THOTC – DUA

1222 Words
Seorang wanita terus saja melangkah hilir mudik di ruang tamu rumahnya yang tertata rapi. Di belakangnya, ada seorang anak kecil dengan wajah serius yang memandanginya di balik kacamata tebalnya, sambil masih asyik memainkan salah satu rubicon koleksinya. “Abang kamu ke mana sih Niel. Jam segini kok belum pulang, nggak ngabarin, nggak bisa dihubungin juga.” “Main.” Si wanita nyaris mendelik mendengar jawaban anak bungsunya. Punya dua anak laki – laki yang bagaikan copy paste ini melegakan sekaligus membuatnya gemas. Dia dan suaminya sering sekali berselisih pendapat tentang cara mendidik anak yang baik dan benar. Menurut suaminya, cara mendidiknya agak terlalu overprotektif dan tidak cocok diterapkan untuk anak laki – laki. Suaminya sendiri adalah seorang pilot. Amat jarang sekali dia berada di rumah. Dan satu – satunya pembelaannya adalah dia sendiri yang mengurus anak – anak di rumah. Dia yang tahu pergaulan di luar seperti apa dan dia tidak ingin salah satu anaknya terjerumus pada pergaulan bebas yag sekarang marak di lingkungan mereka. “Kan biasanya Abang kalau main nggak sampai malam. Kalau mau main malam kan hubungin Mama dulu.” “Kan Abang udah gede. Abang nggak takut gelap kaya Niel. Kalau udah selesai main pasti pulang. Kan Mama yang bilang gitu sama Niel.” Skak Mat. Dia tak bisa berkata – kata. Hanya mulutnya saja terbuka dan tertutup karena shock. Dia tahu kedua putranya memiliki kecerdasan di atas rata – rata anak seumuran mereka. Hanya saja dia tak pernah membayangkan kalau kalimat yang dulu sering dia gunakan pada Niel kalau sedang bandel akan dikembalikan padanya dengan telak begini. Dulu: “Niel kalau main, kalau udah mataharinya ilang, itu pulang. Jangan nunggu Mama jemput sambil ngomel – ngomel nyariin Niel di mana. Lihat tuh Abang. Jam empat sudah di rumah. Udah mau mandi. Udah bersih. Abang tuh, kalau selesai Main pasti inget pulang, nggak kaya Niel yang malah main lagi ke tempat lain. Kalau keburu gelap gimana? Niel udah nggak takut gelap?” Sekarang: “Abang nggak takut gelap kaya Niel. Kalau udah selesai main pasti pulang. Kan Mama yang bilang gitu sama Niel.” 1 – 0 untuk Niel. Sejenak dia ingin terbahak, lupa bahwa salah satu anaknya hingga jam segini belum bisa dihubungi. “Apa Mama telpon Papa ya, Niel?” “Emangnya Papa bisa bantu cari Abang? Mending kita makan dulu, Ma. Niel udah laper loh.” *** Sementara itu, Neo yang masih harus terbaring di rumah sakit sekarang juga sedang bingung bagaimana caranya menghubungi Mamanya. Mamanya adalah tipikal Mama yang panikan. Gas habis di tengah – tengah memasak, habis. Ada lampu yang tau – tau mati di malam hari, panik. Papanya bilang mau pulang siang sekitar jam dua siang, jam dua siang lewat tiga menit Papanya belum datang panik. Sekarang, hanya tinggal temannya Dave dan juga Helena yang masih berada di kamar rawatnya. Jam besuk sudah habis, dan karena mereka super berisik, mereka harus pulang. Neo malah ingin sekali ditinggalkan sendirian. Dia sedang ingin menjadi dirinya yang lain sekarang. Bukan Neo si Party Hooker, tapi Neo si Nerd. “Neo makan ya, Elen suapin. Kan harus minum obat Neo nya.” Helena lagi – lagi membujuk. Membuatnya menoleh pada gadis itu sekilas. “Iya. Lo taro aja di situ ntar gue makan sendiri.” “Elen suapin.” “Gue nggak lumpuh, Len. Gue Cuma abis kecebur. Lo taro aja di situ, ntar gue makan kok.” Dia mengabaikan tatapan terluka Helena dan juga tatapan menegur yang diberikan Dave padanya. Dia nggak bermaksud buat membentak atau terdengar kasar. Dia tadi dia udah jawab baik – baik loh. Salah sendiri Helenanya maksa. Dia lagi pusing nih gimana caranya menghubungi Mamanya. Tau pinjem ponsel temennya. Tapi nomor Mamanya… dia nggak ingat. Dan circle pertemanannya yang ini, nggak ada yang tau nomor Mamanya tentu saja. Dia saja merahasiakan dimana dia tinggal dari teman – temannya. Dia nggak mau sampai mendadak temannya datang ke rumahnya dan membuat Mamanya jantungan karena penampilan mereka yang jauh dari kata rapi. “Bro.” Dia memanggil Dave. “Yap?” “Boleh minta kertas sama bolpoint nggak? Please?” “Buat?” Cowok yang dari tadi tiduran di sofa dan sibuk dengan ponselnya, mukin sedang kosplay jadi sofa biar nggak dikira mengganggu mereka. “Please?” “Biar Elen yang ambilin.” Dave langsung bangkit. “Nggak usah, Len. Gue aja. Lo tememin Neo aja.” Neo mendesah lega. Walaupun Dave agak kepakasa. Yang penting mala mini dia bisa menghubungi Mamanya terlebih dulu. Dave balik lagi ke ruangannya nggak lama kemudian membawa beberapa lembar kertas dan bolpoint, lalu menyerahkannya pada Neo. Pemuda itu bangkit dari tidurannya, Ellen dengan sigap membantunya menaikkan ranjang rumah sakit menjadi delapan puluh derajat dan mendekatkan meja seret yang awalnya masih di di kaki ranjang pada Neo. “Thanks.” Elen tersenyum manis. Lagi – lagi Dave sudah rebahan di sofa. Kembali pada peran awalnya menjadi cosplay bantal sofa atau mungkin sofanya sendiri. “Neo mau nulis apa? Mau Elen tulisin?” Dia menggeleng cepat – cepat. “Gue bisa sendiri.” “Udah nggak sakit?” “Udah nggak papa.” “Jangan lupa dimakan.” Elen menunjuk makan malamnya yang ada di atas meja nakas di samping ranjangnya. “Minum obat juga biar cepat sembuh.” Aslinya Neo sudah merasa sehat. Selain pusing dan sedikit lemas, dia sudah merasa bahwa dia sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. Tapi kalau dokternya belum menganjurkan untuk pulang, dia bisa apa. Jadi dia hanya mengangguk saja pada petunjuk Helena. Dia perlu gadis itu untuk diam. Sebentar saja, sampai dia bisa menyelesaikan surat yang akan dia tulis untuk Mamanya. Neo bukan tak tahu kalau gadis cantik bermata bulat cantik dan wajah inosen seperti malaikat ini memiliki perasaan khusus padanya. Semua teman satu circlenya juga tahu. Tentu saja bukan Neo yang mengumbar. Dia bukan cowok seperti itu. Tapi mereka belum ada ikatan apapun. Neo bisa bersikap baik dan sopan pada siapapun kalau dia mau. Tapi dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan Helena. Selain itu, sisi arogannya yakin bahwa dia bisa mendapatkan yang lebih unggul daripada Helena. Dia menuliskan pesan singkat pada Mamanya. Mengabarkan bahwa dia baik – baik saja, tapi ponselnya tercebur laut. Dan saat ini dia masih bersama teman – temannya dan kemungkinan tidak akan pulang malam ini. Meminta Mamanya untuk tidak khawatir. “Kalian nggak mau keluar makan?” Dia bertanya sambil melipat suratnya. Dave menoleh cepat mendengar kata makan. Sepertinya dia lapar. Dan mungkin itu juga alasan dia jadi badmood sekarang. “Nanti nggak ada yang jaga Neo.” Jawaban Helena membuat Dave kembali membanting kepalanya di sofa dan mkembali sok sibuk dengan ponselnya. “Gue udah nggak papa. Kalian makan aja dulu. Gue sekalian mau nitip sesuatu sama Dave.” Kepala yang rebah di sofa itu kiembali menoleh, menatapnya dengan pandangan bertanya. Neo memberinya isyarat untuk mendekat.“ Len, boleh lo keluar dulu? Ada yang mau gue bicarain sama Dave bentar.” Helena menatap kaget padanya, lalu menatap Dave dengan pandangan memicing yang dibalas dengan kedikan bahu oleh Dave. “Urusan cowok. Bisa sih, sebenernya gue minta tolong lo. Tapi gue kuatir lo malah malu dan terbebani.” “O-oh! Okay. I’ll leave you two alone.” Mereka berdua memandangi pintu yang barusan di lewati Helena. Taka da satupun yang membuka mulut hingga beberapa saat lamanya. “Bro, gue minta tolong lo buat mampir ke rumah gue,”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD