"Mentari bisa pergi ke sekolah berkat psikoterapi yang dia lakukan. Meskipun harus repot-repot membawa sunscreen, jaket, masker, bahkan obat-obatan, tapi itu sudah cukup bagus untuknya yang bisa berinteraksi dengan dunia luar. Tapi karena kejadian kemarin, Papa rasa dia kemungkinan harus kembali mengulang lagi perjuangannya." Erwin memasukkan kedua tangannya ke dalam saku lalu menatap pemandangan di luar jendela ruangannya.
"Tapi, dia bisa sembuh, kan?"
"Chandra, semua fobia itu pada dasarnya bisa disembuhkan, meskipun belum ada pengobatan yang benar-benar efektif untuk menyembuhkannya. Selain keberanian dari si penderita, kombinasi dari beberapa perawatan juga sangat diperlukan. Papa yakin suatu saat nanti gadis itu bakalan bisa sembuh, walau dalam waktu yang tidak akan sebentar." Erwin kemudian mengalihkan pandangannya pada Chandra yang duduk di sofa yang ada di sana, "Papa dengar hari ini gadis itu ada janji dengan dokternya," lanjutnya seraya menatap arloji di tangannya.
"Jadi, Mentari bener-bener gak ke sekolah."
"Dia gak mungkin ke sekolah setelah kejadian kemarin. Kemungkinan fobianya itu semakin memburuk dan dia akan kembali mengalami kesulitan menjalani aktivitasnya sehari-hari. Sebenarnya kondisi Alan juga sudah mulai membaik, tapi sewaktu terakhir kali dia ke sini, Papa cukup kaget sama hasil laboratorium yang keluar." Erwin membuang napasnya pelan sebelum melanjutkan, "sebenarnya Papa gak mau bilang ini ke kamu, tapi kondisi Mentari sama Alan itu sedikit bertolak belakang. Fobia milik Mentari mungkin bisa disembuhkan, namun tidak dengan alzheimer yang diderita oleh Alan."
Usai mendengar ucapan dari sang ayah, Chandra membuang pandangannya ke arah lain.
"Jadi, Chandra, setelah kamu kemarin sempat meninggalkan impian kamu, apa sekarang kamu benar-benar mau kembali lagi?" tanya Erwin.
"Aku gak bakalan nyerah sampai tujuan aku benar-benar terwujud, Pa," tegas Chandra.
"Meskipun jika saat itu tiba, Alan sudah tidak mengenali kamu?"
Kedua mata milik Chandra langsung kehilangan fokusnya. Ia menahan napasnya sejenak, sebelum kembali membuka suara, "aku gak bakalan ngebiarin hal itu terjadi. Mungkin alzheimer yang diderita oleh Alan itu gak bisa sepenuhnya sembuh, tapi bukan berarti hal itu gak bisa diperlambat. Saat Alan pertama kali ke sekolah, dia gak bisa mengenali aku sama sekali dan aku gak bakalan hal serupa terjadi lagi, bagaimana pun caranya. Chandra akan pastikan kalau Alan gak akan pernah kehilangan satu pun dari memorinya."
Erwin membuang napasnya pelan, "Papa selalu ngedukung apapun yang kamu lakukan. Tapi, Chandra, semua hal di dunia ini ada batasnya dan ada beberapa hal yang memang tidak bisa dipaksakan oleh manusia. Jadi Papa harap apapun yang akan terjadi di depan nanti, kamu harus selalu siap. Ingat, dokter itu bukanlah Tuhan."
*
Kedua kaki Alan berhenti tepat di depan pintu ruang guru. Lelaki itu menatap pintu di hadapannya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia melangkah masuk ke dalam.
"Ngambil buku paket, kan?" batinnya. Ia menatap satu per satu meja di sana dengan kening mengerut.
Jika dirinya ke sana untuk mengambil buku paket, lantas kenapa ia tak menemukannya? Di atas meja-meja itu hanya ada tumpukan-tumpukan kertas dan dokumen yang isinya entah apa dan hanya buku paket pegangan guru.
"s**l, gue lupa." Alan membuang napasnya kasar.
"Nyari apa kamu?" Seorang guru yang melihat Alan tampak kebingungan di sana pun bertanya.
"Sa-saya ... disuruh ke sini buat-" Alan menjeda kalimatnya, "Ngambil buku paket," lanjutnya walau masih tak menemukan jawaban di kepalanya.
Guru yang tadi bertanya padanya pun mengangkat salah satu alisnya, "Buku paket? Kamu harusnya pergi ke perpustakaan, bukan ke sini."
Kedua mata Alan berkedip dua kali. Pantas saja ia merasa ada yang aneh, ternyata dia memang salah tempat. Menyadari hal itu pun Alan lantas mengucapkan maaf sekaligus terima kasih pada gurunya dan kembali ke luar.
"Aneh. Kenapa gue ngerasa kalo tadi gue disuruh ke sini, ya?" gumamnya. Lelaki itu berbelok ke koridor lain namun ia urungkan begitu mendengar suara Eric yang memanggilnya dari kejauhan.
"Lo mau ke mana?" tanya Eric.
"Kan, ngambil buku paket. Ke perpustakaan lah."
Jawaban Alan membuat Eric melongo. Lelaki itu menepuk dahinya lalu membuang napasnya kasar, "Lan, Bu Maya nyuruh lo ngambil buku tugas ke mejanya. Kenapa malah jadi buku paket sih?"
Kini giliran Alan yang dibuat kebingungan. Belum sempat Alan mencerna situasi, Eric sudah membawanya kembali ke ruang guru untuk mengambil buku-buku tugas yang telah dikumpulkan minggu lalu.
"Untung aja yang nyuruh lo tuh Bu Maya, coba kalo guru lain yang super galak, bisa habis lo, Lan," ujar Eric. Ia membawa tumpukan buku itu bersama dengan Alan dan mereka pun kembali ke kelas.
Sepanjang jalan, Eric terus-menerus mengoceh namun bukannya mendengarkan, Alan justru sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Kayaknya lain kali gue harus bikin reminder deh," batin Alan. Lelaki itu membuang napasnya kasar. Jika saja Eric tidak datang menyusulnya, maka semuanya akan semakin kacau.
"Gue denger murid-murid kelas dua belas yang berantem sama Mentari kena skors, ya?" ujar Eric.
Alan berkedip dua kali dan ia langsung memepercepat langkahnya agar mereka kembali bisa berjalan bersebelahan.
"Oh, ya?"
Eric menganggukkan kepalanya, "Hm. Itu sih yang gue denger dari anak-anak. Gak tahu juga deh nasib guru baru yang kemaren ngehukum mereka. Kayaknya dapet ceramah juga dari kepala sekolah. Ya lagian asal ngehukum aja sih, padahal kan bisa konsultasi ke BK dulu apalagi dia masih baru di sini dan gak tahu kalo di sini ada murid limited edition." Ia terkikih pelan.
Alan sempat berhenti tepat sebelum ia memasuki kelas. Lelaki itu menatap koridor yang sepi selama beberapa saat.
Mungkin, nasib Alan dan Mentari memang tak jauh berbeda. Di sekolah lamanya, Alan beberapa kali dikerjai oleh teman-temannya karena ia yang cukup sering melupakan sesuatu. Ia juga beberapa kali salah masuk kelas.
Payah sekali, pikir Alan.
Dan sekarang, di sekolah barunya, ia menemukan seseorang yang juga tengah kepayahan dengan kondisi dirinya sendiri.
*
"Untuk saat ini, saya sarankan agar tidak memberikan sedatif sebagai pertolongan dini kepada Mentari, karena saya khawatir akan terjadi ketergantungan. Saya sudah mengurangi dosis beta blockers, setidaknya hal itu masih bisa meminimalisir peningkatan degup jantung saat dia mengalami serangan panik. Atau Ibu juga bisa menggunakan SSRI yang sudah saya berikan, karena obat jenis itu memiliki resiko efek samping yang rendah."
Mala membuang napasnya pelan usai mendengar penjelasan dokter di depannya. Wanita itu kemudian melirik Mentari yang duduk tepat di sebelahnya, lalu ia mengusap puncak kepala gadis itu.
"Mungkin kita bisa kembali melakukan psikoterapi untuk Mentari. Kondisinya sudah mulai membaik sebelumnya tapi saya ikut prihatin setelah mendengar apa yang sudah terjadi kemarin. Atau jika Ibu mau, Ibu bisa memilih cara home schooling untuk pendidikan Mentari saat ini." Dokter tersebut berujar seraya menatap salah satu permukaan pipi Mentari yang masih dihiasi oleh noda kebiruan yang sudah mulai pudar.
"Dari dulu saya ingin melakukan itu, tapi saya juga memikirkan Mentari. Dia juga harus berusaha berinteraksi dengan dunia luar dan memiliki teman-teman yang akan mendukungnya kelak sampai benar-benar bisa sembuh. Meskipun dia tidak ikut dalam kegiatan outdoor, tapi saya bersyukur karena dia sudah mau pergi ke luar dan dia memiliki cukup banyak orang-orang yang mengerti dan juga menerima kondisinya walaupun hal itu masih terasa sulit hingga saat ini." Kedua mata Mala masih menatap Mentari yang tak juga memberikan respon. Gadis itu hanya menatap kosong permukaan lantai.
"Lakukan saja secara perlahan dan tetap awasi perkembangan kondisinya," tambah sang dokter.
—TBC