Sepanjang perjalanan Ali tidak bersuara, ia juga tidak berani untuk memulai percakapan. Pertemuan Ali dan Hasan tadi, membuat suasana berbeda. Ali masih menggenggam tangannya, seakan tidak ingin lepas.
Ali menarik tangan Ela, ia kembali kamarnya, padahal baru beberapa jam lalu ia keluar dari kamar ini. Ali malah membawanya ke hotel lagi. Padahal ia hampir kebosanan disini.
Ela menghentikan langkahnya, tepat di depan kamarnya. Ela menatap Ali, tepat dihadapannya. Ali melepaskan genggamnya, dan kini beralih memegang pundaknya.
"Kamu sebaiknya di dalam kamar saja. Saya akan keluar sebentar"
"Kamu akan kemana?".
"Saya ada urusan sebentar".
"Urusan apa?".
"Urusan yang tidak terlalu penting. Setelah ini, kita pindah hotel saja".
"Kenapa, bukankah hotel ini sudah cukup menarik".
Ali memandang iris mata Ela, ia mengelus puncak kepala itu, "sepertinya Hasan mengikuti kita, kita harus pindah dari sini".
"Hasan? Dari mana kamu tahu Hasan mengikuti kita".
"Karena saya mengenal Hasan, dia selalu ingin mengikuti saya kemanapun saya pergi".
"Pasti ada alasan dia mengikuti kamu"
"Alasan sepele, dia tidak ingin melihat saya bahagia dan dia selalu iri terhadap saya".
"Benarkah?" Ela hampir tidak percaya.
"Ya dia selalu begitu, setelah ini dia pasti akan mendekati kamu. Merebut kamu dari saya. Itulah sifat dia".
Ela mengerutkan dahi, "Sepertinya itu tidak masuk akal. Untuk apa dia mendekati saya? Saya juga tidak mengenal dia".
Ali menarik nafas, ditatapanya wajah cantik itu, "karena dia akan merusak kebahagian saya".
"Saya masih tidak mengerti".
"Nanti saya akan menceritakan semuanya. Kamu jangan pernah mendekati Hasan".
"Oke, saya tidak akan mendekatinya".
"Nanti saya akan kembali lagi, setelah semuanya selesai. Kemasi semua barang-barang kamu. Bersiaplah kita akan pindah hotel".
"Hotel mana?".
"Hotel mana saja, yang pasti bukan di dekat sini".
"Oke"
Ali mengecup puncak kepala Ela, "saya pergi dulu". Kini langkahnya menjauhi Ela.
Sementara Ela, menatap punggung Ali dari kejauhan.
**********
Sudah hampir tiga jam Ali belum kembali. Padahal ia sudah lapar, menunggu Ali sama saja membuat maag nya kambuh. Ela menegakkan tubuhnya dan ia melangkah menuju lemari, mengambil blezer miliknya.
Ela sepertinya ia sudah tidak peduli lagi, dengan ucapan Ali. Toh, Ali bukan pacarnya kenapa ia harus mengikuti printah laki-laki itu. Betapa bodohnya dirinya, mengikuti perintah laki-laki itu, seakan dia adalah kekasihnya. Oh Tuhan, kenapa ia baru memikirkan itu.
Ela mengenakan blezer miliknya dan melangkah menuju pintu utama. Ela berjalan menuju lift dan ia lalu menekan tombol lantai dasar.
Ela berjalan menuju restoran lantai dasar. Ia memilih duduk di pojok ruangan yang menghadap danau Luzern. Sambil menunggu pesananya datang.
"Hay, bolehkah saya duduk disini?".
Ela mengalihkan tatapanya, kearah sumber suara. Ela memandang laki-laki yang ditemuinya tadi sore. Ela masih ingat jelas wajah tampan itu, laki-laki itu adalah sepupu Ali yang bernama Hasan.
"Ya, boleh"
Hasan lalu duduk tepat di hadapan Ela. Ia memperhatikan wanita itu sekali lagi, wanita itu begitu sederhana dan terlihat cerdas menurutnya. Wanita itu tidak secantik wanita Libanon, dan masih banyak wanita-wanita leboh cantik dari pada wanita di hadapannya ini. Semakin heran, kenapa Ali lebih wanita itu. Apa yang ia lihat dari wanita itu. Wanita itu hanya diam, sama sekali tidak mengubrisnya. Bahkan tidak memperdulikan atas kehadirannya.
"Apakah kamu sudah lama kenal Ali?" Tanya Hasan penasaran.
Ela mengerutkan dahi, "Apakah kamu bertanya dengan saya?" Tanya Ela mencoba memastikan pernyataan laki-laki itu.
Ela teringat kata-kata Ali tadi sore, bahwa benar Hasan akan mendekatinya. Ia tahu, laki-laki itu akan melakukan pendekatan seperti ini. Terlihat jelas laki-laki itu akan mendekatinya.
Hasan tidak menyangka bahwa wanita itu meremehkannya begitu saja. Lihat saja, wanita itu terlihat tidak suka atas kehadirannya.
"Tentu saja, saya bertanya kepada kamu. Hanya kamu yang ada di hadapan saya" ucap Hasan.
"Ya, saya minta maaf. Saya pikir kamu bertanya dengan orang lain. Kenapa kamu ingin tahu seberapa, kenal antara saya dan Ali?".
"Saya hanya ingin tahu saja".
"Kamu tidak perlu tahu hubungan saya dan Ali. Kamu juga tidak berhak tahu?" Timpal Ela.
Hasan tidak habis pikir, wanita itu membuat pernyataan menjadi berbelit-belit. Wanita itu membuat emosinya naik, pandai sekali ia bersilat lidah.
"Oke, saya tidak bertanya lagi. Kamu juga sama dengan Ali. Tidak bisa diajak ngobrol baik-baik. Saya pikir Ali sudah mencuci otak kamu sampai bersih".
Hasan kembali menatap Ela, ia menatap wanita itu dengan intens, "kamu berasal dari mana?".
"Indonesia"
"Indonesia? Saya tahu, itu. Saya pikir kamu dari Filipina. Karena wajah kamu seperti orang Filipina, menurut saya".
"Dimana kamu kenal Ali?" Tanya Ali penasaran.
Masalahnya wanita itu berasal dari Indonesia dan sementara Ali dari Libanon. Jadi ia kembali berpikir, dimana mereka bertemu.
Ela menyelipkan rambutnya ke telinga, ia melirik Ali. "Untuk apa kamu tahu, hubungan saya dan Ali?".
Ela menatap Ali dari kejauhan, laki-laki itu berlari mendekatinya. Sedetik kemudian, Ali sudah berada di hadapannya.
"Ali"
Ela bersyukur bahwa Ali kini berada disini bersamanya. Hasan juga mengalihkan tatapannya, dan ia juga memandang Ali yang kini berada di hadapannya.
"Saya sudah bilang kepada kamu. Jangan pernah dekati wanita saya" ucap Ali, rahangnya mengeras.
Ela, meraih jemari Ali, dan digenggamnya jemari itu. "Mari kita pergi dari sini. Saya tidak apa-apa"
Ia tidak ingin melihat kedua laki-laki itu adu tinju di restoran ini, terlihat jelas mata Ali terbakar emosi.
"Awas kamu mendekati wanita saya lagi" Ali lalu menarik tangan Ela, menjauhi Hasan.
**********