BAB 5

1554 Words
**** Aku duduk diam di dalam taksi agar bisa melihat mobil mas Roy masuk melalui pintu utama hotel Lexus. Hotel bintang tiga yang berada di pinggir jalan dan cukup ramai ternyata. Aku mengangguk saat aku melihat mobil itu masuk basement, tanganku meremas ponsel yang aku genggam yang di layarnya menampilkan foto sebuah kartu parkir vip Lexus Hotel. "Ternyata disini tempatnya. Aku penasaran siapa wanita itu," gumamku. Mataku sangat jeli sampai-sampai aku menahannya untuk tidak berkedip agar aku tidak melewatkan satu orang pun yang mungkin aku kenal masuk ke hotel ini. Jika memang meeting benar di adakan disini, aku mungkin akan mengenali satu atau dua orang dari perusahaan mas Roy yang akan hadir atau mungkin aku bisa melihat Daniel atau Leon. Tujuh menit menuju jam dua dan ponselku berdering. Ada nama suamiku disana. Aku membasahi tenggorokanku dengan air liur sebelum aku menjawab panggilan itu. "Iya, Sayang? Udah sampai?" "Hmm, baru saja. Kamu?" "Bentar lagi. Aku singgah di mini market tadi," jawabku sambil memberi isyarat pada supir taksi agar diam. Pria tua itu menatapku dari kaca spion saat aku berkata singgah di mini market. "Baiklah. Sudah ya. Pak Daniel dan pak Leon sudah tiba." Sambungan telepon langsung di putuskan tapi aku sempat mendengar ada nada dering ponsel lain. Apa benar teman teman meetingnya sudah sampai? Saat aku hendak menyimpan ponsel ke tas, aku melihat seseorang keluar terburu-buru dari taksi yang barusan berhenti di depan kami. Dan sedang bicara di telepon sambil berjalan cepat ke pelataran hotel. Aku mengerutkan keningku ketika aku melihat dengan jelas wajah itu. "Lizzy?" Aku seorang penulis n****+ dan tiba-tiba kejadian ini seperti sebuah plot dalam satu cerita. Apa suamiku berselingkuh dengan sahabatku dan mereka treat me like a fool? Apalagi Lizzy, aku sudah menceritakan padanya kegelisahan dan kecurigaanku, apa dia berpura-pura simpati padaku? Oh my godness. Aku langsung mendial kontak Lizzy yang sekarang sepertinya sudah selesai menelepon dan aku melihat dia hanya menoleh pada ponsel yang dia genggam sambil berjalan cepat ke arah hotel. Dia tidak menggubris panggilanku walaupun dia tidak sedang bertelepon lagi. Aku mendengus dengan perasaan penuh kesakitan. Hatiku seperti di tusuk oleh ribuan jarum ketika aku memikirkan dua orang itu. Apa Lizzy setega itu? Bukan kah aku sudah menceritakan padanya suamiku berselingkuh dan dia seolah-olah mendukungku untuk mencari tahu siapa perempuan itu. Ternyata benar, musuh utama kita selain diri sendiri adalah orang-orang terdekat kita. "Jalan, Pak!" Aku bicara dengan pelan dan suara bergetar. Thanks to pak driver karena tidak kepo menanyakan apa yang terjadi denganku walaupun sudah jelas dia mengerti untuk apa aku disini. Dia mendengar aku dan mulai menjalankan mobil menjauhi hotel. Baru berjarak dua meter, sebuah taksi berhenti tepat di bekas kami parkir tadi dan aku bisa melihat seorang perempuan bertubuh langsing keluar dari taksi tersebut dengan pakaian yang skin tight. Dia memoles wajahnya dengan make up tebal dan sangat cocok untuknya. Tapi aku mengabaikannya karena pikiranku kacau. Aku tidak berniat menanya untuk apa dia kesana, pokoknya aku tidak mau tahu lagi tentang apapun lagi setelah aku melihat temanku Lizzy masuk terburu-buru kesana. **** Aku melemparkan bokongku ke sofa empuk di ruang kerjaku. Aku melihat lemari hias tanpa kaca yang ada di belakang meja kerjaku. Ada sebaris buku disana dengan berbagai judul. Sebagian itu adalah novelku yang sudah di cetak dan n****+ karangan penulis lain yang menarik menurutku. Di bawah raknya, ada beberapa bingkai kecil. Poto semasa pacaran dengan mas Roy, poto dengan mamaku dan juga kakak kakakku, dan juga fotoku bersama sahabatku sewaktu kuliah hingga kerja. Salah satunya adalah Lizzy. Aku tersenyum miris pada kesimpulan yang aku ambil setelah melihat mas Roy dan Lizzy di tempat yang sama di waktu yang sama. "Teganya kalian!" gumamku seraya menatap foto yang penuh dengan senyuman itu. Berarti benar, dinding pemisah kebencian dan cinta itu sangat tipis dan rapuh. Lihat saja Lizzy, dia sangat tidak menyukai mas Roy dan mengatakan hal yang tidak tidak mengenai suamiku padaku sejak aku memperkenalkan mas Roy sebagai pacarku dulu. Bencinya ternyata tidak berakar, buktinya sekarang mereka sedang bersama di sebuah hotel. "Baiklah para badjingan. Aku akan menangkap kalian dengan tanganku sendiri. Jangan panggil aku Romauli Mentari kalau aku tidak bisa membuktikan hubungan gelap kalian ini. Aku akan mempermalukan kalian suatu saat nanti sebagai balasan pengkhianatan kalian." Aku berdiri dan menepuk bokongku. Abu yang menempel aku anggap sebagai kotoran layaknya mas Roy dan Lizzy sahabatku. "War start here. Be ready bastard!" . . Walau aku gelisah dan pikiranku sedang kacau. Aku tetap berusaha untuk berdiri tegak dan sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa dua orang ini akan aku buat malu semalu malunya suatu hari nanti. Tidak peduli sekaya apapun Lizzy dan sekuat apapun backingannya aku harus membongkar perangai buruknya di depan semua orang terutama di depan orang tuanya. Aku akan membuat hubungannya yang tidak harmonis semakin berantakan lalu aku akan bergabung dengan orang tua atau kakak laki-lakinya untuk menghancurkannya berikut bisnisnya. Perang ini sangat menyenangkan. Aku tersenyum simpul seraya menatap jam dan seolah-olah menghitung setiap lompatan jarum detiknya. "Aku cerita tentang creamy pvssy, ternyata itu adalah kau. Apa kau tidak malu?" Aku sedang membayangkan adegan panas antara suami dan sahabatku itu. Anjirr! Pasti menyenangkan dan menggairahkan. "Dasar perempuan !blis" Untuk menjernihkan pikiranku, aku meditasi di ruanganku selama tiga puluh menit, memutar lagu-lagu yang cocok untuk healing. Setelahnya aku bergegas ke dapur menyiapkan makan malam kami yang mungkin hanya aku yang akan makan. Sambil memasak, sesekali aku men-cek ponsel. Apakah ada pesan atau panggilan yang aku lewatkan dari Lizzy. Aku tertawa dengan dengusan kecil ketika melihat waktu terakhir aktif mereka di aplikasi hijau dan itu hanya beda sepuluh menit. "Hahaha, kalian berdua pasti sedang senang senang sekarang, kan?" Aku tertawa hambar di dapur sendirian. Meditasiku selama tiga puluh menit ternyata sia-sia. Pikiranku masih saja tertuju pada dua orang itu bahkan sekarang aku sedang menebak gaya apa yang sedang mereka lakonkan untuk mencapai kenikmatan itu. Sekeras apapun aku mencoba tetap saja bayang bayang mereka sedang b******u menari-nari di pelupuk mataku. "Oh Tuhan, please!" Aku melemparkan pisau yang aku gunakan mengiris sayuran hingga berdenting keras. Aku melihat sayuran buncis yang baru saja aku potong beberapa biji dan bahan dapur lainnya yang sudah aku keluarkan dari kulkas tadi. Marah pada situasi dan takdir yang aku jalani, aku menyapu semua yang ada di depanku itu dengan tanganku hingga berserak di lantai. Aku menggigit gigiku sendiri karena geram tiba-tiba lalu aku menginjak-injak semuanya sambil mengumpat. Menumpahkan segala yang aku tahan tadi dan memaki pria bernama Roy David itu. "Dasar laki-laki tidak tahu di untung. Aku mendukungmu dan mensupport karirmu tapi ini balasanmu padaku, jah4nam." Aku seperti orang gila kesetanan di dapur kami. Untung saja kami tidak menggunakan jasa orang lain untuk bantu bantu di rumah sehingga tidak akan ada orang yang melihat keadaanku sekarang. Jarak rumah ini ke rumah tetangga juga tidak begitu rapat jadi masih aman. Aku meninggalkan dapur yang berantakan itu dan mencoba masuk ke ruang kerja suamiku untuk mencari bukti-bukti lain yang selama ini aku lewatkan. Ruangannya rapi tipikal mas Roy. Dia memang tidak hobi mengoleksi barang barang yang dia kira tidak ada kaitannya dengan pekerjaannya. Satu per satu laci di meja kerjanya aku buka dan buku notes yang ada di dalam aku periksa juga. Aku menyeringai kala melihat struk p********n terselip di buku itu dan dari tanggalnya itu sudah lama. Itu struk p********n ke sebuah toko bunga ternama. Wait, tanggal berapa ini? Mataku memerah menahan tangis karena itu tanggal satu hari sebelum tanggal ulang tahun Lizzy enam bulan yang lalu. Aku sangat ingat, perayaan ulang tahunnya tahun ini kami lewatkan karena dia bilang dia akan merayakannya dengan orang terdekatnya. "Orang spesial yang kamu bilang itu adalah suamiku, Lizzy!" teriakku penuh amarah hingga suaraku menggema di ruang kerja mas Roy. Kerongkonganku sepertinya robek dan tanganku sampai bergetar. Aku membuka beberapa lembar lagi dan aku melihat tiket bioskop dan bill sebuah restoran mewah di Jakarta dengan tanggal terbit yang sama. Sepertinya setelah makan malam, mereka pergi menonton. "Kurang ajar, aku bahkan tidak pernah memintamu membawaku makan disana karena aku takut aku terlalu memaksamu dan takut kantongmu tidak cukup tebal masuk disana. Ternyata kamu membawa orang lain kesana, badjingan g!la. Hebat!" lanjutku lagi kali ini dengan menggumam tapi sungguh sangat geram. Walau mas Roy punya jabatan yang lumayan di perusahaan, tapi aku selalu berusaha untuk lebih hemat agar bisa lebih santai di hari tua kami nanti. Aku tidak mau mengajaknya menikmati sepotong daging panggang sampai harus mengeluarkan jutaan sekali makan sekalipun aku penasaran ingin mencobanya. Setiap kali dia memberikan gajinya padaku, aku langsung membayar kredit rumah kami yang tergolong besar dan juga deposito untuk jaminan pendidikan anak kami nanti dan masa tua kami. Aku tidak pernah protes sekalipun sisa dari uang yang dia berikan hanya cukup untuk dua minggu agar dapur kami mengepul karena aku wanita pekerja dan punya penghasilan yang bisa membantunya. Aku mengcover apa yang tidak bisa dia lakukan dan aku tidak pernah koar-koar soal itu. Aku bahkan rutin mengirimkan sekedar uang jajan mertuaku dan adik iparku yang masih kuliah. Tapi, melihat semua ini, sepertinya dia tidak bersyukur memiliki diriku. Aku mulai berpikir untuk menghentikan kebaikanku yang terasa sia-sia. Kebaikanku di salah artikannya dan dia jadikan bahan olokan. Aku tidak melanjutkan pencarianku lagi karena takut semakin sakit hati jika mengetahuinya. Aku meninggalkan rungan itu walau hatiku meronta-ronta ingin menemukan yang lain lagi. "Cukup untuk hari ini," ujarku pada diri sendiri. Karena 'The more you see, the more you find. The more you know the more you been hurt.'

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD