Bab 11. Kedatangan Reza

956 Words
Reza berdiri canggung di depan Santi. Suasana tegang terlihat jelas di ruangan itu, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka berdua. Mata Santi menatap tajam ke arah Reza, sedangkan Reza hanya menatap ke bawah, menghindari kontak mata. Beberapa detik berlalu, dan masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri. Keheningan yang semakin terasa mencekam itu akhirnya dipecahkan oleh Santi. Dengan suara yang tegas namun datar, ia berkata, “Masuklah, Mas.” Reza mengangguk perlahan, langkahnya berat saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, namun lidahnya terasa kelu. Santi memalingkan wajahnya, seolah menolak untuk melihat suaminya yang dulu begitu ia cintai. “Kenapa kau ke sini, Mas?” tanya Santi akhirnya, memecah keheningan yang kembali melingkupi mereka. Pertanyaannya tajam, penuh dengan tekanan. Reza tak langsung menjawab. Ia merasa terpojok. Pandangannya melintas ke arah Santi, berharap menemukan sedikit harapan dalam tatapannya. Tapi yang ia temukan hanyalah kebekuan. Santi sudah berubah. Reza berdiri tegak, matanya berkilat dengan campuran emosi yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku hanya ingin tahu keadaanmu Santi."Reza terlihat begitu gugup. "Bagaimana kabarmu, Santi?" ucapnya, suaranya bergetar sedikit, meski ia mencoba untuk tetap tenang. Santi yang sejak tadi terlihat dingin, kini menatap Reza dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Aku baik-baik saja," jawabnya datar. Namun, sebelum Reza bisa merespons, Santi melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, "Aku sekarang sedang hamil." Seketika, dunia Reza seakan berhenti. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Hamil. Reza terdiam, dadanya terasa sesak. Ada kebahagiaan yang tak bisa ia pungkiri—sebuah perasaan hangat bahwa wanita yang pernah ia cintai akan menjadi seorang ibu. Namun, kebahagiaan itu dengan cepat tenggelam dalam kesadaran pahit bahwa anak yang dikandung Santi bukanlah anaknya, melainkan milik Arman. Reza akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan. "Syukurlah, kalau begitu perjanjian kita akan segera berakhir," katanya tegas, sambil menatap langsung ke arah Santi. "Kau bisa segera bercerai dari Arman dan kembali padaku, seperti yang sudah kita sepakati." Kata-kata itu membuat Santi terdiam sesaat. Seolah-olah waktu berhenti, dan di antara mereka berdua ada sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perjanjian. Santi menatap Reza. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyiratkan dilema besar. "Ya, benar," katanya akhirnya, mengangguk pelan, seolah mengiyakan apa yang baru saja dikatakan Reza. Namun, dalam hatinya, ada perasaan yang mulai tumbuh—perasaan yang tak sepenuhnya ia pahami. "Aku harap kamu bisa segera mempersiapkan proses perceraianmu dengan Arman sesegera mungkin, Santi," ucap Reza dengan penuh penekanan. "Iya, Mas. Tetapi aku minta waktu, paling nggak sampai anak ini lahir." Santi mulai mengusap perutnya yang mulai membesar. "Baik, aku akan menunggu sampai kamu melahirkan anak itu," jawab Reza dengan penuh keyakinan. Setelah beberapa waktu dalam keheningan yang terasa canggung, Reza akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Dia berdiri perlahan, seolah-olah masih ingin memperpanjang waktu di sana, namun tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. "Aku akan pulang sekarang," ucapnya singkat, menatap Santi dengan tatapan yang penuh makna, seolah berharap sesuatu dari dirinya. Namun, Santi hanya tersenyum tipis, tanpa memberikan jawaban yang jelas. "Baiklah," jawab Santi, suaranya tenang, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik sorot matanya. Reza merasa dadanya sesak saat berjalan menuju pintu keluar. Setiap langkahnya terasa berat, seakan meninggalkan Santi dan semua kenangan mereka bersama semakin sulit. Sesaat sebelum ia membuka pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah Santi, berharap ia akan mengatakan sesuatu. Namun, Santi tetap diam berdiri di depan pintu villa. "Jaga dirimu, Santi," ucap Reza pelan, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Santi hanya mengangguk pelan, lalu Reza keluar dari rumah itu, meninggalkan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Di balik wajahnya yang tegar, Reza tahu bahwa semuanya telah berubah—tidak hanya hubungan mereka, tetapi juga perasaan di dalam hatinya. Setelah pintu tertutup di belakangnya, Santi segera mengalihkan pandangannya pada jendela yang ada di sisi pintu. Santi memperhatikan Reza dari kejauhan." Maafkan aku, Mas," ucapnya lirih. Santi menunduk, merasakan beban berat dari kata-kata Reza tadi. Dia sudah tahu bahwa hidupnya kini terikat erat dengan keputusan yang diambil beberapa bulan lalu—menikah dengan Arman. Meski begitu, perkataan Reza barusan membuat hatinya terasa semakin terhimpit. Dia paham, kebebasan yang ia dambakan tidak akan datang dengan mudah, bahkan mungkin jauh dari jangkauannya sekarang. Santi mencoba menguatkan diri, lalu berkata dengan pelan, "Aku pasti bisa melewati semua ini, aku yakin semua ini pasti akan segera berakhri." Namun, dalam hatinya, perasaan campur aduk semakin membesar. Apakah ini kehidupan yang dia inginkan? Apakah keputusan ini benar-benar akan membawanya pada kebahagiaan, atau justru sebaliknya? Santi hanya bisa mengusap perutnya yang masih rata, seolah mencari kekuatan dari kehidupan yang baru mulai tumbuh di dalam dirinya. Meskipun belum terlihat, kehadiran janin itu menjadi pengingat bahwa hidupnya kini terikat pada Arman lebih dari sekadar hubungan suami istri. Ada banyak hal yang dipertaruhkan, terutama masa depan anak yang belum ia lihat tetapi sudah mengubah jalannya hidup. "Aku harus bertahan, paling nggak sampai anak ini lahir," ucap Santi lirih. Pikirannya melayang pada masa lalunya bersama Reza. Hubungan mereka yang dulu penuh cinta kini hanya meninggalkan jejak kesedihan dan kebingungan. Santi bertanya-tanya, apakah Reza benar-benar masih menginginkannya kembali seperti yang ia katakan tadi? Dan jika ya, apakah perasaan itu cukup kuat untuk mengatasi segala kekacauan yang sudah terjadi? Tapi kini, perutnya—meskipun masih belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan—menjadi simbol dari babak baru dalam hidupnya. Babak yang tidak lagi sederhana. Santi tahu, setiap langkah ke depan akan diiringi dengan keputusan sulit. Dengan perutnya yang masih rata, ia merasa seolah sedang berdiri di tepi jurang, tidak tahu kapan harus melangkah, atau ke arah mana ia harus pergi. Perlahan, air mata mulai menggenang di sudut matanya, tetapi ia menahannya. Tidak ada ruang untuk kelemahan, tidak sekarang. Di hadapan Arman, ia harus tetap kuat, meskipun di dalam hatinya, perasaannya begitu rapuh dan penuh ketidakpastian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD