"Dasar bod0h! Aku kan sudah bilang dari kemarenan. Cerai! Tapi loe pura pura tuli."
Aku menatap temanku Lizzy yang berjalan menjauh dariku. Dia benar-benar marah ketika aku datang lagi ke apartemennya dan menceritakan kasus yang lagi lagi sama dengan beberapa hari sebelumnya.
Bosan?
Jelas!
"Selalu aja belain suami loe itu sampai dia benar benar bawa perempuan lain ke rumah kamu. Besok nggak usah kesini lagi dengan cerita yang sama kalau nggak mau dengar saran dari gue. Capek tahu. Pengeng telinga gue dengarnya," lanjutnya seraya meletakkan sekaleng soda dingin di hadapanku.
Aku tahu dia kesal tapi dia tidak akan pernah mengabaikan aku sampai kapan pun.
"Nih!"
Aku menangkap sekotak tissu yang dia lemparkan ke pangkuanku.
"Kamu tahu kan Liz, mamaku itu sangat pantang kata cerai. Sekali menikah seumur hidup, itu terus pesannya. Nggak mungkin kan aku ke rumah mama dan bawa kabar perceraian. Mamaku bisa sesak nafas tiba-tiba, Liz."
Mamaku keturunan orang batak kental yang menjunjung tinggi pernikahan sekali seumur hidup dan memantangkan cerai hidup.
'Bertahan walau sakit.'
Begitulah motto hidup dalam pernikahannya. Entahlah.
Semua itu dilakukan karena pengalaman hidupnya yang harus di tinggal suami karena tergoda perempuan lain ketika kami masih anak-anak.
'Boru Jawa' katanya.
Sejak saat itu, mamaku memilih menjadi janda gantung dari pada menikah lagi walaupun usianya masih muda dan lookingnya masih cantik.
Katanya sih, pernah menolak beberapa lelaki yang hendak meminangnya. Alasannya, kami anak-anaknya tidak bisa di tinggal demi laki-laki lain.
Bekerja sendirian membesarkan aku dan kedua kakakku hingga kami bertiga lulus sarjana dan bekerja di tempat yang bagus dan menikah dengan pilihan masing-masing.
****
****
****
Namaku Romauli Mentari dan aku seorang penulis sekaligus punya toko buku yang menjual berbagai jenis buku baru dan ada juga yang bekas.
Suamiku bernama Roy David dan dia seorang arsitek di sebuah perusahaan ternama di kota ini.
Kami pasangan yang sangat romantis dari waktu pacaran hingga menikah.
Kami pasangan yang saling mencintai satu sama lain dan saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Dulu. Itu dulu.
Sekarang? Mungkin tidak lagi.
Entahlah.
Pernikahanku dengan Roy sudah berjalan tiga tahun tapi kami memang belum di karuniai keturunan.
Aku tidak tahu apa yang menjadi masalah karena hasil cek lab, kami berdua sehat.
Tahun pertama pernikahan, aku sudah berharap segera hamil. Bahkan aku mulai belajar parenting dari kakakku sebagai persiapan diri. Tapi, mungkin belum rejeki dan tahun itulah rumah tanggaku mulai di uji dengan kesetiaan suamiku. Dia mulai main mata di luar sana. Aku tidak tahu apa yang menjadi alasannya.
Aku yang kurang cantik?
Tidak mungkin. Aku bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa aku cantik.
Tidak pandai memuaskan pasangan?
Jangan di tanya, aku ahlinya.
Atau mungkin karena tak kunjung di karuniai anak makanya suamiku bermain-main dengan perempuan lain di luar sana. Tidak hanya sekali dua kali tapi sudah berkali kali dan aku sudah pernah ingatkan saat pertama kali aku mengetahuinya.
"Maaf sayang, aku khilaf. Aku janji tidak akan lagi."
Dua bulan berikutnya dia mengulah lagi dengan perempuan yang sama sampai akhirnya aku berinisiatif mendatangi perempuan itu dan memperingatkannya untuk tidak tergoda lagi ketika dia di goda oleh suamiku. Memintanya baik-baik agar memutuskan hubungannya dengan suamiku sebelum ada banyak orang yang tahu.
"What the fvck are you doing, Uli?"
Mas Roy marah padaku begitu dia sampai di rumah. Mungkin kekasihnya sudah memutuskannya atau melaporkan aku sambil menangis-nangis cari perhatian.
Aku menghela dengan pelan sebelum menjawabnya. Mengunci emosiku agar tidak terpancing. Menahan mulutku agar tidak berteriak membalas.
"Kamu udah janji nggak akan ulangi lagi tapi kamu ingkar, Mas. Aku cuma minta dia baik-baik untuk mempertimbangkan hubungan kalian karena kamu udah punya istri. That's it. Apa aku salah?" jawabku waktu itu sambil bergetar karena menangis.
Jujur saja, mentalku tidak begitu kuat menghadapi seseorang yang berteriak padaku. Sering sekali, aku yang akhirnya merasa bersalah dan meminta maaf padahal jelas yang aku lakukan adalah sesuatu yang benar.
Mungkin karena itu aku begitu mudah untuk di bodohinya.
"Kami tidak menjalin hubungan apapun lagi saat ini. Hanya teman yang memang bekerja di gedung yang sama. Jangan lagi menemuinya dan membuatnya malu. Paham?"
Aku mengangguk dan jatuh cinta lagi ketika dia mengelus kepalaku dan berkata dengan lembut untuk meminta pengertianku.
"Trust me, no body deserve my love but you. Kalau kamu dengar berita buruk tentangku di luar sana, itu hanya karena mereka iri kita bersama dan harmonis. Aku sudah bersumpah, selamanya hanya kamu, sayang. Only you!"
Aku benar benar meleleh lagi saat mendengar itu dan seketika semua kesalahannya sirna dari hati dan pikiranku. Perselingkuhannya aku coret dari pikiranku dan aku kembali menjadi Romauli yang jatuh cinta sampai ke dasar laut padanya. Aku menempelinya dan bahkan bertindak seolah-olah aku tidak bisa lepas darinya. Seolah-olah dialah pegangan hidupku.
Aku bermeditasi untuk menjernihkan pikiranku dan benar-benar menaruh rasa percayaku padanya di atas segalanya.
Aku menjadi bodoh karena cinta.
****
Selama hampir dua tahun setelah hari itu, mas Roy tidak pernah bertingkah yang mencurigakan. Rumah tangga kami aman dan harmonis bahkan kami berdua rutin menjalani program hidup sehat demi bisa mendapatkan anak. Aku rajin menghitung masa subur dan aku tidak pernah malu atau sungkan meminta mas Roy untuk mencumbu dan bermesraan ketika aku ingin.
I feel happy
Really happy with this marriage journey.
Sampai suatu malam,
Aku menemukan helai rambut di singlet suamiku saat aku hendak mencuci pakaian.
Alarm di otakku langsung berbunyi waspada karena tidak mungkin itu rambutku dan sejak saat itu aku mulai memperhatikan suamiku diam diam dengan seksama.
Saat dia dalam perhatianku, aku menemukan kejanggalan lagi.
"Ya, aku terlalu sibuk dengan hobbyku sampai aku melewatkan banyak hal," ucapku saat merogoh kantong celananya dan menemukan kertas parkir vip sebuah hotel bintang tiga.
"Maaas, kamu kok bisa punya kartu parkir vip, emangnya untuk apa sering sering ke hotel sampai sampai punya kartu vip?" teriakku dari ruang cuci tapi tidak di sahuti oleh suamiku yang aku tinggalkan berada di ruang tamu.
Aku berjalan sambil menggenggam kartu itu dan bermaksud untuk mengembalikannya tapi langkahku berhenti di depan ruang kerja suamiku yang pintunya tidak tertutup rapat.
"Ya, like that sweety. Turn down your phone a little bit more. I can't see it!"
Aku mengerutkan keningku dan penasaran dengan siapa suamiku bicara. Kenapa terdengar seperti mengerang dan seperti mendamba sesuatu?
"Yaaah, oh my god. You are the heaven. I really wanna suck that creamy pvssy, sweetyheart!"
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan dan menyandarkan punggungku di samping pintu.
Ada apa ini?
Sweetyheart?
Aku semakin terkejut ketika mendengar seseorang bergumam membalas ucapan suamiku. Suara perempuan yang mendesah-desah.
"Come and suck me baby!"
Hening
Suamiku tidak menjawab tapi gerutuan perempuan itu masih terdengar samar-samar. Dia menggoda suamiku dengan erangan yang aduhai.
"Don't you miss this boops and pvssy so much?"
Lalu aku dengar perempuan itu merengek dan meminta suamiku untuk datang menemuinya. Mengatakan dia sedang sangat ingin bercinta malam ini.
"Jangan sweety. Uli ada di rumah dan sedang tidak bekerja. Ntar dia curiga kalau aku keluar rumah malam malam apalagi tidak ada event dari kantor atau sesuatu yang urgent."
"Uli siaalan itu! Ceraikan aja perempuan mandul itu, baby. Aku siap kasih kamu anak berapa pun yang kamu mau."
"Sssttt. Jangan bicara seperti itu. Kamu tahu kan resikonya kalau aku ceraikan Uli?"
Aku semakin penasaran. Dengan siapa dia bicara karena seolah olah perempuan itu mengenalku. Dan apa alasan mas Roy tidak menceraikan aku?
Aku bukanlah pewaris yang bergelimang harta. Aku juga dulunya wanita kantoran sebelum memutuskan resign dan buka toko buku karena hobby membaca dan menulis.
Aku mengepalkan tanganku dan aku sadar dengan apa yang sedang aku genggam. Aku menatap kartu parkir itu dan aku menjadi marah.
Aku kembali ke ruang londry dan mengembalikan kartu itu ke kantong celana suamiku setelah aku poto.
Aku tidak jadi mencuci baju dan masuk ke ruang kerjaku. Aku mengambil notes dan menuliskan nama hotel itu disana dan menuliskan beberapa to do list.
But hey,
Percaya nggak percaya aku melakukan itu hanya karena sedang marah.
Aku benar benar tidak sanggup merealisasikan dua dari to do list yang aku tulis yaitu melabrak mas Roy dan kekasihnya itu lalu mengajukan cerai.
Itu hal paling tidak mungkin yang akan aku lakukan.
"Loh, Sayang!"
Aku menatap ke pintu asal suara datang. Dengan perlahan aku membalikkan lembaran notes agar apa yang aku tulis tidak bisa dia lihat.
Aku melihat mas Roy menyembulkan kepalanya ke dalam ruanganku sambil tersenyum.
"Aku cariin di ruang londry, ternyata disini. Are you busy?" lanjutnya.
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Sedikit," jawabku dengan hand gestur telunjuk dan ibu jariku. Salah satu tanganku mengepal di bawah meja karena menahan gejolak emosi.
Mungkin, jika ini terjadi dua tahun yang lalu, aku akan langsung berteriak dan menangis di depannya tanpa berpikir panjang mencari bukti.
Tapi sekarang, aku sudah dewasa dan semakin dewasa. Pikiranku juga sudah matang.
"Kenapa, Mas? Butuh sesuatu? Something like coffee or tea?" ujarku menawarkan. Aku bertingkah seolah-olah dia baru saja selesai dari kesibukan bekerja instead of video call s3x with other women.
Dia menggeleng lalu masuk dan berjalan mendekat padaku.
"Or creamy food?"
Aku mendengus pelan melihat reaksinya saat aku ucapkan "creamy". Sengaja aku tekankan memang.
Dasar laki laki badjingan.
Apa dia langsung teringat dengan creamy p***y selingkuhannya?
"No! No!"
Jawabnya sambil menggeleng dan tersenyum. Senyum yang dulu aku sukai tapi kini aku jadi muak melihatnya.
"Aku mau keluar sebentar. Anak anak ngajak minum karena proyek udah selesai dan sukses."
Dia sambil membuka ponsel dan menunjukkan grup kantornya sekilas di depan wajahku tanpa sempat aku baca percakapan apa disana.
Aku tahu dia sedang berbohong dan pasti akan pergi menemui si creamy itu. Tapi aku membiarkannya pergi.
"Don't drink to much dan pulang cepat."
Dia mendekat dan mencium puncak kepalaku lalu berlalu dengan segera dari ruang kerjaku setelah menjawab 'yes'.
Setelah aku mendengar suara mobilnya menjauh, aku berjalan dengan kaki gemetar ke ruang londry dan langsung merogoh celana kerja yang dia pakai hari ini.
Lost!
Kartunya sudah tidak ada.
Aku sempat berpikir untuk menyusulnya ke hotel itu tapi urung aku lakukan.
Aku akhirnya menangis sampai aku lelah dan tertidur meringkuk.