya ke belakang.
"Mau apa lo!?" Tanyanya gusar.
"Kamu cantik juga meski tanpa make up,"puji Sakha.
"Gue nggak butuh pujian dari lo!" potong Shinta.
"Aku belum selesai bicara, Nona, kamu cantik kalau dilihat pakai sedotan dari puncak Monas hahahaha!" Sakha tergelak dengan nyaring. Shinta langsung melempar Sakha dengan potongan tomat, yang jadi teman nasi goreng sarapan mereka.
"Dasar, Chakar Ayam!! Awas lo!"
"Kenapa? Mau balas dendam? Aku tunggu pembalasan dendammu hahaha! Habiskan sarapanmu, aku tunggu di teras depan!" Sakha bangkit dari kursinya, lalu melangkah meninggalkan Shinta, dengan menyisakan suara tawa di ruang makan. Shinta menggerutukan giginya kesal.
"Awas kamu, Chakar Ayam!" desisnya pelan penuh kemarahan.
***BERSAMBUNG***