Bab 7. Kebingungan Santi

1020 Words
Reza merasa semakin terjepit. Setiap hari tekanan Arman semakin mendesaknya. Namun, Santi terus menolak dengan tegas tawaran yang diajukan Arman. Reza telah mencoba berbagai cara untuk meyakinkannya, tetapi setiap kali pembicaraan tentang hal itu muncul, Santi hanya semakin kecewa dan marah. “Mas, apa kamu sudah gila!” seru Santi dengan nada tinggi, matanya penuh amarah dan kesedihan. “Bagaimana mungkin kau, suamiku, bisa berpikir untuk menjual istri mu sendiri hanya demi uang dan kemewahan?!” Reza terdiam sejenak, menunduk, merasakan rasa bersalah yang menguasainya, namun ia tetap berusaha meyakinkan Santi. “Aku nggak bermaksud menjualmu, Santi,” katanya dengan suara bergetar. “Ini hanya sementara, hanya untuk keluar dari masalah ini. Setelah itu, kita bisa hidup lebih baik, tanpa masalah utang dan tekanan seperti sekarang.” Santi menatap Reza dengan tatapan tajam, penuh dengan kekecewaan. “Sementara? Apakah menurutmu hidupku bisa dibeli sementara waktu? Apakah menurutmu aku bisa melupakan martabat dan harga diriku sebagai seorang istri dan perempuan hanya demi uang? Mas, kau benar-benar sudah nggak waras! Kamu tega melakukan ini!” Reza merasa terluka oleh kata-kata Santi, tetapi ia tahu bahwa dalam posisinya, tidak banyak pilihan lain yang tersedia. “Aku hanya mencoba mencari jalan keluar, Santi,” kata Reza dengan nada putus asa. “Kita sudah hampir kehilangan segalanya. Jika aku nggak melakukan ini, kita akan diusir dari rumah, dan utang-utang itu akan terus menumpuk.” Santi memalingkan wajahnya, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku lebih baik kehilangan semuanya, Mas. Jika tahu seperti ini Aku lebih baik hidup di jalanan daripada harus menyerahkan diriku kepada pria lain hanya karena suamiku nggak bisa menjaga harga diri keluarganya.” Kata-kata Santi itu menghantam Reza seperti pukulan keras. Dalam hatinya, ia tahu Santi benar. Namun, di satu sisi, tekanan dari utang dan ancaman dari Arman membuatnya merasa tak berdaya. “Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi, Santi,” ujar Reza dengan suara yang mulai lirih. “Aku hanya nggak mau melihat kita hidup di jalanan. Aku nggak ingin kita kehilangan segalanya.” Santi menggelengkan kepalanya, menatap Reza dengan penuh kebencian dan rasa sakit. “Jika kamu nggak tahu harus berbuat apa, maka lakukan satu hal: berhentilah memaksa aku untuk melakukan sesuatu yang enggak bermoral dan menjijikkan ini! Aku nggak akan pernah setuju dengan tawaran Arman, dan aku nggak peduli berapa banyak kekayaan yang dia tawarkan. Aku lebih baik tetap miskin daripada harus menjalani hidup yang hancur seperti ini.” Reza merasa kalah, tidak tahu lagi bagaimana caranya mengubah pikiran Santi. Ia hanya bisa berharap waktu akan memberikan jawaban, sementara hatinya dipenuhi rasa bersalah yang semakin mendadak. Reza duduk di kursi ruang tamu dengan tubuh yang terasa lemas, kedua tangannya terangkat dan menutupi kepalanya. Rasa frustasi dan keputusasaan semakin menguasai dirinya. Pikirannya kacau, seolah tidak ada jalan keluar dari masalah yang semakin menghimpit. Ia menatap lantai tanpa fokus, memikirkan segala hal yang telah terjadi—hutang yang menumpuk, ancaman dari Arman, dan kini, kekecewaan Santi yang menyayat hati. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa sampai pada titik ini, memohon pada istrinya untuk menerima tawaran yang mengerikan hanya demi menyelamatkan hidup mereka. Di seberang ruangan, Santi duduk dengan wajah dingin, matanya merah karena menangis. Ia tak lagi bicara, hanya menghela napas panjang sambil menatap Reza dengan rasa kecewa yang begitu dalam. Di saat seperti ini, tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki keadaan. Reza menghela napas berat, kedua tangannya masih di atas kepala, mencoba mencari kekuatan dari suatu tempat. Namun, yang ia rasakan hanyalah kekosongan, seolah hidupnya tengah runtuh perlahan di depan matanya. Reza menundukkan kepalanya, suaranya terdengar begitu lirih dan penuh kepasrahan. “Jika kau benar-benar menolak tawaran Arman, aku nggak akan memaksamu lagi, Santi. Tapi kau harus tahu, itu berarti aku harus siap jika suatu saat Arman melapor ke polisi. Mungkin besok, atau lusa, aku akan ditangkap karena penggelapan dana. Dan saat itu terjadi, kita akan kehilangan segalanya .…” Santi yang semula keras dengan pendiriannya, tiba-tiba merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata Reza. Wajahnya seketika memucat. Pikirannya kacau memproses ancaman yang baru saja didengarnya. “Apa? Arman … akan melaporkanmu ke polisi?” suaranya bergetar, penuh dengan kecemasan. Reza mengangguk perlahan, masih dengan tangan di atas kepalanya. “Ya, dia bisa. Itu sebabnya aku terjebak, Santi. Bukan hanya soal uang. Ini sudah menyangkut masa depan kita. Jika aku masuk penjara, kau akan sendirian … dan kita akan kehilangan semuanya.” "Jika kamu tahu ia akan melaporkanmu ke Polisi, lalu kenapa kamu menerimanya. Kenapa kamu nggak menolak uang itu, Mas!" Nadanya semakin meninggi. "Aku nggak punya pilihan lain, Santi. Mungkin kalau aku menolaknya Bu Marni dan depkolektor itu akan terus kemari, bahkan mungkin sekarang kita sudah nggak akan tinggal di sini. Dan motor itu … motor itu pasti sudah mereka ambil." Reza menunjuk ke arah motornya "Tapi paling nggak kamu bisa bicarakan dulu padaku, Mas!" bentak Santi sambil menangis. Sambil mengusap wajahnya dengan kasar, dan langsung menoleh ke arah Santi yang duduk di sampingnya. "Bicara seperti apa, kita sudah nggak punya pilihan lain. Siapa yang mau memberikan kita pinjaman, sementara kamu tahu sendiri hutang kita sudah menumpuk di mana-mana." Kata-kata itu menghantam Santi seperti pukulan. Ia tidak pernah membayangkan Arman bisa bertindak sejauh itu. Pikiran tentang Reza ditangkap polisi membuat ketakutan baru menjalari tubuhnya. Meskipun Santi marah dan kecewa dengan suaminya, ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Reza, terlebih menghadapi dunia sendirian dengan semua masalah yang datang bertubi-tubi. "Kita nggak punya pilihan lain, Santi," ucapnya sambil memeluk Santi. "Aku tahu, aku salah. Tapi semua yang aku lakukan demi kebaikan kita, saat itu aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana lagi." Reza terus memeluk Santi yang menangis sesegukan. Santi terdiam, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ia bingung, di satu sisi ia merasa jijik dengan tawaran yang diajukan, namun di sisi lain, ancaman yang menghantui hidup mereka terasa begitu nyata. "Tapi aku nggak bisa menyetujui semua ini, Mas. Ini sangat berat untukku, nggak mungkin aku merelakan harga diriku begitu saja." Santi membenamkan wajahnya di pelukan Reza. Masalah yang datang bertubi-tubi benar-benar membuat Santi lelah. Terlebih sekarang ia harus memutuskan untuk memilih menyetujui atau menolak tawaran Arman. Bagaimana mungkin ia bisa menolak Arman jika ia harus melihat suaminya di penjara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD