Shinta tengah merengek pada Pipi, dan Miminya, agar bicara pada Kakek, dan Neneknya untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Sakha.
"Ayolah, Mi, please ngomong sama kakek nenek," rengek Shinta dengan suara, dan wajah memelas, agar permintaannya dikabulkan kedua orang tuanya..
"Shinta, dulu Pipi sama Mimi nikahnya juga dijodohkan kok, iyakan My Kingkong?" Dilla menatap David.
"Hmmm," sahut David yang tidak mengalihkan pandangan dari koran pagi yang tengah dibacanya.
"Tapi, dulukan Pipi yang minta sama kakek nenek buat dijodohin sama Mimi," ucap Shinta.
"Sakha bahkan memintamu sebagai jodohnya, sejak kamu ada dalam kandungan Mimi, Shinta," sahut Dilla.
"Tapi, si Chakar ayam itu nyebelin banget Mi!" rengek Shinta mengadu.
"Pipimu juga super nyebelin, sok cool, tapi mesumnya minta ampun, kalau Sakha, Mimi rasa orangnya humoris, supel, mudah bergaul, dan chasingnya, W-O-W, Pipimu saja kalah." suara Dilla terdengar berbisik pada kalimat terakhirnya, agar David tak mendengar ucapannya.
"Kalau begitu, Mimi saja yang nikah sama si Chakar ayam itu!" Rungut Shinta kesal.
"Dengerin tuh, My Kingkong, apa yang dibilang anakmu!" Seru Dilla pada David.
David mengangkat wajah dari koran yang dibacanya.
"Pipi tahu, kalau menikah itu untuk satu kali seumur hidup, dan tidak bisa dibuat coba-coba, jujur di dalam hati Pipi, Pipi punya keyakinan, kalau Sakha akan mampu menjadi suami yang baik untukmu, menjadi Ayah yang baik bagi anak-anakmu."
"Iiih Pipi kenapa ngomongin anak segala sih!? Ogah punya anak dari si Chakar ayam!" Seru Shinta memotong ucapan David.
David menghela napas.
"Sekarang kamu bicara begini, tapi nanti kalau kamu sudah menikah, Pipi yakin kamu akan lupa pernah mengucapkan perkataan tadi, Mimimu dulu bicara begitu, waktu baru Pipi nikahi, tapi setelah tahu rasanya ... rasanya ...."
"Rasanya apa, My Kingkong?" Dilla duduk di lengan sofa yang di duduki David.
"Rasanya apa!?" Mata Dilla melotot ke arah David.
"Rasanya jatuh cinta, My Queen," jawab David, begitu menemukan kata yang tepat sebagai jawabannya.
"Jatuh cinta!? Errr nggak bakalan aku jatuh cinta sama si Chakar ayam itu, Pi!"
"Hisstt jangan takabur begitu, Shinta, sekarang kamu benci setengah mati, besok bisa saja jatuh cinta luar biasa," sergah Dilla.
"Hmm benar tuh kata Mimimu, soalnya itu pengalaman pribadinya, iyakan, My Queen?" David menarik Dilla agar duduk di atas kedua paha besarnya.
"Iya, My Kingkong, dulu aku benci setengah mati, sekarang aku cinta luar biasa." Dilla mengecup pipi David mesra.
"Oh, My God! Heehhh untung aku sudah dewasa, kalau aku masih ABG, Pipi Mimi bisa kena sangsi, karena melakukan adegan dewasa di hadapanku, sudah ah aku mau pergi dulu!" Shinta bangkit dari duduknya.
"Mau ke mana, Sayang?" Tanya Dilla, yang masih duduk nyaman di atas pangkuan David.
"Ada janji sama teman, Mi, aku pergi ya, assalamuallaikum." Shinta mencium pipi, dan telapak tangan kedua orang tuanya.
"Waalaikum salam, hati-hati ya, Sayang"
"Ya, Mi."
Setelah Shinta pergi.
"Apa rencana kita hari ini, My Queen?" Tanya David.
"Ehmm hari minggu begini, enaknya ngapain ya, My Kingkong?"
"Enaknya, menghabiskan hari dengan memelukmu di atas ranjang sayang" bisik David.
"Dasar bule m***m!"
"Mau ya?" David mengedipkan matanya.
"Hmmm ... bolehlah." Dilla melingkarkan kedua tangannya di leher David. David membopongnya menuju kamar mereka.
--
Sakha tengah duduk dengan Hafid dan Hafiz putra Salsa berada di atas kedua pahanya.
Si kembar usianya hampir 5 tahun. Di sampingnya duduk Tari, kakak si kembar yang usianya sudah 13 tahun.
Di hadapannya duduk Ayah, Bunda, Salsa adiknya, dan Surya iparnya.
"Abang santai banget ya mau dinikahkan sana Shinta, pacar-pacarmu nggak pada ngamuk, Bang?" Tanya Salsa.
"Biar saja kalau mereka mengamuk, lebih baik diamuk mereka, dari pada nenek Sekar yang ngamuk," jawab Sakha.
"Hihihi ... nenek paling bisa memang kalau ngejodohin orang, dari Ayah Bunda, aku sama Papi Tari, terus Abang sama Shinta," sahut Salsa lagi.
"Nanti Tari minta jodohin sama nenek Sekar juga aah," celutuk Tari tiba-tiba.
"Aamiin, semoga kakek, dan nenek panjang umur," sahut Salsa.
"Kalau Uncle Cakha nikah, nanti bobonya di mana?" Tanya Hafiz.
"Numpang bobo di rumah kalian boleh tidak?" Tanya Sakha.
Hafiz, dan Hafid saling pandang, lalu mengangkat sepuluh jari mereka, menghitung berapa banyak kamar tidur yang ada di rumah mereka.
"Boleh, kamalnya macih lebih kok." Hafid menganggukkan kepala, yang diiyakan Hafiz.
"Memang di rumah kalian, ada berapa kamar tidurnya?"
"Belapa ya? Lebih cegini!" Hafid mengacungkan lima jarinya.
"Kalau kamarnya banyak, minta Mami kalian buka penginapan saja," ujar Sakha.
Hafiz, dan Hafid saling pandang.
"Abang iih!" Salsa melotot ke arah Sakha. Sakha tertawa melihat kegusaran adiknya.
--
Sakha menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tujuannya adalah peternakan milik Sakti, kakeknya. Selepas Ashar tadi ia berangkat dari rumah orang tuanya. Ia bermaksud menghabiskan malam minggu, dan hari minggunya di peternakan. Sore minggu rencananya ia baru akan pulang.
Hari mulai senja, saat mobil sudah berada di luar kota. Tiba-tiba Sakha melihat sepasang muda mudi yang sepertinya tengah bertengkar di tepi jalan. Awalnya Sakha ingin mengabaikan saja mereka, karena merasa pertengkaran muda mudi seperti itu, merupakan hal yang biasa dijumpainya.
Tapi saat ia melalui mereka, dan menatap ke spion mobil, Sakha langsung menghentikan mobilnya. Ia mengenali salah satu dari muda mudi itu.
Sakha memundurkan mobilnya, lalu parkir di tepi jalan, di dekat mobil muda mudi yang tengah bersitegang.
"Gue sudah bilang, gue nggak mau kawin lari sama lo, Dra!" Terdengar si wanita memekik nyaring.
"Kenapa? Kita saling cinta, Shinta, kita bisa menikah tanpa restu orang tua lo!"
"Gue nggak akan menikah tanpa restu orang tua gue!"
"Lo cinta gue kan, Shinta?" Sang pria mencekal kedua pergelangan tangan sang gadis dengan kuat. Sang gadis berusaha melepaskan cekalan itu.
"Lepaskan!"
"Lepaskan dia!" Muda mudi itu menolehkan kepala ke arah Sakha, mereka tidak menyadari keberadaan Sakha, karena pertengkaran mereka.
"Chakar ayam!" Seru sang gadis.
"Kamu mengenalnya, Shinta?" Tanya sang pria yang sudah melepaskan cekalannya.
Sakha menarik lengan Shinta, agar Shinta berdiri di belakangnya.
"Dia sudah menolak ikut denganmu, jadi jangan memaksanya," ucap Sakha penuh tekanan.
"Siapa kamu, ikut campur urusan kami?"
"Siapapun aku, yang jelas aku tidak bisa membiarkan seorang wanita mendapatkan tekanan dari pria sepertimu" Sakha mengarahkan ujung jari telunjuknya, ke d**a si pria yang sedikit lebih pendek dari dirinya.
"Oke, jadi kamu ingin ikut dengannya, atau ikut pulang bersamaku, Shinta?" Tanya si pria, seakan mengancam Shinta, kalau dia akan meninggalkan Shinta bersama Sakha.
Shinta mendongakkan wajah menatap Sakha.
"Dia ikut denganku." Sakha yang menjawab pertanyaan pria itu.
"Oke aku pergi, tapi urusan kita belum selesai, Shinta," ucap pria itu, yang langsung masuk ke mobilnya, dan segera meninggalkan tempat itu.
"Masuk ke mobil!" Perintah Sakha.
"Ogah gue pergi sama lo, gue pulang naik taksi saja!" Shinta melengoskan wajahnya.
"Hhhh ... terserah kamulah!" Sahut Sakha.
Sakha melangkah ke mobilnya, tanpa menoleh pada Shinta. Shinta hanya bisa terlongo, melihat Sakha yang masuk ke dalam mobil, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.
Sesaat kemudian ia baru tersadar, kalau ia ada di tepi jalan sepi sendirian.
'Di tempat seperti ini, apa akan ada taksi yang lewat ya? Hiiiyy mana mulai gelap lagi.'
Shinta menatap sekelilingnya. Jalanan begitu sepi, ditepi jalan hanya ada semak, dan pepohonan.
"Chakar ayam! Kenapa lo ninggalin gue!?" Teriaknya dengan suara nyaring. Shinta berlari berusaha mengejar mobil Sakha.
BERSAMBUNG