Bab 8 Tak Bisa di Zona Nyaman

2422 Words
                Suasana di kedua pasang mata itu masih membara. Suasana di garasi rumahku mendadak disulap jadi pertemuan antara Praka Guruh dan Praka Joni serta istri masing-masing dengan Kak Erlan, si Bapak Danki A, dan aku yang masih berusaha menenangkan tingkah Baby A yang masih ketakutan. Om Jajang membantuku dengan menyajikan minuman dingin bagi ‘tamu dadakanku’ ini. “Sebenarnya ada masalah apa antara Ibu Guruh dan Ibu Joni? Apakah tidak bisa dibicarakan baik-baik? Harus ya datang ke rumah saya pagi-pagi dan membuat keributan?” tanya Kak Erlan tegas sambil memandangi kedua ibu yang sesekali masih berpandangan marah. “Izin Pak, saya mau pindah rumah saja. Saya tidak mau bersebelahan dengan Bu Joni lagi,” ujar Bu Guruh dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Bu Guruh memang lebih sensitif, beda dengan Bu Joni yang berapi-api. “Memang kamu pikir saya mau sebelahan sama kamu. Tukang ambil air! Pelit juga! Anak-anaknya selalu menangis karena gak pernah dikasih makan,” balas Bu Joni sengit. “Tolong sampean jangan sembarangan ya, Bu. Saya tidak pernah curi air! Ibu sendiri itu yang mengada-ada. Anak saya memang suka menangis karena cengeng, Bu,” balas Bu Guruh tak kalah sengit. Suasana mulai memanas. “Bu, sabar kenapa sih? Malu sama Danki,” bisik Pak Guruh. “Sudah, kita pulang saja. Kita selesaikan sendiri! Kamu bikin malu saja!” ujar Pak Joni yang terlihat sedikit marah. “Bisa tenang?” sindir Kak Erlan terlihat marah. Baru kali ini kulihat wajahnya itu merah padam. “Praka Joni dan Praka Guruh, tolong jaga keluarga masing-masing. Urusan keluarga itu kalau bisa diselesaikan sendiri! Jangan sampai melibatkan orang lain. Kalau sudah begini kan malah runyam. Kalian ini sudah dewasa. Mau perbuatan kalian dicontoh sama anak-anak kalian? Hidup di asrama itu harus saling berbagi dan memahami, apalagi antar tetangga. Semua bisa dibicarakan baik-baik tidak usah pakai urat.” Wejangan Kak Erlan membuat keempat orang di depannya itu menunduk diam.                 Aku juga hanya bisa diam dan mendengarkan wejangan yang diberikan suamiku. Ini juga pelajaran yang berharga untukku. Apalagi saat ini aku sedang menghadapi tetangga super annoying pakai banget. Ngeri juga kalau aku sampai berantem sama Mbak Tania. Apalagi membayangkan kemarahan suamiku nanti. Makanya Abel, kamu sabarnya dibanyakin! Ujar hatiku sok tegar. “Izin Danki, saya sudah sabar selama ini menghadapi kelakuan Bang Joni yang semena-mena terhadap keluarga saya terutama istri. Mentang-mentang istri saya cuma lulusan SMA, makanya diinjak-injak sama Bu Joni,” adu Praka Guruh. Tangis Bu Guruh makin terisak. Aku hanya membantu memberikannya tisu. “Eh, siapa juga yang injak-injak istrimu. Istrimu itu sendiri saja yang merasa rendah. Makanya jangan pelit sama tetangga biar gak dimusuhi,” ujar Praka Joni membalas Praka Guruh. “Bang, saya tahu kok kalau Abang dan istri sering sekali menyakiti keluarga kami, apalagi menghina anak dan istri saya,” balas Praka Guruh. Suasana makin runyam. Kalau aku berani, sudah kubuat lomba debat tuh. Lumayan mengasah kemampuan lisan prajurit. Duh. “Sudah cukup! Bagaimana istri kalian tidak berantem kalau kalian sendiri saja tidak kompak. Mana jiwa korsa kalian sebagai prajurit? Pak Guruh dan Pak Joni ini kan kepala keluarga? Seharusnya bisa lebih bijak dalam membimbing anggota keluarganya. Jangan malah menyulut permusuhan,” potong Kak Erlan dengan suara tegas. Aduh! Baby A mulai menangis mendengar suara marah papanya. Akhirnya, aku meminta izin untuk membawa Baby A masuk ke rumah. Kutenangkan dia di atas kasur karpet dan kualihkan dengan mainan-mainan kesukaannya. Namun, sesekali aku masih mendengarkan percakapan itu. “Bapak dan Ibu tidak kasihan sama anak bayi saya? Kalau Bapak dan Ibu mau ribut lihat-lihat tempatnya dong! Apa Bapak dan Ibu tidak malu kalau dilihat sama yang lain. Bapak dan Ibu tahu ini dimana? Ini di kompleks perumahan Danki, bahkan di ujung komplek depan adalah perumahan Bapak Danyon dan Wadanyon. Coba sekarang dipikir ulang, apa Bapak dan Ibu tidak malu kalau sampai Danyon, Wadanyon, Danki B, C, D, Dankihub, Dankima, Dankibant, dan atasan yang lain sampai tahu? Apa berantem seperti tadi mencerminkan keluarga prajurit yang santun, beretika dan menjunjung tinggi nilai Pancasila? Apa berantem tadi menyelesaikan masalah atau malah menambah? Buat Bapak-bapak, apa mau sebentar lagi para Ibu ini dipanggil dan ditegur Ketua Persit? Buat Ibu-ibu, apa mau sebentar lagi para Bapak ditegur komandan? Mau mempermalukan kompi kita?” cerocos Kak Erlan panjang kali lebar yang tentu saja bisa menyentil bahkan mengobok-obok hati pendengarnya. “Pa pa pa. Ma en Maen,” celoteh Aiyra mulai riang yang berarti ‘Papa, ayo main’. Aku menatapnya dengan tersenyum. “Nanti dulu ya, Sayang. Papa masih ada tamu,” kataku lembut sambil mengusap keringat di dahi mungilnya.                 Namun Baby A tak mendengarkanku dan malah berjalan cepat menuju Kak Erlan yang masih asyik berceramah. Akhirnya aku mengikuti anakku kembali ke garasi. Aku memberi senyum pada Bu Guruh dan Bu Joni yang wajahnya mulai kacau. Terlihat penyesalan di wajah mereka. Apalagi ketika Baby A mulai mendekati keduanya dan menyapa dengan tawa manisnya. Mereka tampak bersalah karena telah mengganggu kedamaian di pagiku dan membuat Baby A menangis. “Coba sekarang banyak hal yang sudah dirugikan dengan pertengkaran seperti ini ya Pak, Bu? Ini masih pagi waktunya Bapak-bapaknya kegiatan, Ibu-ibunya ngurus rumah dan anak. Sekarang malah diabaikan karena keegoisan orang tuanya,” ujar Kak Erlan sambil menggendong Baby A. Bayi Aiyra memandangi wajah sang papa seolah mengerti apa yang diucapkan kembarannya itu. “Izin Danki, saya pribadi beserta keluarga meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi ini. Mohon maaf juga kepada Ibu,” ucap Pak Guruh pelan. Aku mengangguk dan tersenyum. “Tidak apa-apa, Om. Semoga masalahnya bisa segera diselesaikan dengan baik. Tetangga itu kan seperti keluarga terdekat. Jadi sebisa mungkin harus menjaga kerukunan,” ujarku bijak. Tumbenan Bel? Ya iyalah! “Izin Pak, kalau bisa Bu Guruh dipindah saja ke rumah yang lain,” ujar Bu Joni yang menurutku masih emosi. “Saya juga tidak tahan dengan Bu Joni yang suka meminta makanan,” cetus Bu Guruh kalem. Bu Joni mulai emosi namun sang suami berusaha menahannya. “Bu Joni, pindah rumah di asrama tidak semudah di perumahan biasa. Sudah ada suratnya. Tapi, nanti saya pertimbangkan lagi kalau memang permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan baik,” ujar Kak Erlan yang menurutku sedikit ada unsur menyindir. “Izin Danki, saya akan berusaha menyelesaikan masalah keluarga kami secara pribadi,” ujar Praka Joni tegas. “Selamat Pagi, Danki!” ujar sebuah suara dingin yang memecah pertemuan dadakan ini. Aku lantas menoleh dan mendapati Bang Rahman turun dari motornya. Beliau beserta Ibu, Mbak Rahman atau Mbak Audi yang sedang menggendong bayi Kendra, terlihat tak bersahabat. Kusambut Mbak Audi dengan tersenyum semangat dan mencium pipi kanan kiri. Semoga Mbak Audi tak sadar dengan bau badanku yang seperti bayi baru bangun tidur. “Dek, bisa kita bicara di dalam?” pinta Mbak Audi sambil menuntunku pelan. “Siap, Mbak.” Aku dan Mbak Audi masuk ke dalam rumah. ---                 Mbak Audi meletakkan Kendra di kasur karpet dan dibiarkan bermain dengan Aiyra. Dengan cepat, kusajikan teh lemon dan beberapa cookies kacang sajian khas rumahku. Mbak Audi berdehem kecil setelah meminum tehnya. Mulutnya yang tipis dan wajahnya yang segar terlihat mulai hangat. Tangannya yang halus hangat mulai menggenggam tanganku. “Dek, Mbak tahu kamu sedang diuji,” ujar Mbak Audi halus. Deg! Kayaknya aku bakalan kena ceramah nih. “Jadi istri Danki di usia muda ditambah ibu dari balita aktif seperti Baby A juga tidak mudah. Tapi, Mbak minta kamu jaga kesabaran dan kebijakanmu,” tambahnya halus. Dobel deg! Ada apa ini ya? Aku bakalan disidang atau justru dikuatkan. “Terus terang Mbak kaget mendengar ada pertengkaran antar anggota kompi A, kompi tempat Dek Erlan menjabat. Apalagi yang bertengkar adalah ibu-ibunya. Memangnya Dek Abel ini gak pernah adakan sharing gitu? Atau ngumpulkan anggota gitu? Waktu pertemuan rutin kompi bagaimana, Dek?” tanya Mbak Audi bertubi-tubi. Hiks, tuh kan, aku kena lagi. Ini kembali menyadarkanku lagi bahwa sifat keapatisanku belum hilang. “Siap, Mbak. Izin Mbak, saya memang jarang mengadakan sharing dengan ibu-ibu karena saya pikir mereka sudah dewasa dan bisa menyelesaikan masalah sendiri,” ujarku pelan dan menunduk. “Dek, saya tidak menyalahkanmu juga, mungkin kamu masih belajar membagi waktu antara merawat rumah, anak, dan suami dengan membimbing dan mengayomi anggota. Tapi, saya minta kamu lebih telaten dan sabar ya dalam mengawasi anggota, khususnya ibu-ibu kompi A.” Pesan Mbak Audi seperti menyentil hatiku. Iya juga sih, selama ini aku selalu sibuk sendiri dengan duniaku. Hiks. “Siap Mbak. Terima kasih atas wejangannya, Mbak,” ujarku pelan sepelan-pelannya. Aku tak berani menyanggah karena aku memang salah. “Iya Dek. Saya mohon bantuannya. Saya ini tidak bisa mengawasi satu persatu tingkah ibu-ibu di sini, Dek. Makanya saya butuh wakil. Dek Abel ini kan salah satu wakil saya, makanya saya sangat meminta bantuan untuk membantu saya. Saya tahu Dek Abel masih muda, kadang masih malu menegur ibu-ibu yang usianya jauh lebih tua. Tapi itu sudah jadi tugas kita, Dek. Tugas kita sebagai tertua mereka,” ujar Mbak Audi pelan. Aku mengangguk patuh. Benar juga kata Mbak Rahman. Aku memang tergolong ibu danki terdiam di batalyon. Diam dalam arti tak pernah terlalu mengatur ibu-ibu. Pikirku mereka sudah dewasa dan berumur, dan pastinya tahu dong mana yang salah atau benar. Tapi, ternyata sikap mengatur itu perlu juga ya? “Siap, Mbak.” Jawabanku hanya pendek mengingat aku memang sangat malas berdebat dan diam karena merasa bersalah. Selain itu, jantungku juga sudah berdegup-degup tak karuan. “Ya udah, Dek. Gak apa-apa. Saya gak negur kamu loh, Mbak cuma kasih pesan saja.” Mbak Audi lantas mengelus pundakku penuh kasih. Sama ketika selalu menenangkanku saat dimarahi Mbak Yusa, dulu. “Eh, ngomong-ngomong tembokmu indah sekali ya, Dek? Hasilnya Baby A?” ujar Mbak Audi sambil menahan geli melihat masterpiece Baby A di tembok. “Izin Mbak, iya. Saya tidak bisa menghalangi minat anak, Mbak.” Aku berkata itu sambil menahan geli dan malu. Baby A kamu berhasil Nak, bikin image papa yang maha rapi dan maha keren jadi rusak. “Baguslah, Dek. Kalau di mata seniman, coretan Dedek ini udah masuk kategori lukisan abstrak loh,” ujar Mbak Audi sedikit berkelakar. Aduh, Mbak Audi, Abel boleh gak ngakak dulu? Apalagi setelah melihat wajah polos Baby A yang memandangi wajah Mbak Audi. Sejenak kemudian bayi gimbul itu minta digendong Mbak Audi. Duh! “Siap Mbak,” ujarku sambil menahan tawa geli. ---                 Pertengkaran yang terjadi antara Bu Guruh dan Bu Joni benar-benar memaksaku keluar dari zona nyaman dan aman. Aku yang selama ini selalu bersikap diam, tak pernah mengurusi rumah tangga anggota, dan lebih suka mengurusi hidup keluargaku, kini tak bisa lagi. Aku harus bisa menerima jika memang aku adalah seorang istri danki yang punya banyak anggota dengan masing-masing karakteristik, berasal dari berbagai macam suku dan budaya, serta keunikan-keunikan lainnya. Sedikit banyak aku mulai mempelajari teori menjadi pemimpin yang bijak walau dengan keterbatasanku. Tapi, lagi-lagi aku bingung, bagaimana caranya aku merangkul dan mendamaikan banyak kepala? Hiks.                 Pertengkaran 2 anggota kompi A itu berhasil membuat Kak Erlan dipanggil komandan dan mendapat teguran halus. Kak Erlan masuk ke rumah setelah kedua orang anggota itu berpamitan pulang. Dia mengganti seragam doreng bekas jaga piket dengan baju baru lantas pergi ke rumah komandan. Sementara itu, aku melanjutkan aktivitasku mengurusi Baby A yang mulai mengantuk. Di pukul 11 siang, aku belum mandi dan menyisakan bau keren yang tentunya membuat Kak Erlan bisa pingsan. Untung dia sudah ngacir duluan tanpa sempat menciumku.                 Akhirnya, Baby A tidur dengan damai dan aku bisa puas mandi sambil luluran. Daki-dakiku makin tebal setelah tegang menghadapi ‘perang dunia’ tadi pagi. Mandi selesai, aku telah berpakaian setelan katun motif bunga-bunga warna hijau. Duduk santai di ruang keluarga sambil sarapan masakanku yang sudah dingin. Enak gak enak harus tetap isi tenaga untuk ASI Baby A. Tetiba ponselku yang hening berbunyi nyaring. Lantas kulihat ada nama ‘Ny. Rahman (Danyon)’ berkelip-kelip di sana. Ehem-ehem, kubenarkan suara dan sikap badanku untuk mengangkat telepon Bu Rahman alias Mbak Audi. “Siap Mbak, selamat siang.” Sapaku dengan penuh semangat dan keceriaan membahana. “Selamat siang, Dek. Dek, nanti sore di olahraga voli, tolong kumpulkan anggota yang kompi A setelah saya memberi wejangan singkat ya?” Deg, permintaan Mbak Rahman membuatku kaget dan merinding. Ada apakah di nanti sore? “Izin Mbak, saya kumpulkan dalam rangka apa ya?” tanyaku polos. “Dek, kamu perlu kasih pesan singkat juga buat mereka,” ujar Mbak Rahman yang membuatku dobel deg-degan. Pesan singkat? Semacam kode gitu? Kode apaan? Mikir keras sambil garuk-garuk kepala. “Kamu tahu maksud Mbak kan? Ya semacam wejangan darimu gitulah. Siraman rohani. Kamu kasih ibu-ibu pencerahan biar makin kompak dan solid. Biar meminimalisir terulangnya kembali kejadian tadi pagi,” ujar Mbak Rahman sabar. “Siap-siap, Mbak.” Telepon ditutup. Aku lesu dan layu. Bingung tujuh keliling. Materi apaan yang mau kusampaikan ke Ibu-ibu nanti sore? Materi kuliah tentang psikologi? Udah lupa-lupa ingat gegara sindrom kehamilanku dulu. Materi tentang masak? Kupikir semua sudah pintar masak? Materi tentang kerukunan bertetangga? Aku saja gak suka sama tetanggaku. Nanti aku dikira curhat. Hiks. Apaan ya? “Kenapa Mam?” pecah sebuah suara. Kulirik Kak Erlan duduk di sebelahku dengan lesu. Kapan dia masuk ke rumah? Apa saking bingungnya sampai tak mendengar Kak Erlan mengucap salam. “Eh, Kak Erlan udah pulang? Gimana hasilnya? Dimarahi sama Danyon?” berondongku sambil menatap wajahnya yang terlihat lelah. “Ya gitu deh, Sayang. Gak usah dipikirkan. Itu urusan Bapak-bapak. Kamu kenapa kok kayaknya bingung?” tanyanya perhatian. “Itu juga urusan Ibu-ibu. Gak usah dipikirkan,” balasku cuek. Dia menahan tanganku dan membenamkanku dalam pelukannya. Kudengarkan degup jantungnya yang seirama dengan jantungku. “Sayang, maaf ya aku udah bikin kamu repot juga. Bikin kamu keluar dari zona aman dan nyamanmu. Maaf karena menikah denganku kamu banyak susah,” ujarnya pelan. Aku menatap jakunnya yang naik turun. “Kak, udahlah. Semua ini udah resiko dari pekerjaan Kakak. Tak usah dipikirkan. Kita hadapi aja sama-sama. Walau aku masih muda dan banyak kekurangan, aku mohon Kak Erlan juga sabar. Aku juga minta maaf ya kurang perhatian sama anggota kompi,” balasku yang membuat Kak Erlan menciumku lembut. “Kamu selalu membuatku jatuh cinta. Sarapan sekaligus makan siang yuk, Dek?” tawarnya pelan. “Aku udah makan, aku siapkan untuk Kakak saja ya?” tawarku sambil tersenyum. Dia mengangguk.                 Aku berjalan ke dapur dan menyiapkan makanan untuk suamiku. Sementara itu, kulirik Kak Erlan masuk ke kamar Baby A dan mulai membelai kesayangannya itu. Aku tahu dia merindukan saat-saat bersama anak kesayangannya. Tugas piket dari kemarin membatasi Kak Erlan untuk bermain dengan Aiyra. Belum lagi masalah tadi pagi yang membuatnya makin jauh dengan Aiyra. Ya, kupikir memang kita tak bisa selamanya berada di zona nyaman kan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD