38. Sosok Kedua

1132 Words
"Apaan?" Alan mendudukkan tubuhnya di sebelah Chandra usai lelaki itu memanggilnya keluar lapangan. "Gue denger lo udah beberapa waktu terakhir belom periksa lagi." Alan melirik Chandra yang ada di sebelahnya, kemudian ia menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kenapa emang? Bukan urusan lo juga, kan?" ujarnya. Mendengar itu, Chandra membuang napasnya pelan. "Emangnya lo gak baca hasil tes yang gue kasih?" "Om Erwin semalam udah nelepon gue kok. Lo gak usah memperjelas semuanya." Alan menatap teman-temannya yang masih berada di lapangan, "Nanti gue ke sana, bahkan tanpa lo suruh pun gue pasti bakalan pergi. Jadi lo gak perlu ikut campur." Kini giliran Chandra yang tersenyum miring. "Ternyata lo bener-bener berubah banyak ya, Alan." Ia sengaja menekankan bagian akhir kalimatnya, membuat Alan menoleh dengan kening mengerut. "Semua orang, lambat laun pasti berubah," ujar Alan. "Bahkan lo sendiri aja berubah, buktinya aja gue gak langsung ngenalin lo pas pertama kali pindah ke sini," tambahnya. "Tapi gue bisa dengan mudah ngenalin lo. Bahkan gue bisa langsung tahu kalo itu lo." Alan terdiam setelahnya dan kembali menatap Chandra. "Sangat disayangkan karena lo bahkan gak langsung kenal sama gue. Mungkin kalo bukan gue yang mulai— lo sampe sekarang kayaknya gak bakalan nyadar kalo ini gue." Chandra melanjutkan. "Gue bahkan gak tahu kalo lo itu anaknya Dokter Erwin." "Awalnya gue juga gak nyangka kalo ternyata kita bakalan ketemu pake cara kayak gini. Gue sama sekali gak expect kalo ternyata lo, salah satu pasien bokap gue. Gue sering liat hasil tes—" "Gak perlu bahas itu lagi, bisa?" Alan menginterupsi. Salah satu sudut bibir Chandra naik, "Hasil tes laboratorium punya lo sama Mentari, keluar hampir barengan." Alan mengerutkan dahi, menatap Chandra yang masih duduk di sana dengan tampang santai. "Kenapa lo bisa tahu banyak soal Mentari? Kalian— kenal lama?" tanya Alan. "Enggak juga, dulu gue guru baru di sini dan sebelum itu kita gak kenal sama sekali kok." Chandra menaikkan kedua bahunya. Lelaki itu masih menatap murid-murid yang berada di lapangan. "Bisa gak lo jelasin langsung tanpa harus bertele-tele?!" Alan mengepalkan kedua tangannya. Jika saja Chandra bukan salah satu guru di sekolahnya, ia mungkin sudah menarik leher baju lelaki itu. Bersamaan dengan itu, bel pergantian jam berbunyi. Beberapa murid yang berada di luar kelas sedikit demi sedikit masuk ke dalam kelas masing-masing. "Lan, buruan! Keburu ada guru yang masuk!" teriak Eric sesaat setelah mengambil bola. Alan menatap temannya itu sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Chandra tajam. "Oke, biar gue yang tanya langsung ke Mentari," ujarnya. "Dia gak tahu apa-apa, Lan," balas Chandra seraya balas menatap Alan. "Sana masuk sama temen-temen lo. Gak usah kebanyakan pikiran. Inget, lo harus ngecek kondisi lo lagi. Hm?" Ia mengepalkan salah satu tangannya ke arah Alan, menguji apakah lelaki itu akan membalasnya seperti beberapa tahun silam, namun Chandra tersenyum tipis karena Alan hanya memandangi tangannya lalu berlalu dari sana. *** "Pokoknya, jangan lupain aku!" "Kita ketemu lagi nanti, ya, Alan. Jangan nangis lagi. Aku harus pulang." Es batu yang berada di dalam gelas itu perlahan mencair, namun si pemilik yang sedari tadi memesan minuman itu seolah hanya ingin memandanginya saja tanpa ada niat meminumnya sama sekali. Chandra tersadar dari lamunannya begitu mendengar adanya keributan kecil di salah satu ujung kantin. Beberapa murid laki-laki kelas sepuluh tampak memasuki kantin dan berebut mengambil minuman di lemari pendingin. Chandra menatap mereka yang kini duduk di salah satu meja tak jauh darinya. Memang benar, ya. Suasana di sekolah rasanya menjadi kurang asyik jika ia tak mengganggu gadis pengidap heliophobia itu. Entah apa yang sedang Mentari lakukan dan bagaimana kondisinya sekarang, Chandra tak bisa memastikannya. "Kenapa juga gue mesti bertindak sejauh ini cuma buat lo," batin Chandra. Ia membuang napasnya pelan, lalu meminum minumannya. Tak lama setelah murid-murid tadi pergi, ponselnya berbunyi dan Chandra segera melihatnya. "Halo?" "Kamu lagi ngajar?" Suara khas papanya terdengar di seberang sana. "Enggak, kenapa emang?" "Udah ngomong ke Alan? Papa denger dari Dokter Wira, katanya kemarin dia nyuruh kamu ngomong sama Alan buat periksa lagi ke rumah sakit." "Hm. Aku udah ngomong tadi dan dia bilang dia bakal ke sana." "Baguslah. Oh, iya, ngomong-ngomong anak yang mengidap heliophobia itu sekarang masuk sekolah gak?" "Aku hari ini enggak ada jadwal di kelasnya, jadi kurang tahu. Kayaknya enggak, soalnya aku gak ngeliat dia dari pagi." "Kayaknya dia harus lebih rutin konsultasi sama Wira. Dia pasti jadi trauma lagi ketemu sama orang banyak. Kalau nanti dia berangkat, jangan terlalu maksa deketin dia apalagi kalau dia udah ngasih reaksi penolakan, setidaknya untuk beberapa waktu. Papa yakin dia bakalan membaik kok. Jadi jangan terlalu khawatir." "Hm." "Kalau begitu Papa tutup teleponnya, ya. Papa ada pasien." Sambungan telepon pun ditutup setelahnya. Chandra memandangi layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Lelaki itu kemudian menghabiskan seluruh minumannya dan beranjak dari sana untuk pergi ke salah satu kelas. *** Galang berlari memasuki rumahnya usai menyimpan sepedanya di garasi. Bocah itu dengan terburu-buru menaiki tangga dan ia berhenti tepat di depan pintu kamarnya. "Kak Mentari?" ujarnya seraya mengetuk pelan permukaan pintu. Ia sempat terdiam memandangi handle di depannya, sebelum akhirnya ia menggenggamnya dan masuk ke dalam usai menyadari kalau pintu itu tak dikunci. Di dalam kamar yang remang-remang itu Galang melihat kakaknya yang duduk di atas tempat tidur. Mentari mengalihkan pandangannya pada Galang lalu mengusap pelan puncak kepala adiknya. Walau samar, namun Galang masih bisa melihat senyuman kakaknya di sana. "Kak, aku bawa kue cubit loh! Ayo makan bareng sambil nonton!" Galang dengan semangat mengangkat sebuah kantung plastik di tangannya. "Buat kamu aja. Kakak gak pengen," ujar Mentari pelan. "Ah, gak asik." Galang menjatuhkan kedua bahunya dengan bibir mengerucut. "Ayo ikut aja. Emangnya Kakak gak bosen di sini terus? Enakan nonton di luar. Yuk!" Ia menarik-narik lengan Mentari dan membawa kakaknya itu turun ke bawah. Dengan heboh ia menunjuk-nunjuk ke arah layar TV saat film favoritnya tayang. "Aku bilang ke Mang Asep kalo kue cubitnya itu paling enak se-Indonesia dan gak pernah ngebosenin, eh ... dikasih bonus dua deh!" ujar Galang antusias seraya menggigit kue cubit di tangannya. Mendengar itu, Mentari terkikih pelan. "Oh, iya, Kak! Ada rasa baru loh, kata Mang Asep, sekarang ada rasa taro! Aku udah nyoba dan rasanya enak banget, Kak Mentari harus nyobain." Galang mengambil salah satu kue cubit berwarna ungu dan memberikannya pada Mentari. Mentari menatapnya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia memakannya. "Enak, kan?" tanya Galang dengan kedua mata yang berbinar. Bocah itu kembali memasukkan kue cubit ke dalam mulutnya lalu berfokus pada film yang ditayangkan. Mentari mengunyah kue cubit itu secara perlahan lalu menatap Galang yang duduk di sebelahnya. Ia tersenyum tipis, lalu kembali mengusap kepala bocah itu. Walaupun mereka seringkali bertengkar, namun Galang adalah sosok kedua yang paling peduli setelah ibunya. Meski umurnya baru sepuluh tahun, namun setiap kali fobia kakaknya kambuh, Galang selalu ada bersama kakaknya walau tak banyak yang bisa ia lakukan. —tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD