Bab 65. (Bom Bunuh Diri Malaikat Biru)

1068 Words
Melihat Keadaan Aryo yang seperti itu. Tino pun kini menyerang Malaikat Biru, dengan penuh amarahnya. Ia berusaha melumpuhkan Malaikat Biru, secepat mungkin. Agar dirinya bisa mengorek keterangan dari Malaikat Biru. Jika terpaksa, Tino akan membunuh Malaikat Biru. "Akulah lawan mu!" teriak Tino, sambil menyerang Marco secara agresif. Tak memberi celah untuk Marco lepas dari serangannya sama sekali. "Buktikan, jangan hanya omong besar saja. Seperti temanmu," timpal Malaikat Biru, lalu tertawa. Seakan sedang mengejek Tino. Yang di dalam pikirannya, tak mungkin dapat mengalahkan dirinya. Walaupun ia belum mencobanya. Kepercayaan diri Marco terlalu tinggi. Hingga meremehkan lawan tandingnya itu. Seolah dirinya tak mungkin dapat terkalahkan oleh siapa pun, kali ini. "Akan aku buktikan!" Tino pun terus menyerang Malaikat Biru, dengan penuh nafsunya. Seakan Marco itu, adalah buruannya. "s**l! Ternyata dia tak selemah yang aku pikirkan," kata Marco di dalam hatinya, dengan penuh kegeramannya terhadap Tino, yang sedang berada di atas angin. Tino terus menyerang Malaikat Biru, dengan penuh agresifnya. hingga akhirnya ia pun mampu menendang d**a Malaikat Biru. Sehingga Malaikat Biru pun terhuyung ke belakang. Dan bersamaan dengan itu. Andi tiba di tempat itu. Andi pun lalu menghampiri ke arah Aryo dan Tino. "Kalian baik-baik saja ...?" tanya Andi kepada Aryo dan Tino. Yang segera menghampiri Andi. Hingga mereka pun berpapasan. "Kami baik-baik saja ...," timpal Aryo, lalu tersenyum kepada Andi. "Kau memang hebat, karateka ...!" ucap Malaikat Biru, sambil merogoh kantong jubah birunya. Dengan seringai yang menyeramkan sekali kepada mereka bertiga. "Darimana, kau tahu. Jika aku seorang karateka?" tanya Tino, dengan penuh selidik terhadap Malaikat Biru. "Tentu saja dari gerakan mu, biar bagaimana pun aku itu pernah belajar karate ...," tutur Marco, dengan penuh kebanggaannya. Tentang masa lalunya itu. Dari dalam saku jubah birunya. Marco pun mengeluarkan sebuah remote kontrol. Yang merupakan remote untuk meledakan bom. Yang tersebar di tempat itu. Yang dilakukan oleh dirinya. Tampak Andi terkejut ketika melihat remote kontrol itu. Karena ia tahu persis, fungsi dari remote itu untuk apa. "Marco, kau jangan gila. Lebih baik kau tinggalkan 7 Malaikat Kematian, dan bergabung dengan kami," pinta Andi, mengetahui apa yang ingin dilakukan oleh Malaikat Biru. "Sayangnya, aku sudah bertekad ingin berduel dengan Putih di alam kematian," sahut Marco, lalu tertawa dengan begitu kerasnya. "Dia benar-benar sudah gila," ujar Andi di dalam hatinya terhadap Marco, alias Malaikat Biru. Andi tahu, Marco sudah tak bisa diajak berdamai. Dan ia tahu, apa yang akan dilakukan oleh Malaikat Biru setelah ini. Hingga ia pun langsung berbicara kepada Aryo dan Tino. "Sebaiknya, kita tinggalkan dirinya sekarang juga. Semakin cepat, maka akan semakin baik," ucap Andi, tanpa memberi alasannya kepada mereka berdua. "TAPI, KITA SUDAH DI ATAS ANGIN!" protes Tino, merasa tak puas dengan perkataan dari Andi. Karena ia merasa, sudah dapat mengalahkan musuhnya sedari tadi. Andi pun hanya terdiam. Tetapi Malaikat Biru merespons ucapan Tino. Sambil tangan kirinya memencet tombol untuk mengaktifkan bom waktu yang telah tertanam di puncak bukit di pulau itu, jembatan gantung kayu yang menghubungkan dengan pulau lainnya. Dan bom yang ada di dalam jubah birunya. "KAU JANGAN SOMBONG DULU. KALIAN AKAN MATI BERSAMAKU ...!" teriak Malaikat Biru, dengan penuh keangkuhannya. Bersamaan dengan Selesainya perkataan dari Malaikat Biru. Tiba-tiba saja satu persatu jembatan gantung kayu yang menghubungkan Pulau Biru dengan pulau yang lainnya pun meledak, dengan dahsyatnya. Dan puing-puingnya jatuh ke laut, yang berada di bawahnya. Hingga membuat Pulau Biru benar-benar tak memiliki hubungan darat lagi dengan pulau-pulau lainnya sama sekali. Dengan kata lain Pulau Biru telah terisolasi dengan pulau lainnya. Akibat dari runtuhnya jembatan-jembatan gantung kayu yang menghubungkan pulau itu, dengan pulau-pulau lainnya. "GILA! KITA SUDAH TAK BISA MELARIKAN DIRI LAGI!" seru Aryo. Yang tak mengira keadaan menjadi seburuk itu, akan terjadi. "Hanya ada satu pilihan bagi kita, kita harus melompat ke dalam laguna itu," ucap Andi, sambil berlari mendekati pinggir puncak Bukit Biru yang langsung menghadap ke arah Laguna Kematian. Yang di ikuti oleh Aryo dan Tino. "Ya, pilihan kita hanya satu," ucap Tino, saat mereka telah tiba di bibir dari puncak Bukit Biru. "SAATNYA UNTUK MELOMPAT, 1, 2, 3 ....!" teriak mereka secara bersamaan. Sambil melompat kan diri mereka ke dalam Laguna Kematian. Tanpa sebuah keraguan sama sekali. "Blur ..!" Suara tercebur mereka bertiga pun terdengar begitu jelas. Mereka bertiga pun telah berada di dalam laguna itu. Mereka menyaksikan puncak bukit itu mulai meledak, mendekati Malaikat Biru. Yang tampak telah berada di bibir puncak bukit itu. Sepertinya ia ingin melompat ke dalam laguna itu. Mengejar lawannya, untuk mati bersamanya. "KALIAN INGIN MELARIKAN DIRI? AKULAH YANG AKAN MENJEMPUT KALIAN KE NERAKA! KARENA AKULAH MALAIKAT KEMATIAN BAGI KALIAN ...!" teriak Malaikat Biru, lalu menjatuhkan dirinya ke dalam Laguna Kematian. Tanpa ketakutan sama sekali. Akan namanya kematian. Melihat akan hal itu, mereka bertiga pun tampak sangat terkejut sekali. Karena tak mengira Malaikat Biru akan melakukan hal seperti itu. Hal diluar pikiran manusia normal. "Sepertinya, kita harus menyelam dan menjauhi dirinya, agar kita tidak terkena ledakan itu," panik Aryo, lalu menyelam dan berenang, menjauhi daerah itu. Yang diikuti oleh Aryo dan Tino, dengan tergesa-gesa. Terlihat tubuh Malaikat Biru pun meledak di udara, sejauh 50 meter di atas laguna itu. Menjadi serpihan-serpihan kecil, yang luruh dan jatuh ke dalam Laguna Kematian. Dan bersamaan dengan itu, puncak Bukit di pulau itu pun meledak dan terpotong setinggi 20 meter. Dengan puing-puing yang jatuh ke dalam Laguna Kematian dan laut lepas. Setelah mereka bertiga merasa aman dari ancaman ledakan itu. Aryo, Andi dan Tino lalu muncul dari dalam laguna itu, dengan keadaan baik-baik saja. Tampak Serpih-serpihan dan potong-potongan tubuh Malaikat Biru berceceran di laguna itu. Hingga membuat perut Aryo, Andi dan Tino mual bukan main. Ingin muntah rasanya saat itu juga. "Pemandangan ini, sangat tidak menyenangkan sekali, lebih baik kita kembali ke Pulau Hitam," ucap Aryo, lalu berenang mendahului. Andi dan Tino, untuk menuju ke arah Pulau Hitam. Karena dirinya benar-benar sudah ingin muntah, melihat pemandangan seperti itu. "Aku pun merasakan jijik, dengan pemandangan ini ...," sambung Tino, lalu berenang meninggalkan Andi sendirian. "Biru, Biru .... Kau itu benar-benar sudah tercuci otakmu. Hingga dapat melakukan hal seperti ini. Tetapi biar bagaimana pun kita ini rekan, walaupun kita memilih jalan yang berbeda. Selamat jalan Biru ...," ujar Andi berbicara sendiri, lalu berenang menyusul Aryo dan Tino. Untuk menuju ke Pulau Hitam. Dan gerimis pun datang kembali, mengguyur gugusan pulau kecil itu. Hujan di musim kemarau, yang mungkin hujan sebagai firasat kematian Malaikat Biru. Yang mati karena meledakan dirinya sendiri. Akibat dari pengaruh doktrin-doktrin yang diberikan oleh Malaikat Hitam. Sebagai Pimpinan dari 7 Malaikat Kematian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD