Bab 15. Masa Kehamilan

996 Words
Setelah beberapa saat, Arman perlahan melepaskan pelukannya. Ia menatap Santi dengan senyum tipis dan berkata, "Sekarang kamu harus makan. Pastikan kamu menjaga kesehatanmu, terutama dengan kondisi kamu sekarang." Santi hanya mengangguk pelan, tanpa banyak kata. Arman pun segera melangkah keluar kamar, meninggalkan Santi yang masih duduk di tempat tidurnya. Setelah keluar dari villa, Arman mengambil ponsel dari saku jasnya dan dengan cepat menghubungi Lestari, istrinya. "Halo, Sayang," suara Lestari terdengar di ujung telepon. Arman menarik napas dalam sebelum berbicara, mencoba terdengar sesantai mungkin. "Maaf, Sayang, malam ini aku tidak bisa pulang. Ada urusan mendadak di kantor, dan aku harus keluar kota untuk beberapa hari." Di seberang telepon, Lestari terdengar sedikit kecewa, tapi dia hanya menjawab dengan pelan, "Baiklah, Mas. Hati-hati di jalan, ya. Kalau ada apa-apa, kabari aku." Arman mengangguk meski tahu istrinya tak bisa melihatnya. "Tentu, jangan khawatir. Aku akan mengabarimu kalau sudah selesai," jawab Arman, mencoba menenangkan perasaan Lestari. Setelah menutup telepon, dia menyimpan ponselnya kembali ke saku, lalu berdiri sejenak di luar villa, menatap langit malam dengan pikiran yang berputar-putar. Hidupnya yang penuh rahasia kini semakin rumit, dan ia tahu bahwa apa yang ia lakukan bukan tanpa konsekuensi. Namun, Arman tetap yakin bahwa inilah jalan yang telah ia pilih, meskipun harus menyakiti hati Lestari di belakangnya. Setelah beberapa saat di luar, Arman kembali masuk ke dalam kamar. Pandangannya langsung tertuju pada Santi yang masih berbaring di tempat tidur, terlihat lelah dan lesu. Piring makanan yang ia bawa tadi pagi masih utuh, tak tersentuh sedikit pun. Arman merasa khawatir, tapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Ia mendekati Santi dengan langkah tenang, lalu duduk di sisi tempat tidur. "Santi, kamu harus makan," ucapnya dengan suara lembut. "Aku tahu kamu sedang tidak enak hati, tapi kamu butuh makan untuk menjaga kesehatanmu, apalagi sekarang kamu sedang hamil." Santi tidak bergerak, pandangannya masih terpaku pada dinding kamar. Ia merasa hampa, seolah terjebak di antara kenyataan yang pahit dan masa depan yang tak jelas. Namun, suara Arman terus mengusiknya. "Santi, tolong, aku ingin kamu kuat," lanjut Arman, kali ini suaranya lebih memohon. "Aku ada di sini untukmu. Setidaknya, lakukan ini untuk calon anak kita." Perlahan, Santi menoleh ke arah Arman. Tatapannya kosong, namun ada sesuatu dalam cara Arman berbicara yang membuatnya tersentuh, meski hanya sedikit. Dengan gerakan lemah, ia akhirnya duduk di tempat tidur, menatap makanan di hadapannya. Arman tersenyum tipis, merasa ada sedikit harapan. "Terima kasih, Santi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku peduli." Ia menyerahkan piring itu dengan hati-hati, dan Santi mulai memegang sendoknya, meskipun masih dengan ragu. Keesokan paginya, Arman bangun lebih awal dari Santi. Dengan langkah hati-hati, ia meninggalkan kamar agar tidak mengganggu istrinya yang masih tertidur lelap. Setelah memastikan Santi baik-baik saja, Arman menuju dapur untuk menemui Bi Ijah. "Bi," panggil Arman dengan nada rendah, namun serius. "Saya mau minta tolong, mulai hari ini perhatikan setiap makanan yang dimakan Santi. Pastikan dia mendapat gizi yang cukup." Bi Ijah mengangguk cepat, memahami betul perintah dari majikannya. "Iya, Pak. Jangan khawatir, saya akan jaga dan pastikan semua makanannya sehat. Saya juga akan buatkan jus dan sayuran segar setiap hari." Arman tersenyum, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Bi. Saya sangat mengandalkan Ibu untuk menjaga Santi, terutama sekarang, kondisinya tidak biasa." Bi Ijah hanya tersenyum simpul, mengerti apa yang dimaksud oleh Arman. "Jangan khawatir, Pak Arman. Saya akan rawat Ibu Santi dengan baik." Arman menghela napas panjang, sebelum pamit untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum pergi, ia menatap ke arah villa, memastikan semuanya tertata dengan baik. Perasaannya bercampur aduk antara rasa tanggung jawab dan kekhawatiran yang kini lebih besar daripada sebelumnya, terutama dengan kondisi kehamilan Santi. Di meja kerjanya, Reza duduk terdiam, pikirannya berputar-putar. Setelah mendengar kabar bahwa Santi sedang mengandung, ada satu hal yang terus terlintas di benaknya: sembilan bulan lagi, Santi akan kembali padanya. "Sembilan bulan... hanya sembilan bulan lagi," gumamnya pelan. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan berpikir bahwa kesepakatan dengan Arman tidak akan berlangsung selamanya. Setelah bayi itu lahir, Santi bisa kembali ke kehidupannya bersama Reza, dan mungkin semua akan berjalan seperti semula. Namun, di balik pemikiran itu, Reza tahu jauh di dalam hatinya bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi. Meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya sementara, kenyataan bahwa Santi telah menjalani kehidupan lain bersama Arman terus menghantui pikirannya. Reza menghela napas panjang. "Aku harus sabar... Ini demi masa depan kami," bisiknya pada dirinya sendiri. Tapi ada rasa pahit yang tetap tinggal di hatinya, sebuah ketakutan bahwa ketika waktunya tiba, Santi mungkin tidak lagi menjadi miliknya, baik secara hati maupun jiwa. *** Setelah seharian bekerja di kantor, Arman segera kembali ke villa. Beberapa jam kemudian, ia tiba di sana dengan perasaan tidak tenang, memikirkan kondisi Santi yang sedang mengandung. Saat ia masuk ke dalam villa, Bi Ijah yang menyambutnya tampak gelisah. “Pak Arman, saya khawatir sekali,” ucap Bi Ijah dengan nada cemas. “Seharian ini Santi tidak mau makan. Dia muntah terus-menerus. Saya sudah coba memberinya makanan yang ringan, tapi tetap saja tak ada yang masuk.” Mendengar kabar itu, Arman langsung merasakan jantungnya berdetak kencang. Rasa khawatir meliputi dirinya. Ia tahu bahwa kondisi Santi sangat penting, terutama karena ia sedang mengandung. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju kamar Santi, tanpa sempat menanggapi lebih banyak kata-kata Bi Ijah. Begitu sampai di kamar, Arman melihat Santi berbaring lemah di atas tempat tidur. Wajahnya tampak pucat, dan ekspresinya menunjukkan kelelahan. Arman mendekat, duduk di sisi tempat tidur, menatap Santi dengan penuh perhatian. "Santi," panggil Arman pelan, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa kamu nggak mau makan? Kamu harus menjaga kesehatanmu, juga kesehatan bayi kita." Santi hanya menggelengkan kepala lemah, matanya setengah tertutup. "Aku mual ... setiap kali mencoba makan, aku muntah lagi," jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar. Arman merasa putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Aku akan memanggil dokter lagi. Kamu harus diperiksa lebih lanjut." Santi hanya mengangguk lemah. Arman segera bangkit dari tempatnya, mengambil ponselnya dan menghubungi dokter. Sambil menunggu, ia terus berada di sisi Santi, memegang tangannya dengan lembut, berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD