Bab 6 Kesabaran Nabilla

1636 Words
                Menurutku kesabaran itu susah karena hadiahnya itu besar. Kalau sabar itu mudah, pasti hadiahnya cuma rantang, piring cantik, atau payung cantik. Aku sudah membuktikan kalau kesabaran itu buahnya manis. Bukti itu adalah Baby A yang merupakan hadiah terbesar dalam hidupku. Sejak awal pernikahan yang diuji dengan kejudesan, kecuekan, dan keanehan Kak Erlan. Lalu, di tengah pernikahan masalah kembali bermunculan dari penjuru sana dan sini. Lalu, pernyataan cinta Kak Erlan yang sama sekali tak kusangka. Akhirnya, kesabaranku berbuah manis dengan kelahiran malaikat kecil yang sangat kusayangi.                 Tampaknya, kesabaranku kali ini diuji lebih sulit daripada sebelumnya. Setelah lahir Baby A, aku harus menarik kesabaranku lagi untuk merawat dan membesarkan Aiyra. Awal-awal memiliki bayi A yang super duper melelahkan. Aku masih ingat kala itu, aku tak tidur selama 24 jam karena harus menyusui Aiyra setiap dua jam sekali. Menyusunya sangat kuat seperti anak lelaki dan kala itu dia sedang sakit sesudah imunisasi sehingga hanya ASI yang bisa menenangkannya. Hampir saja aku pingsan saat itu karena kelelahan.                 Aku juga masih ingat ketika usia Aiyra masih 7 bulan, Kak Erlan mendadak harus ke Merauke karena urusan dinas yang tak dapat ditinggal. Sedangkan, di asrama sibuk kunjungan Kasad. Lalu, aku ditunjuk sebagai seksi konsumsi yang mengurus bagian makan permakanan. Bayangkan saat itu aku harus jalan ke sana-sini sambil menggendong Baby A yang gimbul dengan tubuhku yang kurus. Belum lagi, aku harus menyusuinya di sela-sela kunjungan. Saking lelahnya batinku saat itu, aku menangis sambil memeluk anakku.                 Tapi semua itu sudah terlewati saat ini. Sekarang Aiyra sudah besar dan mulai mandiri. Dia sudah mengerti kalau sepatu ditaruh di rak setelah selesai dipakai. Kadang kalau pas mood-nya bagus, dia memberesi mainannya sendiri. Kadang juga dia memijat kakiku dengan tangannya yang mungil dan membuatku terharu. Walau lelah merawatnya, aku tak pernah lelah hati. Dia selalu berhasil membuatku bahagia dengan tingkahnya. Persis seperti si papa yang selalu berhasil membuatku tersenyum.                 Kini kesabaranku kembali teruji dengan kehadiran tetangga super ajaib itu. Tetangga yang awalnya kukira ramah dan bakalan jadi kakak yang baik untukku ternyata tidak. Sebulan sejak kepindahannya ke samping rumahku, tak terhitung sudah berapa banyak kata-katanya yang membuatku emosi dan tersinggung. Semua dari ujung kepala sampai kakiku selalu dikomentarinya. Iya kalau enak didengar, aku tak masalah. Lah ini, menyakitkan sekali sampai membuatku ingin minggat saja. Padahal dia masih baru di sini tapi lagaknya seolah sudah sangat mengenalku.                 Tak hanya ibunya, kedua anaknya yang masih berusia 6 dan 4 tahun juga sangat bandel. Tak terhitung berapa kali Aiyra menangis karena mereka. Bagaimana anakku tak menangis, biskuit s**u favoritnya dihabiskan Edo dan Dimo. Aku bukannya pelit, masalahnya mereka merebut biskuit yang dipegang anakku. Ya jelaslah Aiyra ngamuk. Andai saja Edo dan Dimo mau meminta dengan baik, pasti Baby A memberikannya. Tenang saja, aku sudah mendidik anakku untuk saling berbagi kok.                 Selain itu, tak terhitung berapa puluh mainan Aiyra yang rusak mendadak. Ada boneka yang kepalanya putus, ada mainan kayu bulat jadi segitiga, ada mainan karet yang sudah habis pinggirannya. Lah, mereka kalau mainan model apaan sih? Garuk-garuk kepala dibuatnya. Mau melarang juga gak bisa. Aku gak mau dong merusak imageku di depan anak kecil. Masak iya nanti ada gosip, ‘Tante Erlan pelit’. Gak enak banget kan didengarnya. Merusak wajahku dan nama besar Babang Erlan. Jadi, aku cuma bisa sabarrrrrr.                 Parahnya, ketika tahu anaknya berbuat kenakalan pada anakku, Mbak Tania hanya membiarkannya. Dia hanya berkata bahwa aku harus sabar menghadapi anak-anaknya. Namanya juga anak-anak. Halo, itu bukan alasan pembenaran Mbak. Sikap anak juga hasil didikan orang tua. Ketika tahu anaknya merusak mainan Baby A, Mbak Tania hanya berkomentar halus, ‘Ah gak apa-apa. Baby A kan cucunya Pangdam. Pasti nanti dibelikan lagi’. Dobel halooo, please deh Mbak, gak usah bawa-bawa mertuaku juga keleus. Gak berat tuh bawa-bawa mertuaku? Apa hubungan antara mainan Baby A dengan kakeknya yang seorang pangdam? Hiks. Stop it!                 Keajaiban tetanggaku tak hanya sampai di situ. Suami Mbak Tania alias Bang Yongki juga sedikit ajaib. Memang dia tak nyinyir seperti istrinya, tapi dia ramah. Sangat ramah malah, ramah maksimal banget. Mau tahu keramahannya? Dia manggil aku ‘Dek Abel’! What! Nama panggilan itu hanya untuk keluarga dekatku saja. Daaan, itu gak lazim jadi panggilan di asrama kecuali satu letting. Kan masih banyak panggilan lazim macam Dek Erlan atau Mama Aiyra atau sopannya Ibu Erlan. Kan enak toh? Tepok jidat deh. Tunggu, bukan cuma itu, aku gak tahu Bang Yongki itu punya kelainan mata atau apa. Tapi kadang dia berbicara padaku sambil mengedipkan sebelah matanya. Give me a wink! Serius Bel? Dua rius malah! Aku gak oon-oon amat kok. Aku tahu bedanya mata kelilipan sama kedipan mata. Sabaarrrr Abel. --- “Sayang, aku mau cerita,” ujarku sambil mengelus pundak Kak Erlan yang sudah siap menutup matanya setelah menidurkan Aiyra. Dia menoleh lesu dan menatapku dengan mata setengah mengantuknya. “Apa, Sayangku?” tanyanya pelan. Tangannya yang lembut membelai rambutku. “Kak, mau gak besok pulang dinas bikin pagar dari samping rumah sampai teras belakang?” pintaku tiba-tiba. Wajah Kak Erlan berubah. “Ngapain kok gitu?” tanyanya aneh. Aku bingung harus bercerita dari mana. “Jangan bilang kalau ini ada hubungannya sama tetangga baru kita,” lanjut Kak Erlan yang sudah pasti bisa menebak jalan pikiranku. “Iya Kak,” jawabku pendek dan terpotong karena melihat wajahnya yang malas. Tuh, kan. Kak Erlan gak asyik ah. “Kenapa pula Kakak harus bikin pagar kayak gitu? Buat batasin Mbak Yongki untuk ganggu kamu ya? Bukannya aku udah bilang kalau cuekin aja,” ujarnya mementahkan semua permintaanku. “Ya segampang itu dong, Kak. Sekarang siapa yang mau dinilai minus dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia emang muji Kak, tapi ujungnya juga ngejek. Sebagai contoh dia muji aku cantik. Tapi ujungnya dia bilang aku sering perawatan ke salon karena mertuaku pejabat militer. Katanya suamiku itu pelit karena biarin aku kerja sendiri tanpa pembantu padahal keluargamu kaya. Katanya Mbak Rahman itu sayang sama aku karena aku cantik mulus makanya gak dibolehin main voli. Padahal aku gak pernah main karena harus awasi Aiyra yang super aktif.” Cerocosanku dari Sabang sampai Merauke itu ditampungnya dengan wajah sabar. Sepertinya rasa ngantuknya hilang. “Lalu, kamu tahu gak, Kak? Kalau Bang Yongki aneh. Masak dia sering kayak gini sama aku,” ujarku lantas menirukan kedipan yang sering diberi Bang Yongki. Kak Erlan menahan geli dan kesalnya. “Ah, masak gitu sih, Sayang? Gaklah, kamu salah lihat mungkin. Besok coba aku buktikan kalau kita ngobrol bareng,” ujar Kak Erlan. “Ya gak mungkinlah dia tunjukin kalau ada kamu, Sayang,” ujarku lemas. Dia terkekeh pelan karena takut membangunkan si kecil. “Ya udahlah, kamu jutekin aja Bel. Kamu bisa kan akting judes?” usul Kak Erlan. Mana bisa wajah polosku ini jadi judes Kakaaak. Hiks. “Dih, Kak Erlan gak kasih solusi nih! Udah ah, tidur aja sana. Sebel,” keluhku sambil memunggunginya. Bagaimana sih caranya membuat suamiku yang cuek ini mengerti. “Gak bisa ya Kak kita pindah rumah? Atau dia gitu yang pindah?” cetusku. Kak Erlan menarikku dalam pelukannya. “Sayang, mana bisa kita ngatur orang kayak gitu? Kamu kan tahu satuan ini bukan punyaku. Kamu harus kasih contoh toleransi, Sayang. Mau gimana lagi, sudah kayak gitu keunikan keluarga mereka,” ujarnya berbisik di telingaku. “Iya, kita toleransi, mereka tidak,” ujarku sedih. “Ya mau gimana lagi, Dek. Itulah suka dukanya hidup di asrama. Bukan cuma kamu aja yang ngalamin Sayang,” ujar Kak Erlan lembut. Aku mulai sadar setelah Kak Erlan berkata begitu. Ya Allah, apa aku ini kurang sabar ya? Jadi harus kutarik sejauh apa kesabaranku ini? “Gak bisa ya Kak kita pindah aja dari asrama? Rumah Kak Erlan kan nganggur tuh ditempati kalau sabtu minggu doang,” ujarku membujuknya. “Bel, Mama Aiyra, bukannya gak mau, tapi gak boleh. Aku diatur peraturan satuan, Bel. Mana bisa dilanggar kayak gitu,” ucap Kak Erlan lembut. Over lembut hingga membuatku tak bisa membantah lagi. “Ya nanti aku buat pagar dari bambu aja ya? Biar besok dibuatkan sama anggota yang nganggur. Pagar bambu pendek gitu kan gak terlalu terlihat kalau kita membatasi mereka. Mau gimana lagi, Sayang? Lebih baik kita yang mengalah, kan?” ujarnya kalem. Aku lega karena dia mengabulkan keinginanku. Aku berbalik dan menatap wajah tampan mengantuknya. “Makasi ya Papanya Aiyra. Kak Erlan selalu saja menyayangiku,” ujarku membalasnya. Kucium bibir merah tipisnya. Dia membalasnya. Aku membalas lagi. Dia membalas lagi. Sampai akhirnya napas kami semakin cepat. Aku tahu dia menangkap kodeku untuk itulah. Dia menyentuh pipiku dan mencumbui kedua mata bulatku. Namun, lagi-lagi Baby A merengek pelan. Membuyarkan aksi 18++ itu. Huwa, anakku bangun dan meminta s**u. Akhirnya, aku mengangkat Baby A dari boks bayi dan menidurkannya di tengah-tengahku dan Kak Erlan. Aku menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Baby A memang sudah meminum sufor, tapi dia tetap suka ASI. Kak Erlan yang hilang ngantuknya hanya menatap kami lekat sambil tersenyum. Tangannya yang hangat itu membelai rambut kami bergantian. “Princess-nya Papa ini selalu saja bangun saat papa dan mama nyicil rambut adik barunya,” goda Kak Erlan yang membuatku ngeri. Di saat semua pasangan berlomba membuat anak kedua, aku dan Kak Erlan masih sepakat untuk menundanya. Kami sepakat untuk membesarkan Aiyra dengan baik dulu. Aku juga belum siap membagi perhatian dengan adiknya nanti. Aku takut ketidaksiapanku malah melahirkan sifat pilih kasih. “Aiyra ngerti kok hawanya orang bermesraan itu beda,” timpalku pelan sambil mencium kening Baby A yang mulai tidur lagi. “Iya ya, emang harusnya kita ke kamar sebelah, Mam.” Aku tersenyum mendengar penuturan Kak Erlan. Kami akhirnya memutuskan untuk tidur bertiga di malam ini. Memeluk Baby A di tengah-tengah kami dengan hangat. Sebenarnya memang sejak bayi Baby A ditidurkan di boks karena untuk mendidiknya mandiri semenjak kecil. Tapi, tak jarang juga kami tidur bertiga. Terutama jika Baby A sedang sakit. Rewel bukan main dan membuatnya tak bisa jauh dari ASI. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD