Bab 14 Jealousy

1292 Words
                Seorang Kak Erlan memang pribadi yang sangat hangat. Tapi dia juga seorang lelaki yang sangat menyeramkan ketika sedang cemburu. Kurasa semua wanita akan iri padaku kalau tahu bagaimana sikap Kak Erlan ketika cemburu. Masih ingat ketika dia merampas telepon dari tanganku? Saat itu telepon dari Kak Imran berdering berulang, itu loh, saat aku menerima calon pasangan suami istri yang menghadap sebelum menikah. Dengan gampangnya dia mengangkat telepon Kak Imran dan berceloteh judes. Dan dengan gampangnya, dia mengeluarkan kartu SIMku dan memutuskannya jadi 2. Walau alasan pertama adalah menghindarkan keluarga kami dari gosip. Tapi, alasan kedua yang terkuat adalah karena dia cemburu.                 Barusan yang paling fresh, adalah dia menggertakkan gigi sambil menyebut nama Bang Yongki. Akhirnya, dia mendengar langsung Bang Yongki memanggil nama kecilku. Seketika wajah gantengnya menjadi sedingin Laut Pasifik. Dingin sekali hingga aku tak berani menatapnya saat makan malam. Dia hanya menyendok nasi dan sayur daun singkong sambil menggigit ayam goreng dengan cuek. Sesekali dia menimang manis Aiyra yang sedang ngemil buah pisang. Padahal Bang Yongki hanya menyebut nama kecilku, eh, dia sudah secemburu ini. Dia bilang tadi ketika memandikan Aiyra bahwa aku salah. Seharusnya aku menolak tegas ketika Bang Yongki memanggil begitu. Okay, siap salah Bapak! “Siap salah, Pak!” ujarku tegas sambil memandangi wajahnya. Tanganku memberi hormat kepadanya. Kak Erlan menurunkan tanganku tanpa menanggapi tingkah aneh dariku. Dia keluar kamar setelah menemani Aiyra tidur. “Kamu harus tegas sama orang kayak gitu. Tamu gak akan masuk rumah kalau pemilik rumahnya kunci pintu,” ujarnya judes. Seolah aku sudah melakukan perselingkuhan saja. Aduhai Bapak Erlan, tolong jangan begini kenapa sih? “Iya, Kak. Aku tahu aku emang kurang tegas. Tapi, aku gak akan macam-macam kok. Pesan Kak Erlan pasti kuingat nanti. Udahan dong juteknya,” ujarku sambil bersandar di pahanya. Dia terlihat dingin sambil membaca buku berbahasa Inggris. “Do not always say ‘there is still time’ or ‘later’. Do it right away, use your time wisely,” dia menceramahi tentang aku tak boleh bilang ‘nanti’ atau ‘lain kali’, kalau bisa lakukan sekarang ya sekarang, bijak Abel. Busyet, jadi sekarang aku harus marahin Bang Yongki atas perbuatan nistanya tadi? Harus ya aku teriak-teriak ke rumah sebelah sekarang? “Iya Kak. Jadi aku harus marah ke Bang Yongki sekarang gitu kah? Harus ya, Kak?” tegasku berusaha membuatnya lunak. “Problem always there, but how big a problem it depends on how you see it,” ceramahnya lagi yang berarti masalah selalu ada, seberapa besar masalah tergantung dari cara kita melihat masalah itu. Duh, kuliah dadakan gitu ya, Bang? “Kamu tahu maksudku kan, Bel? Kamu mendiamkan saja karena kamu pikir masalah panggilan kecil itu bukan masalah besar. Tapi, kamu gak tahu kalau masalah besar berawal dari yang kecil kan? Aku cuma berusaha memutus itu terjadi,” tegasnya jutek. Itulah caranya menunjukkan kecemburuannya. “Iya Kak, aku ngerti kok. Aku mengerti dan akan tegas sekarang. Tadi aku mendiamkan karena bingung Aiyra menangis. Lain kali aku akan cegah itu terjadi lagi. Okay, udahan dong marahnya Kak. Udahan cemburunya dong.” Aku berusaha membujuk lelakiku ini. “Lain kali? Lagi? Oh, kamu mau lagi dipanggil itu? Don’t talk to him, except totally urgent. Cemburu? Bukan cuma sekedar itu, peringatanku berlaku buat semuanya. Jangan terlalu menanggapi Mbak Tania kalau gak penting banget. Aku gak suka kamu bikin atau ngulang masalah yang ada. Halo Dek Abel, masih ingat kan adegan Bu Guruh dan Bu Joni? Insiden Kepala Dek Abel! Ingat?” ceramahnya serius disertai sindiran judes yang membuatku ingin membisu. Diam saja kamu, Bel! Serem sekali bukan cemburunya? Mirip dengan petir menggelegar di langit malam ini. “Iya Sayang. Aku salah,” ujarku pasrah. Pasrah saja sikap terbaik saat ini. “Buat apa sih Kak Erlan marah seseram ini? Kalau Kak Erlan marah sebesar ini cuma karena takut aku bakalan aneh-aneh sama Bang Yongki, aku akan jawab itu dengan lantang Kak. Buat apa aku tertarik sama lelaki lain, kalau aku punya suami sesempurna Kakak. Kak Erlan sudah cukup untuk seorang Abel. Aku gak butuh laki-laki model pangeran arab atau apa. Kak Erlan sudah cukup,” ujarku manis sambil menatapnya lekat. “Dek Abel, aku tahu kalau itu Sayang. Tapi pandangan tetangga? Pandangan asrama? Aku cuma menjaga kesan kita Sayangku. Kamu mau terus-terusan jadi sensasi di asrama? Kayaknya mereka masih ingat insiden Abel dan Nyonya Yusa deh,” sindir Kak Erlan lagi. Salah ngomong lagi kan aku? Aku tak bisa menjawabnya lagi selain hanya merengkuh pelukannya. Aku menyerah berdebat denganmu, Kak. Aku lelah dan hanya bisa menangis di pelukannya. “Maaf kalau Abel cuma jadi ‘elek-elekan’ Kak Erlan,” ujarku pelan sambil merendahkan diriku jelek. Dia mengangkat wajahku kemudian menghapus air mataku pelan. “Abel, cemburuku bukan sekedar kecemburuan anak muda. Aku sudah kepala 3, Sayang. Aku mikir jauh ke depan. Kita ini sekarang panutan, sorotan. Semua anggota kompi A dan asrama ini melihat ke arah kita. Rusak s**u sebelanga akibat nila setitik. Kamu mengerti, kan?” tanyanya halus. Kedinginan hatinya mulai menghangat ketika air mataku berjatuhan. “Maaf kalau aku kasar dan judes. Semua demi kebaikanmu, kebaikan keluarga kita. Kamu bukan aibku kok, kamu segalanya buatku, Dek,” ujar Kak Erlan sambil memelukku erat. Tuh kan, diobati juga luka di hatiku dengan ajaib olehnya. --- “Sayang, getaran ponselmu ganggu banget nih. Aku gak konsen kerjakan paparan. Angkat gih!” ujarnya kesal saat aku menonton TV di jam 12 malam. Aku tak bisa tidur karena menunggunya mengerjakan paparan. Kulihat tangannya di daun pintu melambai sambil mengacungkan ponselku yang menyala. Siapa gerangan yang mengganggu keheningan benda itu? “Angkat saja, Kak,” ujarku malas. Siapa pula yang menelepon ibu-ibu di jam 12 malam? Pasti cuma nomor anak alay? Cuekin ajalah!                 Aduhai, tunggu sebentar. Anak alay yang sering meneleponku jam segini kan cuman…him! It’s him! Yaps, mantan terkutuk itu, Imran. Semoga salah. Semoga salah! Semogaaaaa! Semoga bukan dia. Kayaknya aku harus segera merampas ponsel itu sebelum dia mengangkatnya. Ya Allah semoga dia menyentuh paparannya dan mengabaikan ponsel alay itu. Namun, “Halo siapa nih?” tanyanya judes. Ya iyalah orang mana yang gak judes angkat telepon di jam mbak kunti jalan-jalan nih. “Abel?” jawab suara dari seberang. Bodohnya Imran. Sudah tahu yang angkat suara lelaki yang pasti suamiku, kenapa pula dia harus bicara sih? “Siapa nih?” tanya Kak Erlan makin judes. Dia meminggirkan laptopnya dan melirikku yang sudah terpaku di tengah pintu. “Siap Bang, selamat malam,” jawab Imran bodoh. Stupid people! Hiks. Ngilang yuk Bel ke merkurius! “Imran? Oh, apa kabar mantannya Nabilla yang cantik?” sindir Kak Erlan sinis sambil tersenyum tajam. Pindah ke pluto yuk Bel! “Siap Bang, kabar baik Bang. Izin, Abang sekeluarga baik, Bang? Baby A sudah tidur, Bang?” berondong Imran yang malah membuka obrolan. Tutup teleponnya, Oon! “Oh, baik kok. Darimana kamu tahu Baby A? Kamu sudah tahu kalau kami sudah beranak? Cantik kan anakku? Mirip sama aku, kan? Kalau jam segini kayaknya Baby A sudah sampai London tuh. Kenapa? Mau ngomong apaan sama Abel? Bilang ke aku saja,” ujar Kak Erlan judes, dingin, galak, sinis, dan sikap-sikap menakutkan lainnya. Aku berusaha merebut ponsel alayku namun Kak Erlan memberiku isyarat dengan ujung telunjuknya. Dia menunjukku untuk duduk di kasur sambil berkata ‘stay!’. Hiks. Iya, aku mau stay di bulan aja, Kak. Gak kuat menghadapi makhluk bumi yang jahat-jahat. “Izin Bang, saya hanya menanyakan kabar Abel kok. Saya juga hanya ingin berteman dengannya,” ujar Imran pelan dari seberang. Nyalinya pasti ciut. Sudah kubilang kan dia sedang berurusan dengan siapa. “Kamu pasti lebih tahu kabarnya, kan? Maaf, permintaanmu kujawab saja. Aku gak izinin istriku berteman dengan lelaki lain. Clear?” Mimpi buruk dari sebuah kecemburuan Kak Erlan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD