Peluhku berjatuhan satu demi satu. Punggung rasanya sudah mau copot dari tulang belakangnya. Kaki jangan ditanya, kalau bisa ngeluh, dia sudah ngadu ke KPK, Komnas Perlindungan Kaki. Bagaimana aku tak lelah? Bagaimana aku tak gundah? Sudah setengah jam kubereskan hasil kerja bosku, tapi belum selesai juga. Mainan kayu hingga karet tersebar rapi dari ujung rumah sampai ke garasi. Belum lagi yang di ruang tamu, ruang kerja, ruang salat, kamar mandi, dan dapur. Tuhan, aku hampir menyerah membereskan mainan sekaligus dunia bos kecilku, alias Baby Aiyra.
Yap, bos kecilku itu memang seorang bayi umur 1,5 tahun dengan tinggi 89 cm dan berat 11,5 kg. Tapi, kuasanya sudah melebihi bos besar sekaligus suami tercintaku, Airlangga Sakha Handojo. Aiyra oh Aiyra. Si gimbul yang hobi makan biskuit s**u itu memang sedang aktif-aktifnya. Tak jarang senyuman manis hingga gigi taringku terpampang nyata pada si kecil. Namun, Little A setangguh bapaknya. Tak ada satupun kegentaran pada dirinya. Ya, sudah kubilang kan kalau emaknya ini cuma numpang darah doang. Semuanya adalah duplikat papanya.
Aku hanya bisa termehek-mehek ketika kaki mungilnya menyerang kerapian rumah ala Bapak Erlan. Dari mainan kapal-kapalan, boneka Barbie, Elsa Frozen, dan lain-lain sebagainya, dengan manis terpajang di lantai rumah asrama. Rumah dinas kebanggaan Erlan lenyap sudah ketika Baby A mulai melancarkan aksinya. Dan itu juga yang berarti aku harus kerja rodi. Setiap hari!
Aiyra memang obat diet ampuhku. Badanku tetap kecil sama ketika hamil dan melahirkannya. Apalagi dengan kebiasaan acak-acak rumah yang mirip aku itu. Badanku makin ramping dibuatnya. Asas-asas kerapian seorang Erlan dihancurkan oleh anak semata wayangnya. Bapak satu itu tunduk di bawah kekuasaan anak bayinya sendiri. Seorang Erlan yang judes dan super perfect hanya bisa mengelus dadaku, eh, dadanya dan punggungku.
“Aiyra? What are you doing now?” tanyaku hampir mendidih ketika melihat Baby A mengacak-acak rak sepatu papanya. Duh, bisa gawat kalau sepatu PDL si papa dimasukin mainan kayu. Bisa menjerit tuh si papa dengan suara seksinya.
“Da da da tu pa pate,” ujarnya dengan bahasa planet bayi yang berarti ‘Dedek mau pakai sepatu papa, Mama’.
“Sayang, kaki Aiyra masih terlalu mungil untuk pakai sepatu ini. Pakai sepatu yang lain yuk, Nak?” ujarku sabar. Lalu kuangkat badan gimbulnya dan mendudukkan Aiyra di kursi bayi. Tapi, tak lama kemudian.
“Huwaaaaa…huwaaaaaa…tu tu Mam, Mammmmm,” teriaknya tantrum. Seketika membuatku ingin pingsan saat itu juga.
“Sayang, please. Itu bukan mainan, Nak. Itu sepatu untuk Papa kerja. Bukan mainan Aiyra. Mama ambilkan sepatu kamu ya?” tawarku sambil menepuk-nepuk punggungnya. Dia tak menyerah. Tantrumnya makin membahana hingga seluruh asrama mungkin bisa mendengarnya. Dasar anak tentara, suaranya itu loh sekenceng papanya waktu mimpin upacara.
“Aiyra, please Sayang. Ini mainan kamu, Nak,” ujarku sambil menunjukkan boneka beruang warna biru, em, yang lebih mirip dengan warna krem sih.
“No, tu tu pa,” ujarnya makin keras. Anak ini keras kepala sekaliiii. Duh, ikut siapa sih sifatnya. Akhirnya, aku menggendongnya. Dia makin meronta. Aku tak menyerah. Kusodorkan sumber air susunya dan dia menolaknya mentah-mentah.
Ya Tuhan, gimana lagi menenangkan anak ini. Aku tak mau memberinya sepatu si papa. Sepatu itu kan kotor, banyak kuman, penyakit, de el el. Kenapa sih dia gak mau ngerti kalau sepatu itu bukan mainannya? Kenapa sih kami selalu bermusuhan seperti ini? Ya, aku memang tak biasa menuruti setiap permintaan anakku. Aku takut dia jadi manja dan susah diatur. Kalau memang itu baik, pasti akan kuberikan. Kalau tidak, aku takkan memberikannya. Aiyra, please listen to your mommy, hiks.
“Aiyra lagi jualan mainan ya, Mam?” pecah sebuah suara yang mengiringi suara pintu terbuka. Oh, Dewa Penolongku.
“Iya, Sayang. Tolong gendongin Baby A dong. Biar aku beresin rumah yang udah kayak abis kena tsunami nih,” cerocosku agak berteriak. Ya, karena suara mungilku kalah dengan suara tantrum Baby A.
Si papa, Babang Erlan, dengan sigap tanpa melepas seragam, langsung menangkap putrinya yang sedang bernyanyi itu. Ditenangkannya dengan suara lembut dan damai. Dinyanyikannya sebuah lagu militer dan shalawat nabi dengan merdu. Dan super duper ajaib banget, si Baby diem. Tenang dan kalem. Kok bisaaaa? Ya iyalah, sudah kubilang kan kalau aku cuma numpang darah doang.
---
“Maaf ya Sayang, tehnya kurang manis,” ujarku lemas sambil membenarkan kunciran rambutku yang mirip nenek lampir.
“Gak apa-apa kok. Minumnya kan sambil mandangi kamu. Baby A udah tidur tuh. Sebentar lagi aku bantuin beberes rumah deh,” ujarnya bijak. Aku mengangguk dan mengunyah sisa roti kacang makan pagi, eh, makan siang ya? Entahlah aku tak ingat saking sibuknya.
“Aku tuh bingung deh, Kak. Kok Aiyra tuh gak bisa ya nurut sama aku. Nurutnya cuma kalau minta s**u aja. Lain-lain, duh,” ujarku kepayahan sembari mengunyah roti yang tak jelas apa rasanya.
“Mungkin karena kamu terlalu mencereweti dia. Dia kan gak suka orang berisik,” ujar Kak Erlan santai yang membuatku ingin menggigitnya.
“Sayang, aku itu cerewet juga demi dia. Bayangin siapa yang gak khawatir, dia mau mainan sepatumu. Kalau sampai dijilat gimana? Kan kotor. Nanti sakit perut gimana? Kasihan kan? Aiyra kan belum bisa bedakan mana yang boleh masuk mulut, mana yang gak. Pokoknya yang menurutnya enak aja masuk tuh,” omelku ceriwis yang ditutup dengan ciuman tiba-tibanya. Ya, seperti kesukaannya selama ini.
“Tuh, kan kamu aja juga diem kok setelah kucium. Sayang, kamu harus sabar. Aiyra itu kan perpaduan kita. Pengasuhan anak itu kan tentang kerja sama. Kalau kamu kesulitan, aku pasti bantu kok. Itu kan tugasku juga,” ujar Kak Erlan lembut. Hatiku berdesir. Duh, kenapa sih tiba-tiba menciumku saat aku masih bau ompol dan sisa parfum gak jelas ini.
“Aiyra pasti nurut sama Papanya karena Kak Erlan lembut banget,” ujarku pelan.
Kami lantas kembali berciuman. Ya, mungkin karena kami saling merindukan. Waktu berdua kami memang terbatas sejak kehadiran Aiyra. Kadang di malam hari, waktunya jatah mingguan, aku malah tidur duluan karena kecapekan. Kadang tatkala ciumannya masih di leher, Aiyra sudah menangis minta ASI. Kadang semua sudah aman, tinggal bau badanku yang mirip bayi belum mandi. Mana bisa romantis? Hiks. Untung saja Kak Erlan sosok yang sabar. Dia tahu bahwa aku masih belajar mengatur waktu. Dia tahu semua yang kulakukan adalah untuk anaknya, anak kami.
“Beberes yuk Sayang? Kalau ada sisa waktu, beresin aku,” ajaknya sambil mengerling mata coklat tajamnya itu. Aku hanya tersipu malu. Setidaknya, selalu ada celah kan? Qiqiq.
Akhirnya, dengan gerakan militer, aku dan Kak Erlan membereskan hasil kekacauan keturunan kami. Mainan kayu dimasukkan ke kardus biru. Boneka dimasukkan ke keranjang hijau. Mainan karet dimasukkan ke kardus coklat. Semua pengelompokan ini adalah hasil kerja Kak Erlan. Seorang pecinta kerapian macam Kak Erlan tentunya tak suka melihat mainan anaknya bercampur jadi satu. Dia bilang itu juga untuk memudahkanku mencari mainan kesukaan Aiyra.
Beres. Selesai. Rampung. Akhirnya, rumah rapi seperti sedia kala. Kak Erlan memang malaikat penolongku. Kini rumah ini benar-benar tampak seperti rumah. Kami bernapas lega sambil duduk di kursi ruang TV. Sesekali kami melirik Aiyra yang tertidur di box bayi. Dia tampak damai dalam pelukan boneka beruang besar warna pink, em, yang agak berwarna kuning.
“Kamu mau mandi bareng?” tawarnya nakal sambil mengelus rambut panjang kusutku.
“Yuk, mumpung si gimbul masih bobok,” ujarku manis. Dia menggandeng tanganku ke kamar mandi.
Tenang-tenang, kami takkan melakukan adegan 18 plus plus kok. Kamar mandi adalah tempat terlarang untuk gituan kan? Kami memang suka mandi bareng untuk mengamalkan sunah nabi itu saja. Untuk saling dekat dan intens. Sekalian menggosok daki di punggung masing-masing. Paling tidak saat mandi bersamalah saat terdekat kami. Our time, gitulah.
“Kamu selalu cantik, Bel. Bentuk tubuhmu tak berubah banyak walau sudah ada buntutnya 1. You always be my baby,” pujinya sambil menggosokkan sabun ke punggungku.
“Kak Erlan juga selalu ganteng kok,” balasku tanpa menatapnya.
“Setelah mandi, kamu mau apa?” balasnya lagi.
“Sesuai dengan kondisi, bukannya kata Kak Erlan 5 menit menentukan untuk tentara?” godaku sambil menyungging senyum. Dia hanya tersenyum lembut dan mengecup bibirku penuh sayang. Rasa pasta gigi itu terasa enak bercampur dengan bau feromonnya. Ah, aku tak tahan lagi merasakan godaan suamiku ini. Aku menariknya ke kamar pribadi kami, bekas kamarnya dulu.
Dia lantas menindihku dengan lembut dan terus saja menghujaniku dengan ciuman lembutnya. Sesekali suaranya yang seksi berbisik di telingaku. Kata-kata penuh cinta dan kasih sayang. Lalu hidung bangirnya itu bermain di pipiku. Membangkitkan rasa senang dan berbunga-bunga. Kutatap wajahnya yang tampan dan segar. Badannya yang atletis dengan sedikit lemak perutnya, pusar lucunya, dan…
“Huwaaaaa…” suara tangis Baby A meletus. Seketika pandangan kami menjadi layu.
“Dedek bangun,” ujarnya pendek. Aku tak habis pikir dan tetap saja tersenyum.
“Biarkan saja, Kak. Nanti juga diam. Mungkin dia mimpi buruk saja,” ujarku. Benar kok, tak terdengar suara tangisnya.
“Huwaaa huwaaaaa… ma ma mammm,” Belum sempat mulutku tertutup, tangisnya kembali meledak.
“Hiks, maaf ya Kak? Aku gak tega kalau denger anakku nangis,” ujarku pasrah. Dia tersenyum lembut dan kembali menciumku.
“Save the night for me, Baby,” bisiknya lalu mendorongku untuk berpakaian.
Duh, Anakku Sayang. Tahu aja kalau Papa dan Mamanya lagi asyik-asyikan. Kayaknya dia gak suka jika proses pembuatannya dulu itu kami lakukan. Apa emang waktunya yang tidak tepat? Aku lekas berlari menuju kotak bayi tempatnya tidur. Kulihatnya sudah menangis meraung seperti kehausan. Kuangkat tubuh gimbulnya dan kudekap di dadaku. Dia kemudian meminum ASI dengan rakus. Sepertinya memang lapar.
Sesekali dia memandangi wajahku dengan matanya yang bulat dan lentik. Lalu tangannya yang halus itu menyentuh wajahku lembut. Anak ini selalu saja manis jika sedang menyusu. Beda sekali dengan zamannya masih bayi dulu yang harus menyusu di atas tangan papanya. Kemudian, si papa berdiri di sebelahku dan mencium anaknya dengan lembut. Lalu Kak Erlan mencium keningku.
“Auw!” pekikku tiba-tiba. Aiyra, apa yang kamu lakukan? Dia menggigit p****g ASI dengan gemas. Tuhan, anak ini selalu gak rela kalau aku dicium papanya. Aku menahan sakit dengan hanya meringis karena tak sanggup memarahi anakku.
“Sabar Sayang. Sabar. Baby A tidak boleh nakal dong, Sayang. Kasihan Mama, Nak,” tenang Kak Erlan sambil memandangi Aiyra. Sesaat kemudian, dia melepas ASI dan tersenyum manis memperlihatkan 2 gigi depannya. Seolah dia berkata, aku versus mama kalau masalah papa. Duh, Aiyraaaaa. Hiks.
***