Perbedaan jelas terlihat saat Arman berada di sisi Santi. Di hadapan Santi, Arman menjadi sosok yang lembut dan hangat, jauh berbeda dari sikap dinginnya saat bersikap kepada Lestari. Dia selalu memperhatikan kesehatan Santi dan anak yang ada di dalam kandungannya. Setiap hari, Arman memastikan Santi mendapatkan makanan bergizi dan menjalani gaya hidup sehat demi keselamatan sang bayi.
Suatu pagi yang cerah, Arman dan Santi duduk di halaman depan villa, menikmati kopi hangat sambil menikmati pemandangan indah pegunungan di sekitar mereka. Suara burung berkicau dan hembusan angin sepoi-sepoi menambah suasana nyaman. Momen kebersamaan ini terasa hangat, penuh tawa dan perbincangan yang mengalir dengan alami.
"Silahkan di minum, Mas. Hari ini aku sengaja membuatkan kopi kesukaanmu," ucap Santi sambil memberikan cangkir berisi kopi kepada Arman.
"Terima kasih, Santi." ucap Arman yang langsung menerima cangkir tersebut. Arman segera meneguk kopi buatan Santi. "Rasanya enak sekali, kamu benar-benar pintar menyenangkan hatiku."
"Terima kasih, Mas." Santi tersenyum kecil.
Arman segera meletakkan cangkir yang ada di tangannya. Tatapannya kini tertuju pada Santi yang terlihat murung.
"Santi, kamu kenapa? Apa kamu merasa mual, atau mungkin kamu nggak enak badan?" tanya Arman dengan penuh kekhawatiran.
"Enggak, Mas. A-aku, aku hanya ingin menanyakan sesuatu padamu." Wajahnya langsung berubah gugup.
Sambil memegang tangan Santi. "Apa? Tanyakan saja, aku janji akan menjawabnya dengan jujur."
Santi menatap Arman dengan penuh rasa ingin tahu. Dia merasa ada yang belum terungkap antara mereka. “Mas,” katanya pelan, “apakah kamu sudah memberitahu Lestari tentang hubungan kita?”
Arman menggeleng. “Belum. Aku masih mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semua ini padanya,” jawab Arman dengan nada tenang. Namun, Santi merasakan ada keraguan di balik jawaban itu.
Wajah Santi sedikit kecewa. “Kamu tahu kan, ini nggak akan mudah. Semakin lama kita menyimpan rahasia ini, semakin rumit keadaan kita nanti,” katanya, suaranya bergetar.
“Aku tahu, Santi. Tapi saat ini, yang terpenting adalah kesehatanmu dan bayi kita. Aku berjanji, begitu saatnya tiba, aku akan memberi tahu Lestari,” jawab Arman, mencoba meyakinkan Santi.
Namun, Santi tidak bisa menghilangkan rasa khawatir di hatinya. “Apa yang akan dia katakan? Apakah dia akan marah? Atau bahkan membencimu?” tanyanya.
Arman mengusap lembut punggung tangan Santi, memberikan rasa nyaman. “Aku akan menghadapi konsekuensinya, Santi. Yang terpenting adalah kita harus siap dengan keputusan ini,” ujarnya.
Perasaan yang tak biasa mulai merayap masuk ke dalam hati mereka. Dari sekadar hubungan yang dibangun atas kesepakatan, kini terasa ada sesuatu yang lebih mendalam. Kebersamaan yang mereka jalani selama ini telah menciptakan benang merah di antara mereka, mengikat mereka dalam cinta yang perlahan tumbuh di tengah keadaan yang rumit.
Arman yang tidak mau Santi semakin larut dalam permasalahan yang ada segera mengalihkan pembicaraan mereka. Arman berusaha menceritakan kejadian-kejadian lucu yang pernah ia alami kepada Santi. Semua itu ia lakukan agar Santi melupakan permasalahan yang mereka hadapi selama ini.
Kemesraan tercipta di antara mereka pagi itu. Santi tertawa mendengar lelucon Arman, dan Arman tersenyum melihat keceriaan di wajah Santi. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengamati mereka dari kejauhan.
Dari balik pepohonan, seseorang berdiri, menyaksikan Arman dan Santi. Tatapan mata itu seakan tersirat rasa cemburu dan sakit hati yang begitu dalam.
Sambil terus mengawasi mereka, sosok tersebut merasakan kemarahan yang mulai menyala. Dia tidak bisa tinggal diam melihat kebahagiaan yang ditunjukkan Arman dan Santi. “Aku akan membuktikan bahwa aku nggak akan membiarkan semua ini terjadi,” ujarnya dengan tekad.
Ketika Arman dan Santi semakin terlarut dalam perbincangan mereka, sosok tersebut terlihat mengambil beberapa gambar sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menjauh dari tempat itu.
Tidak berapa lama Arman mengajak Santi masuk ke dalam villa. Arman memutuskan untuk menikmati hubungan yang lebih intim di dalam kamar mereka.
“Kamu tahu, Santi,” Arman berkata, “setiap kali aku bersamamu, aku merasa lebih hidup. Kehadiranmu membawa warna baru dalam hidupku.”
Santi menatap Arman dengan lembut, merasakan kehangatan dari kata-katanya. “Aku juga merasakannya, Mas. Meski situasinya sulit, aku nggak bisa menafikan bahwa aku bahagia bersamamu,” jawab Santi, suaranya bergetar.
Arman yang sudah menahan gejolak di dirinya, segera melumat bibir Santi dengan rakus. Pergumulan kali ini terasa berbeda dari sebelumnya, pasalnya Santi yang awalnya menolak, kini mulai menikmati setiap sentuhan Arman.
Arman terus melahap bibir mungil Santi seolah ia mampu menghabiskannya. Sementara Santi dengan berusaha mengimbangi setiap perlakuan Arman, perlahan ia mulai membuka satu persatu pakaian Arman.
setelah puas menikmati bibir mungil Santi, lumatan Arman kini berpindah ke area kenyal yang ada di d**a Santi. Desahan dan rintihan terdengar menggema di seluruh ruangan yang sepi itu.
"Kamu memang pandai memuaskanku, Santi." Arman berbisik di telinga Santi.
"Aahh!" Jeritan kecil langsung terdengar saat Arman mulai membuka kedua kaki Santi dengan lebar. Dengan cukup kuat, Arman langsung menusukkan sebuah benda ke tubuh Santi.
Siang yang panas hari itu menjadi titik awal tumbuhnya cinta antara Santi dan Arman. Sebuah hubungan yang awalnya dimulai dari sebuah perjanjian, kini justru menjadi sebuah perasaan cinta di antara mereka.
Arman terus mempermainkan Santi yang ada di bawahnya dengan sangat liar. Ia seolah tidak membiarkan wanita itu bernafas. Lima menit berlalu, keduanya akhirnya mencapai puncak kenikmatan. Senyum indah terukir di wajah Santi saat sebuah cairan menembus dinding Rahimnya.
"Kamu benar-benar mampu membahagiakanku, Santi." Arman segera mengecup kening Santi sebelum ia berbaring di samping Santi.
"Aku menyayangimu, Mas." Santi mengusap wajah Arman dan langsung memeluk tubuh kekar yang berbaring di sampingnya itu. Hingga akhirnya keduanya tertidur.
***
"Kamu mau kemana, Mas?" tanya Santi yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Aku harus pulang, sepertinya Lestari membutuhkanku," ucap Arman yang sibuk dengan kancing bajunya.
Santi yang terkejut langsung duduk di tempat tidur dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya yang tanpa busana.
"Memang apa yang terjadi pada Lestari?" tanya Santi dengan suara cemas.
"Aku nggak tahu, tapi yang pasti aku harus segera pulang." Arman langsung berjalan ke arah Santi. "Aku akan segera kembali," ucap Arman yang langsung mencium kening Santi.
"Iya, kamu hati-hati ya, Mas." Santi memperhatikan punggung Arman yang mulai berjalan keluar dari kamarnya.
"Semoga nggak terjadi apa-apa dengan Lestari," ucap Santi lirih.