Ibu Baik?

2158 Words
"Abian mau makan apa?" tanya Surya sambil menggendong sang anak. Abian sudah tidak cocok lagi untuk di gendong, tetapi Surya tetap menggendong anaknya itu. Jika tentang anak, dia tidak akan merasa berat apalagi lelah."Bukannya Ayah tadi beli Ayam saus ya?" tanya Abian dengan mata berbinar. Dia sangat suka Ayam saus, apalagi jika  pada satu restoran yang sering dibelikan oleh sang Ayah atau mereka sekeluarga makan di sana. Bisa dikatakan itu makanan kesukaan Abian "Ayam sausnya udah basi, nggak enak lagi jadi Ibu buang," jawab Hasna langsung. Dia tidak mau Agra menjadi curiga tentang apa yang terjadi pada dirinya. "Kok bisa basi Bu? Itu restoran besar lo," ucap Agra yang mulai kebingungan. Restoran besar dan sangat terkenal di kota tersebut tidak mungkin membuat masalah yang dapat merugikan bisnis mereka sendiri. Agra mendadak ingin jadi detektif, pertanyaan-pertanyaan mulai timbul dalam benaknya. "Ya mana Ibu tahu lo Nak, memang Ayah beli di tempat biasa?" tanya Hasna kepada sang suami. Sebenarnya Hasna enggan bertanya, tetapi dibanding situasi bertambah rumit lebih baik segera diselesaikan. "Eh... Ayah beli di tempat lain soalnya di tempat biasa ramai," jawab Surya dengan penuh kebohongan tentu saja. "Ibu masakin telur mata sapi aja ya nak?" tanya Hasna memberikan opsi apalagi hari sudah mulai malam. Surya jelas saja tidak setuju dengan usul sang istri, "Ayah beliin makanan depan komplek gimana?" "Mau mau, beli ayam goreng ya Yah?" Surya mengangguk sambil tersenyum, "Boleh, Abang Agra mau juga?" "Enggak Yah, masih kenyang," tolak Agra halus. "Kalau Ibu?" tanya Surya kepada sang istri. Surya tahu jika Hasna enggan berbicara dengan dirinya. Lihat saja tatapan matanya sangat-sangat tidak baik untuk Surya. "Aku udah Kenyang kok," jawab Hasna berusaha sesantai mungkin. Surya langsung membawa Abian untuk keluar kompleks perumahan mencari makan malam. Sahut-sahut motor beserta mobil begitu terdengar dan juga meramaikan jalan raya. Hilir mudik beberapa orang menjadi peneman mereka malam itu. Surya dan Abian pergi menggunakan motor karena jarak yang lumayan jauh jika berjalan kaki. Mereka menikmati waktu berdua meski pikiran Surya masih bertahan pada sang istri. "Abian sayang sama Ayah?" tanya Surya tiba-tiba. "Sayang dong Yah," jawab Abian khas anak kecil. Bibir Surya mengembang. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di gerobak penjual ayam goreng. "Bungkus Ayamnya 4 ya Mas," ujar Surya kepada sang penjual. Kebetulan gerobak penjual itu berada di depan pekarangan salah satu minimarket. "Abian mau ke minimarket nggak?" tawar Surya. "Emang boleh Yah?" "Boleh dong, Ayo!" Mereka berdua langsung masuk ke dalam minimarket tersebut. Abian kegirangan, dia lantas menuju tempat yang banyak berjejer cemilan dan kebetulan di sampingnya ada rak mainan. "Jajannya jangan banyak-banyak ya, nanti Ibu marah lo." Surya mencoba memperingati sang Anak. Dia tahu bagaimana didikan dari sang istri yang tidak suka memberikan sesuatu kepada anak-anaknya secara berlebihan. Hal itu tentu saja bertolak belakang dengan dirinya yang selalu berusaha memberikan apa yang diinginkan sang anak. Tentu saja antara dirinya dan Hasna sering sekali terlibat cekcok jika menyangkut tentang anak-anak. Apalagi tentang pendidikan, Surya sangat menginginkan anaknya mendapat pendidikan yang terbaik di antara yang baik. Abian memberikan jempol tangannya sampai-sampai Surya terkesima dengan anak ketiganya itu. "Mau mainan satu ya Yah? teman kompleks udah punya semua," curhat Abian. Surya tidak bisa menolak jika sang anak sudah curhat begitu. Hatinya jadi teriris sendiri, apakah akhir-akhir ini dia lengah untuk memperhatikan anak bungsunya itu. Memang sudah lama Abian tidak meminta untuk dibelikan mainan, kebanyakan dia lebih meminta untuk dibelikan makanan ataupun cemilan. "Iya Ambil aja, terus apa lagi?" Abian berpikir sejenak, dia masih melihat-lihat  deretan mainan yang terpampang begitu jelas. "Udah Yah ini aja," ujar Abian pada akhirnya. Hanya 2 cemilan dan satu mainan yang dipilih oleh sang anak. Surya memasukan ke dalam keranjang yang memang berada di tangannya. "Bang Agra biasanya suka cemilan apa Nak?" "Bang Agra suka semua Yah, bahkan cemilan Agra aja habis sama dia," jawab Abian sambil cemberut. Dia sering kesal jika cemilannya sudah hilang padahal sebelum masuk ke dalam kamar mandi masih ada tetapi saat keluar kamar mandi sudah hilang entah kemana. Abian tahu siapa pelakunya, siapa lagi kalau bukan sang Abang. "Wahh, Iya ya Nak. Biasanya Abian lihat Abang ngemil apa?" Surya tertawa sendiri melihat kedua anak laki-lakinya itu. Agra juga yang umurnya berjarak sangat jauh malah jail begitu. Abian berpikir sejenak, kemudian mengambil 3 jenis cemilan yang berbeda. Surya bahkan mengerutkan keningnya sendiri, serius anak keduanya suka apa yang diambil oleh Abian? "Abang suka Jelly gini?" "Suka, bahkan semalam Abang bisa ngabisin 2 bungkus jelly gini." Surya mendadak terdiam, lucu sekali anak keduanya itu. Apa yang dipikirkan teman-temannya jika ketahuan Agra suka Jelly yang biasa dikonsumsi anak kecil. Surya sampai tidak mengerti jalan pikiran Agra. "Terus apa lagi?" "Abang suka minum kopi," ujar Abian. Botol minuman kopi yang begitu banyak di tempat sampah kamar mereka sering sekali Abian kutip untuk dijadikan mainan. "Abang tiap hari minum kopi ya Nak?" Surya mendadak risau sendiri. Tentu saja banyak minum kopi tidak begitu baik apalagi kopi kemasan begitu. "Hemm, Abian kurang tahu Yah." Surya mengangguk, tidak lupa dia membeli s**u ibu hamil untuk sang istri. Jika nanti kotak s**u itu berakhir di tempat sampah maka Surya hanya perlu  menyiapkan mental agar tidak mudah emosi. Ingatkan juga Surya untuk memberikan pengertian kepada Agra untuk tidak mengkonsumsi minuman berkafein terlalu sering. Setelah selesai, Surya langsung membayar belanjaan mereka. Jika begini, dia jadi ingat kepada anak perempuan satu-satunya yang tengah berada di pulau yang berbeda dengan mereka. "Sering telfon Kak Ayra nggak Nak?" tanya Surya sambil memegang tangan kanan anaknya dan tangan kiri memegang keranjang. "Ibu sering nelpon tu," jawab Abian seadanya. Kadang telpon itu diberikan kepada Abian karena sang kakak rindu dengannya. "Kapan-kapan kalau Ayah udah ada uang kita jalan-jalan ke tempat kak Ayra ya?" Abian mengangguk. Mereka selesai berbelanja dan juga membayar 4 bungkus Ayam goreng. Di sudut rumah, Hasna merasa sangat tidak tenang. Dia masih marah dan malas untuk melihat wajah sang suami tetapi apa boleh buat. Di rumah bukan hanya tentang mereka berdua, tetapi ada anak yang harus mereka jaga hatinya dan memberikan kehidupan yang baik tentu saja. Hasna memilih untuk menyiapkan nasi dan s**u untuk Abian. "Jangan ambil kopi lagi," tegur Hasna langsung kepada Agra yang tengah membuka kulkas. "Satu aja lo Bu," bujuk Agra. Aneh rasanya jika tenggorokan tidak dilewati oleh minuman berkafein itu. "Pokoknya Enggak, malam ini nggak usah begadang lagi . Kesehatan itu penting Agra, nanti kalau udah sakit baru tahu nikmatnya sehat." "Nggak boleh ngomel-ngomel dong Bu," ujar Agra sambil sedikit tertawa. "Gimana nggak ngomel, tiap malam minum kopi terus besok paginya curhat kalau mata nggak mau tidur. Aneh kamu itu Gra, udah tahu kopi bikin mata melek tetapi malah minum kopi mulu tiap malam. Mulai besok pagi nggak ada stok kopi lagi di kulkas dan di rumah ini," titah Hasna tegas. Agra ini harus di tegasin agar mau nurut. "Lah terus Agra minum apa dong Bu?" "Minum s**u, tiap malam bakal ibu bikinin s**u. Kamu itu udah kurus tinggal tulang Agra masih aja hidup nggak sehat. Belajar boleh, tapi ingat waktu juga." Agra cemberut seperti anak kecil, bahkan mengalahkan sang Adik yaitu Abian. Hasna sampai geleng-geleng kepala melihat Agra dengan tingkah anehnya. "Masa iya nggak boleh minum kopi, Agra janji nggak bakalan minum kopi tiap malam lagi Bu," cicit Agra meminta kelonggaran. Kali saja Ibunya bisa luluh. "Tetap nggak boleh, pokoknya minum s**u nggak ada kopi-kopi lagi." "Ibuu, ayolah!!!" Agra masih berusaha untuk membujuk. "Enggak Nak, Ibu nggak mau kamu sakit." Agra menutup pintu kulkas, dia tidak mengambil minuman berkafein itu sama sekali. Ia lebih memilih duduk di meja makan sambil memakan buah pisang. Berbagai cara muncul di dalam kepalanya bagaimana cara membujuk sang Ibu. Hasna malah gemas dengan tingkah Agra, sudah mau dewasa masih saja tingkahnya mengalahkan Abian. "Beneran udah makan?" tanya Hasna kepada Agra. Kali saja hanya alasan Agra yang mengatakan sudah makan tetapi ia belum makan sama sekali. "Udah lo Bu, Agra udah makan tadi sama teman." Agra tidak bohong untuk itu, dia memang sudah makan di sebuah restoran orang tua salah satu temannya. Siapa tidak mau makan makanan gratis? Agra tidak akan melewatinya begitu saja. "Makan dimana emangnya?" "Di restoran nya Refli itu lo Bu, Agra pernah cerita kan?" Hasna mengangguk, Agra bukan tipikal orang tertutup jika masalah sekolah dan lingkungannya sehingga Hasna tidak perlu khawatir tentang lingkungan sang anak. Agra bukan tipikal cowok perokok meskipun lingkungannya banyak yang menghisap nikotin tersebut. "Nggak rugi apa restoran nya ngasih kalian gratis terus?" "Enggak lah Bu, Ayahnya Refli itu baik banget jelas. Pernah tu kami main ke rumah Refli terus dibeliin banyak cemilan," curhat Agra dengan cengiran khasnya. Jika tentang makanan dan cemilan maka Agra sangat-sangat senang sekali. Senang sekali membuat Agra merasa bahagia dan senang. "Kenapa nggak bawa temannya main ke rumah kita biar Ibu beliin cemilan juga?" Dulu Agra beralasan karena ada Ayra di rumah sehingga tidak mau membawa teman-temannya ke rumah. Padahal Ayra tidak masalah sama sekali asal tidak mengganggu dirinya. Emang dasar Agra tidak mau membawa teman-teman ke rumah ya pasti punya berjuta alasan. "Malas Bu, ada Abian soalnya. Kami nggak bebas mau main." "Lah... Abian kalau siang juga nggak banyak di rumah Nak. Kamu malu ya rumah kita nggak besar?" Agra langsung menggeleng keras, "Enggaklah Bu. Ibu kok mikir sampai ke sana." "Soalnya kan kamu ada aja alasan kenapa nggak bawa teman main ke sini, Ibu kan jadi mikir kemana-mana." Padahal rumah mereka cukup besar. "Iya iya, besok aku bawa teman main ke sini." Bukan Agra tidak mau membawa teman-temannya ke rumah, tetapi yang namanya anak muda tentu mau nongkrong di rumah yang tidak ada penghuninya. Seperti rumah Refli yang selalu kosong karena sang Ayah yang sering keluar dan sang Ibu sudah lama tidak tinggal di rumah efek bercerai beberapa tahun yang lalu. Sesekali mereka juga mengumpul di rumah Andri tetapi lebih lama ngumpul di luar. Di indoapril contohnya sambil mencari wifi gratis. Suara pintu motor terdengar di bagasi, Agra langsung bangkit untuk kembali ke kamar. "Makan dulu walaupun sedikit," ujar sang Ibu menghentikan langkahnya. "Aku udah kenyang Bu," "Jangan kayak gitu, hargai Ayah Nak." Agra menghela nafas, dengan langkah berat dia kembali ke meja makan seperti semula. Hasna melihat Abian membawa plastik yang cukup besar. "Wow, Abian beli apa itu?" "Ayah Beliin cemilan sama s**u buat Ibu," jawab Abian. Jika tidak ada anaknya sekarang, percayalah s**u itu akan langsung Hasna lempar di hadapan Surya. Untuk apa memikirkan tentang dirinya, seakan-akan Surya sangat memperhatikan dan mencintainya. Padahal semua hanyalah tipu daya yang mencengkam. Agra hanya melihat sang Adik antusias mengeluarkan cemilan-cemilan dari dalam plastik tanpa berniat untuk ikut serta. Mata Agra menangkap cemilan kesukaannya tetapi terlalu gengsi untuk mengambilnya. "Ayam gorengnya beli berapa?" tanya Hasna tanpa melihat ke arah Surya. "Empat tadi," jawab Surya tanpa mengalihkan pandangan pada sang istri. Dia ingin menatap mata sang istri tetapi tidak dapat. Mata itu seperti enggan dan juga sangat jijik melihat dirinya. Hasna langsung mengambil nasi dan meletakkan di meja makan. "Ini buat kamu," ujar Surya langsung sambil memberikan beberapa cemilan kepada Agra. Jika sang Ibu yang membelikannya, pastilah Agra berteriak heboh dan memeluk sang Ibu langsung. Tetapi sayang, yang memberikan adalah Ayahnya. Jangankan untuk gembira kehebohan, untuk senyum saja rasanya bibirnya sangat sulit. "Makasih Yah," ujar Agra sopan. Tidak etis rasanya tidak mengucapkan terima kasih. Mata Hasna tidak luput dari anak dan ayah tersebut. Dia tahu, Agra tidak sama seperti dulu yang begitu mengagumi sosok sang Ayah. Sekarang Agra sudah tidak begitu tertarik dengan kehidupan sang Ayah. Jika pun Ayahnya tidak ada maka Agra tidak akan merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Hasna tidak tahu harus seperti apa. Jika dia bisa memilih maka Hasna tidak ingin sang anak mengetahui bagaimana sang Ayah di luar rumah. Hasna sudah berulang kali mengatakan bahwa apapun pikiran negatif Agra tentang Ayahnya sendiri adalah salah sehingga Agra tidak menaruh kebencian kepada Ayah kandungnya sendiri. Luka seorang istri bisa sembuh dengan perjalanan waktu, tetapi luka seorang anak sangat sulit untuk disembuhkan. Bahkan alam bawah sadar mereka pun tercetak secara jelas trauma dan rasa sakit yang sulit dideteksi oleh orang lain. Suasana malam itu lebih di d******i oleh kehebohan Abian, sesekali Hasna juga tertawa melihat bagaimana polos dan menggemaskan anak bungsunya itu. Seperti biasa, Agra lebih banyak terdiam dan akan angkat bicara jika ditanya. Setelah selesai makan, Surya dan Abian berpindah ke ruang keluarga. Hasna membereskan bekas makan mereka. "Aku ke kamar ya Bu," ujar Agra sambil membawa cemilan yang dibelikan sang Ayah. "Jangan begadang ya, nanti Ibu masuk ke kamar buat lihat." "Iya  Ibu, malam ini aku nggak begadang lagi jelas kopi aja enggak ada." Agra langsung beranjak, tetapi sebelum itu dia membuang bungkus plastik bekas makanan ke dalam tempat sampah. Satu persatu bungkus-bungkus makanan masuk ke dalam tempat sampah, tetapi mata Agra berfokus ke sebuah bungkus besar dengan nama restoran di depannya. Agra jadi mengingat bahwa sang Ayah mengatakan bahwa dia membeli ayam saus bukan di restoran biasa. Jelas saja Agra menaruh kecurigaan. Matanya langsung melihat ke arah sang Ibu, "Ibu baik-baik aja kan?" Hasna memandang ke arah sang anak, matanya menyipit tanda kebingungan. "Ibu baik kok, kenapa?" Agra tersenyum sedikit, "Nggak apa-apa Bu, Agra ke kamar dulu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD