Bab 33. (Menyelusuri Jejak-Jejak Berdarah)

1070 Words
Sementara itu di dalam pondok kayu, tempat para pemenang kuis itu berada. Terlihat kepanikan terjadi kembali. Di saat mereka semua mendapat SMS dari Malaikat Hitam, kecuali Noval. Yang tak mendapat SMS dari Malaikat Hitam, karena ia hanyalah pemenang pengganti dari kuis kematian itu. Di mana sebenarnya pemenang kuis itu adalah Ayu. Tampak mereka saling merapatkan tubuhnya, satu dengan yang lainnya. Seakan ingin melindungi satu dengan yang lainnya. Dari serangan yang bisa datang kapan saja, yang dilakukan oleh 7 Malaikat Kematian. "Ini SMS petunjuk dari mereka, tentang keberadaan tubuh Anto, Tigor dan Ketut," ujar Aryo. Sambil menunjukan SMS di ponselnya pada mereka semua. "Ya, tubuh mereka dibuang terpisah. Anto di Pulau Hitam ini. Tigor di Pulau Merah, di sebelah kanan Pulau Hitam ini. Sedangkan ketut dibuang di Pulau Kuning, di sebelah kiri Pulau Hitam ini," sambung Tino, memperjelas isi SMS itu. "Itu berarti kita hanya memiliki 2 pilihan. Pilihan pertama, kita akan mencari mereka secara bersama-sama menyusuri jejak mereka di Pulau Hitam ini. Sedangkan pilihan kedua, kita harus membentuk 3 kelompok untuk menyusuri 3 pulau ini," ucap Andi, dengan penjelasanya. Seperti seorang komandan, memberi pilihan kepada anak buahnya. "Opsi pertama, itu lebih aman bagi keselamatan kita semua. Tapi hal itu akan membuang waktu kita. Sedangkan opsi kedua, itu memang efesien. Tapi keselamatan kita, akan lebih rentan untuk diserang oleh mereka," ujar Noval, menjelaskan kelemahan dan kelebihan pilihan yang akan mereka pilih nanti. Dengan tatapan mata yang memandang ke arah mereka satu persatu. Seakan ingin mengetahui isi hati mereka satu persatu, dengan tatapan matanya itu. Mereka saling pandang satu sama lainnya. Seakan ingin berdiskusi lewat tatapan mata mereka itu. Hingga akhirnya Aryo pun bicara, membuyarkan keheningan di antara mereka. "Jadi itu pilihan yang sulit ya ...?" ucap Aryo, tampak berpikir dengan ucapan Noval tadi. Yang langsung disambar oleh perkataan dari Tomy. "Kenapa kalian mempersulit masalah ini. Ambil mudahnya saja. Kita bagi kelompok kita menjadi 3 kelompok. Biar aku dan Thomas. Yang mencari tubuh Tigor. Sedangkan kalian, yang mencari tubuh Ketut dan Anto," ujar Tomy, berniat untuk meninggalkan pondok kayu itu bersama Thomas. Tetapi hal itu dicegah oleh Aryo. "Kalian berdua, jangan mengambil tindakan sendiri. Kita ini belum bersepakat. Untuk mengambil sebuah tindakan selanjutnya," ujar Aryo dengan tegasnya. Yang membuat Tomy dan Thomas, mengurungkan niatnya untuk pergi dari dalam pondok itu. "Lalu kita harus terus menunggu seperti ini?" ujar Tomy dengan menatap tajam ke arah Aryo. "Tentu saja tidak. Oke! kita ambil keputusan sekarang," timpal Aryo dengan tegasnya. Sambil memandang ke arah 6 temannya satu persatu. Lalu ia pun melanjutkan perkataannya kembali. "Siapa yang setuju dengan opsi pertama!" ucap Aryo, dengan nada lugas. Tampak tak ada jawaban atau pun sahutan di antara mereka semua. Hingga Aryo pun sudah dapat menerka, kesimpulan apa yang akan mereka sepakati bersama. "Sepertinya kalian setuju dengan opsi kedua?" tanya Aryo, dengan tatapan mata memandang ke arah mereka satu persatu. "Ya, aku rasa. Opsi kedua itu lebih efesien daripada opsi pertama," sahut Noval, akhirnya bicara kembali. "Sekarang sebaiknya kita membagi diri kita. Menjadi beberapa kelompok. Sesuai dengan keinginan Tomy dan Thomas, mereka akan mencari tubuh Anto. Sedangkan aku dan Andi, akan mencari tubuh Tigor. Sedangkan Noval, Andro dan Tino mencari tubuh Ketut, apakah kalian setuju dengan hal ini?" ujar Aryo. Berusaha meminta persetujuan dari mereka semua. Yang tampaknya setuju dengan usul dari Aryo itu. Walaupun mereka tak ada yang bicara sama sekali. Untuk menjawab pertanyaan itu. "Kalau kalian semua sudah setuju. Baiklah sekarang saatnya kita mengikuti jejak langkah dan jejak darah mereka ...," ujar Aryo, lalu berjalan mengikuti jejak langkah dan darah yang ditinggalkan oleh 3 anggota dari 7 Malaikat Kematian. Mereka bertujuh terus berjalan, menyelusuri jejak berdarah itu. Tanpa mengenal lelah sedikit pun, walaupun Matahari seakan ingin membakar tubuh mereka. Hingga keringat pun bercucuran dari pori-pori yang ada di kulit mereka. Yang tak dipedulikan oleh mereka semua. Setelah lama berjalan mengikuti jejak-jejak berdarah itu. Akhirnya mereka bertujuh tiba. Pada sebuah pertigaan. Terlihat mereka bertujuh lalu menghentikan langkahnya itu, secara bersamaan. "Sepertinya, di tempat ini kita harus berpencar," ucap Aryo, seakan memberi isyarat kepada yang lainnya. "Aku rasa juga begitu, aku dan Thomas akan menuju Pulau Merah, di sebelah kanan dari Pulau Hitam ini, untuk mencari tubuh Anto," ujar Tomy, sambil melangkahkan kakinya menuju ke arah kanan untuk mencapai Pulau Merah, di sebelah kanan dari Pulau Hitam. "Ya, sebaiknya nanti kita bertemu di tempat ini kembali. Apa pun nanti yang terjadi, sebisa mungkin kita harus berkumpul kembali di di tempat ini," sambung Thomas, sambil mengikuti langkah Tomy. "Aku, Andro dan Tino. Ikut pamit juga, kami akan ke Pulau Kuning di sebelah kiri Pulau Hitam ini, untuk mencari tubuh Ketut," sambung Noval, lalu melangkahkan kakinya. Yang diikuti oleh Andro dan Tino di belakangnya. Untuk menuju ke arah Pulau Kuning, yang ada di sebelah kiri dari Pulau Hitam. Sepeninggalan mereka. Aryo dan Andi lalu melanjutkan langkah mereka yang sempat tertunda. Mereka berdua terus melangkahkan kakinya ke arah depan. Untuk menuju ke pedalaman pulau Hitam, dengan tujuan untuk mencari tubuh Tigor. Sesuai dengan SMS dari Malaikat Hitam. Yang sengaja memberi petunjuk kepada mereka. Mereka bertujuh tak menyadari sama sekali. Jika mereka sedang diamati oleh Malaikat Merah, Malaikat Kuning dan Malaikat Hijau dari dalam ilalang raksasa. Dengan menggunakan teropong khusus mereka. "Mereka sudah bergerak, lebih baik kalian ikuti mereka. Sesuai dengan orang yang sudah kalian bunuh," kata Malaikat Merah kepada kedua rekannya. "Apakah, kami diperkenankan untuk membunuh lagi?" tanya Malaikat Hijau kepada Malaikat Merah. "Apakah Pimpinan, memberi perintah itu?" tanya balik dari Malaikat Merah kepada Malaikat Hijau. "Tidak," jawab Malaikat Hijau dengan penuh kejujurannya. "Apakah kau ingin melakukannya?" Malaikat Merah pun menyeringai kepada kedua rekannya yang ada di hadapannya. "Tentu saja aku menginginkannya," sahut Malaikat Hijau, dengan mantapnya. "Aku pun menginginkannya," sambung Malaikat Kuning, dengan nada yang mengerikan. "Aku terserah kalian saja. Tapi ini bukan atas perintahku. Jadi jangan bawa-bawa aku, jika Pimpinan murka atas tindakan kalian itu," tutur Malaikat Merah. "Tenang saja, kami tak akan menyeret namamu, dengan masalah yang akan kami buat. Jika Pimpinan mempermasalahkan ini," jawab Malaikat Hijau lalu tertawa yang diikuti oleh Malaikat Kuning. "Sekarang pergilah kalian berdua," perintah Malaikat Merah. "Dengan senang hati ...," balas Malaikat Hijau. Lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Malaikat Merah, dengan berjalan cepat. Yang diikuti oleh Malaikat Kuning. "Sebenarnya aku pun ingin membunuh lagi. Tapi aku takut dengan perkataan dari Pimpinan yang seakan sebuah kutukan bagi anggotanya yang tak patuh dengan perintahnya. Maka akan mati ...," ucap Malaikat Merah di dalam hatinya. Lalu melangkahkan kakinya ke arah pedalaman Pulau Hitam, di mana mayat Tigor berada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD