32. Pilu

1075 Words
Suasana di meja makan terasa hening ketika makan malam berlangsung. Masing-masing terlihat sibuk dengan piringnya. Mala yang berniat memasukkan kembali sesendok nasi ke dalam mulut berhenti saat menyadari kalau Galang hanya memainkan sendoknya sedari tadi. "Kenapa gak makan? Kamu belom laper?" tanya wanita itu. Galang masih menunduk usai ditanya oleh sang ibu. Bocah itu kemudian menghela napasnya agak kasar, "Kenapa Kak Mentari enggak ikut makan malam, Bu?" tanyanya. Tangan Mala yang masih memegang sendok itu perlahan turun, "Kak Mentari katanya belom pengen makan. Habis ini Ibu ke kamarnya buat nganterin makanan. Jadi, sekarang kamu makan—Galang!" Ia mendadak berteriak pelan usai Galang meletakkan kembali sendoknya secara tiba-tiba dan pergi dari meja makan. Bocah itu menaiki satu per satu anak tangga dan pergi menuju kamar kakaknya, namun sayangnya pintu kamar sang kakak terkunci saat ia sampai di sana. "Kak, ayo makan malam!" ujar Galang dari balik pintu. Tak ada respon sama sekali dari sang pemilik kamar, membuat Galang semakin gencar bersuara. "Ibu masak makanan kesukaan Kakak, lho! Enak banget, kalo Kak Mentari enggak turun, nanti aku habisin! Ayo turun, Kak!" Dari pada mengetuk, Galang justru dengan sengaja menggedor-gedor pintu kamar kakaknya, berharap kakaknya itu akan keluar dari kamar dan memarahinya namun ternyata apa yang ia lakukan itu sia-sia. "Kak Mentari ayo makan malam bareng! I-Ibu beliin aku kue cubit banyak, tapi aku gak.mau ngasih Kakak! Aku mau makan semuanya!!" Mala segera meninggalkan meja makan usai mendengar itu. Wanita itu buru-buru menaiki anak tangga dan harus segera membawa pergi putra bungsunya dari sana. "Galang, gak boleh gitu! Jangan ganggu Kak Mentari." Mala menarik pelan salah satu lengan Galang namun bocah itu ternyata langsung berpegangan pada handle pintu. "Aku gak akan pergi sebelum Kak Mentari keluar!" "Galang—" Mala menatap kedua mata putranya yang sudah memerah dan berair. Wanita itu kemudian membuang napasnya kasar, "Galang, sekarang Kak Mentari lagi istirahat. Jadi kamu sebaiknya jangan ganggu, ya. Nanti makan malamnya biar Ibu yang nganterin ke kamar. Sekarang kamu habisin makan malam kamu, ya." Ia mengusap puncak kepala putranya. Usai mendengar ucapan ibunya, Galang menatap kembali pintu di hadapannya yang juga tak kunjung terbuka. Bocah itu mengeraskan rahangnya, "Bu, Kak Mentari dijahatin lagi, ya?" Pertanyaan itu membuat Mala terkejut. Wanita itu berusaha menenangkan diri lalu ia kembali mengusap puncak kepala putranya. "Kak Mentari gak apa-apa kok. Kata Dokter, Kak Mentari harus banyak istirahat—" "Ibu selalu aja bilang kalo Kak Mentari baik-baik aja, tapi aku sering denger Kak Mentari nangis diem-diem di kamar!" Tiba-tiba Galang menginterupsi dengan nada tinggi, bahkan napas bocah yang masih berusia sepuluh tahun itu semakin tak teratur dengan kedua mata yang sudah menatap penuh ke arah ibunya, "Kak Mentari bukan orang jahat, Bu! Kakak harusnya enggak dijahatin! Kak Mentari juga enggak mau punya fobia itu! Kak Mentari—" Mala buru-buru memeluk erat putranya, membuat pegangan Galang pada handle pintu itu terlepas. Tangisan Galang langsung pecah di saat itu juga seraya balas memeluknya. Mala yang sudah bersusah payah menahan air matanya itu pun semakin memeluk erat Galang. * Suara tangisan Galang terdengar pilu di luar sana, namun tak membuat Mentari bergerak dari posisinya. Gadis itu masih menatap kosong salah satu sudut kamarnya dengan air mata yang kembali luruh. "Maafin Kakak, Galang," batin Mentari. Usai pulang dari rumah sakit, ia langsung mengurung diri di dalam kamar dan bahkan tak sempat bertemu dengan adiknya sama sekali. Ponselnya yang masih berada di dalam tas berbunyi entah yang ke berapa kali, namun Mentari tak menaruh rasa penasaran sama sekali. Bahkan setelah ibunya membawakan tas miliknya dan berkata kalau Alan yang membawanya dari sekolah, hal itu tak membuat Mentari bergerak dari tempat tidur. Ia merasa seluruh tubuhnya kembali dilanda rasa sakit, entah kenapa. Apakah reaksi obat yang diberikan oleh dokter sudah habis? Tidak, Mentari merasa ada yang salah. Bukan tubuhnya yang sakit, bukan itu. Haruskah ia meminum painkiller agar tak sakit? Tidak, bukan itu. Bukankah SSRI yang biasa diberikan oleh dokternya itu lebih berguna? Mentari menatap tas miliknya yang berada di atas meja belajar. Ia bahkan merasa kalau tubuhnya jauh lebih berat dari biasanya, membuat ia kesulitan beranjak dari sana. Di saat yang bersamaan, seseorang terdengar membuka pintu kamarnya. Mala terlihat masuk dengan membawa nampan berisi makan malam untuknya. Wanita itu selalu membawa serta kunci cadangan kamar Mentari dan hal itu memudahkannya memantau kondisi putrinya. "Bu, bisa ambilin obat aku? Badan aku sakit," lirih Mentari usai pintu ditutup. Mala sempat menahan napas usai mendengar ucapan putrinya. "Ini obat kamu, sekarang kamu makan dulu, ya." Ia mendudukkan tubuhnya di tempat tidur dan membantu Mentari mendudukkan tubuhnya. Mentari menatap semangkuk nasi dan sup ayam kesukaannya, lalu selembar obat yang ada di nampan. Ia harus makan agar bisa meminum obatnya, itu yang gadis itu pikirkan saat ini. Ia harus minum obat agar rasa sakitnya berkurang, bukankah begitu? * Alan memeriksa ponselnya selama beberapa kali dan ia tak menemukan adanya balasan sama sekali dari Mentari. Lelaki itu bertanya-tanya, bagaimana kondisi Mentari saat ini? Apakah gadis itu sudah benar-benar membaik atau justru sebaliknya? Ia kemudian menatap dua lembar obat yang ada di atas nakas. Alan mengambil kedua benda itu lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia memang tak tahu pasti obat jenis apa yang ditemukannya itu, namun jika ucapan Chandra memang benar, dua benda itu tak lain adalah obat jenis SSRI dan juga beta blockers. Ia memang tak mengkonsumsi kedua obat itu, namun ia cukup bisa mengenali jenis beta blockers yang juga pernah dikonsumsi oleh mendiang ayahnya yang dulu memiliki riwayat penyakit jantung. Beta blockers atau penghambat beta itu sendiri merupakan kelompok obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi dan mengobati beragam kondisi pada jantung, seperti gagal jantung, aritmia, nyeri d**a (angina), atau serangan jantung yang berfungsi menekan hormon adrenalin dan epinephrine sehingga denyut jantung akan melambat. Bagi pengidap fobia seperti Mentari, kemungkinan beta blockers memang diperlukan untuk mencegah adanya peningkatan denyut jantung secara mendadak saat serangan panik datang. Namun yang sedikit mengganggu Alan adalah, apakah tidak apa-apa jika jenis beta blockers dikonsumsi berdampingan dengan anti depresan? "Bokap gue bilang kalo Mentari kemungkinan terbiasa minum anti depresan jadi dia harus lebih diawasi. Lo tahu kan, pengidap fobia itu kayak gimana." Ucapan Chandra tempo hari membuat Alan sedikit khawatir. Sebelumnya ia tak pernah menemukan seseorang dengan fobia seperti Mentari. Teman-teman lamanya juga tak memiliki fobia langka, hanya sebatas fobia ketinggian atau hewan-hewan tertentu. Namun meskipun begitu, mereka tak sampai harus mengkonsumsi anti depresan atau bahkan beta blockers persis seperti yang Mentari lakukan. "Mentari ... bakalan baik-baik aja, kan?" batin Alan. —Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD