2. Tak Termaafkan

1459 Words
Adrian mengabaikan penampilannya yang berantakan dan langsung mengejar Susan. Kepalanya masih sangat pening, jalannya sempoyongan. Beberapa kali dia jatuh karena terantuk batu atau ranting halaman rumahnya. Kondisi fisiknya yang tak lemas dia tahan karena ada urusan yang lebih penting. Mengejar anak dan istrinya. Pria itu masih bingung apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Yang dia ingat, seharusnya hari ini istrinya sudah berada dalam perjalanan ke Tokyo. Namun, semua kacau balau. Semakin kacau dengan kejadian yang baru saja dia alami. "Susan! Dengarkan penjelasanku! Susan!" Adrian masih mengejar Susan yang berlari bersama anak-anak. Seandainya saat ini dia dalam keadaan normal dengan tenaga penuh, pastilah dia bisa mengejar mereka. Namun, saat ini, jarak tetap tercipta. Apalagi Susan memaksa Alan dan Liana untuk berlari sekuat tenaga. Saat ibu dan kedua anaknya itu berhasil mencapai tempat mereka memarkir mobil, Susan bergegas menyuruh anak-anak masuk di jok belakang. Dia lalu duduk di kursi kemudi dan mengunci pintu mobil secepatnya. "Susan! Sue, dengarkan penjelasanku! Ini semua hanya salah paham!" Adrian menggedor kaca mobil meminta Susan untuk keluar dan mendengar pernyataan yang lebih lengkap darinya. Namun, siapa wanita yang sanggup menahan rasa kecewa dengan kelakuan suami mereka yang seperti itu. "Apa yang akan kau jelaskan lagi, Pengkhianat! Semuanya sudah sangat jelas! Sangat jelas!" jerit Susan dari dalam mobil di tengah linangan air mata. Isak tangis Susan terdengar sangat jelas walaupun suasana gelap dan raut mukanya tak terlihat. Bagaimanapun juga, melakukan hubungan terlarang adalah pelanggaran dalam sebuah pernikahan. Susan bukan tipe wanita yang akan bisa tenang menyaksikan hal seperti itu terjadi pada wanita lain. Apalagi bila hal biadab itu terjadi di rumah tangganya sendiri. Karena itulah, Susan segera menyalakan mesin dan melajukan mobilnya tanpa menghiraukan lagi perkataan Adrian. Wanita itu pergi dengan hati penuh luka. Tak menyangka bahwa pernikahan bahagianya akan berakhir dengan mengenaskan. Sementara itu, si kembar berpelukan dalam kondisi ketakutan di jok belakang. Kedua anak tak bersalah itu kebingungan dengan peristiwa yang mereka sedang alami saat ini. Hanya wajah panik yang saat ini mereka tampakkan. Napas keduanya yang memburu terdengar jelas sehingga siapa pun akan bisa mengerti kondisi mereka saat ini. "Bencana!" bisik Alan kepada Liana. "Ayah dan Ibu bertengkar." "Apakah Ayah dan Ibu akan berpisah seperti orang tua Marsha?" bisik Liana gemetaran. "Marsha menceritakan padaku sesuatu yang seperti ini terjadi dengan orang tuanya. Mereka bertengkar hebat dan ibunya pergi dari rumah." "Kau terlalu banyak bergosip, Li!" ujar Alan. "Ini pertama kali Ayah bertengkar dengan Ibu. Jadi, mereka pasti akan baik-baik saja." Liana menggeleng. "Oh, Alan! Kau sungguh tak mengerti perasaan wanita. Sekali disakiti, tak akan pernah mau kembali lagi." Alan hanya tersenyum kecut mendengar perkataan Liana yang sudah kedengaran seperti drama televisi yang sering ditonton oleh Susan saat senggang. Walaupun Ibu mereka tak mengizinkan ikut menonton, Alan sering mendapati Liana mencuri dengar dialog dalam drama. Alan sendiri tak tertarik dengan hal seperti itu. Dia lebih memilih bermain dengan robot-robot, membongkarnya, kemudian memasang mereka lagi seperti semula agar Susan tak memarahinya. Bila tidak, Alan akan menenggelamkan diri dalam buku cerita detektif yang dia sukai. Bagi Alan, kegiatannya yang seperti itu lebih elegan dan dewasa daripada kegiatan Liana yang gemar menguping dan bergosip. "Ayah telah mengkhianati Ibu. Tamatlah riwayat keluarga kita." Liana berkata pelan sambil membanting punggungnya ke sandaran belakang yang empuk. Dia menarik boneka kelinci dan memeluknya erat. Air mata pun mulai menetes di sudut mata gadis kecil itu. "Semoga saja tidak," sanggah Alan tak kalah pelan. Susan yang mendengar percakapan si kembar merasa bersalah kepada kedua anaknya. Mereka tak seharusnya menyaksikan sendiri peristiwa nista seperti tadi. Apa boleh buat. Susan tak menyangka keduanya akan bangun dan mengikuti dirinya masuk ke rumah. Kalau saja dia tahu kejadiannya akan seperti ini, dia akan melakukan hal lain untuk mencegahnya. Wanita itu khawatir malam ini akan menjadi kenangan yang sangat buruk untuk mereka. Kejadian traumatis yang akan berpengaruh buruk akan perkembangan mental mereka di masa depan. Susan mengembuskan napas lalu menoleh ke belakang. Dilihatnya si kembar yang saat ini mulai kembali terlelap. Air mata Susan kembali menetes. Dia harus tegar demi anak-anak. Dia tak boleh menyerah dengan beratnya keadaan. Selintas, Susan teringat kembali perkataan Bella yang marah saat pesta beberapa waktu lalu. Saat ini, Susan merasa bahwa dirinya telah dikutuk oleh penyihir jahat bernama Bella. Dia menyesal telah membuat Bella sakit hati dan mengungkapkan kutukan nahas ini. Mengapa semua penyesalan selalu datang belakangan? Dengan hati hancur, pikiran runyam, dan air mata bercucuran, Susan melanjutkan perjalanan untuk mencari hotel yang cukup nyaman untuk dia tinggali bersama anak-anak. Dalam suasana hati yang kalut, wanita itu sama sekali tidak menyadari bahwa saat ini ada sebuah mobil sedan hitam yang membuntutinya dari tadi. *** Sementara itu, Adrian yang mengejar Susan berhasil memperpendek jarak. Sekalipun Susan mematikan ponsel agar Adrian tak bisa melacaknya, ternyata suaminya itu tetap berhasil membuntuti tanpa melakukan kesalahan. Tak buruk kemampuan Adrian dalam melacak ke mana sang istri akan mengemudikan mobilnya. Ayah dua anak itu merasa sang istri pasti akan membawa anak-anak ke hotel yang sering dia pakai untuk menginap. Dalam keadaan kacau seperti ini, Susan pasti tak mampu berpikir hal lain dan memilih hal yang familiar untuk dilakukan. Terlalu riskan dan terlalu repot bila ternyata hotel yang dia akan kunjungi ternyata tak nyaman. Namun, perhatian Adrian segera teralihkan oleh sebuah mobil sedan hitam yang mengikuti istrinya dari tadi. Sangat mencurigakan. Mobil itu terlihat mengikuti Susan sejak Adrian berhasil melacak keberadaan Susan. Apa niatnya? Penculikan? Perampokan? Adrian mengumpat keras. Mengapa harus ada pengganggu di saat seperti ini? Dia tak ingin berurusan dengan tikus jalanan di saat yang sangat krusial bagi berlangsungnya keutuhan rumah tangganya kali ini. Untunglah, sepertinya Adrian salah mengira. Mobil itu tak ikut berbelok saat Susan masuk ke area Hotel sss. Sepertinya, pikiran Adrian terlalu runyam. Dia banyak berhalusinasi karena urusan pekerjaan dan rumah tangga. Adrian lalu membawa kendaraan mengikuti mobil Susan masuk ke lahan parkir Hotel sss. Tentu saja dia menjaga jarak karena takut Susan akan kabur sebelum dia berhasil mendapatkannya. Saat mendapatkan slot kosong, Susan segera memarkir mobilnya dengan hati-hati. "Ah, bagaimana aku akan membawa dua anak ini masuk ke dalam?" keluhnya sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Saat itulah, sebuah tangan kekar menepuk pundak Susan dan berkata, "Sue, ayo kita pulang dan bicarakan hal ini baik-baik!" Adrian membungkam mulut Susan yang hampir memekik karena sangat terkejut. Mata wanita itu masih terbelalak tak percaya dengan keberadaan suaminya di parkiran mobil. Ternyata pria yang menyakitinya itu berhasil menyusul dengan mudah. "Apa yang akan kau bicarakan, Brengsék?" sahut Susan dengan mata merah menantang. "Apa kau mau menceritakan betapa panasnya permainanmu dengan pelacúr itu?" "Sue!" "Tak ada yang perlu kau jelaskan lagi, Adrian! Cinta dan masa indah kita telah usai. Kau memilih sekretaris jalàngmu itu daripada kesetiaan dan komitmen dalam pernikahan kita!" amuk Susan menggebu-gebu. Dia mendorong badan Adrian sekuat tenaga agar melepaskan cengkeraman dari bahunya. Tak mudah tentunya karena Adrian adalah pria kekar dengan badan yang terbentuk sangat baik berkat olahraga teratur. "Sue, aku tak pernah berni—" "Kau tak berniat, Adrian! Banyak orang tak berniat melakukan kesalahan. Namun, mereka melakukan hal itu karena ada kesempatan!" potong Susan dengan geram. Gigi-giginya menggertak keras hingga Adrian bisa mendengarnya. Pria itu sangat mengerti bahwa saat ini, Susan tak bisa diajak kompromi. Air mata yang membuat mukanya begitu sembap adalah bukti nyata bahwa telinga dan pikiran Susan sedang tertutup rapat. Adrian terdiam seribu bahasa. Hal ini semakin meyakinkan Susan bahwa pria di hadapannya memang tak layak diperjuangkan. Dia pun tersenyum sinis, menggeleng cepat. Saat ini, Susan merasa sangat bodoh karena pernah mencintai Adrian dengan segenap jiwa, seolah pria itu adalah hidup dan matinya. "Pergilah, Adrian!" bisik Susan nyaris tak terdengar. "Semuanya sudah usai!" Dengan berat hati, Adrian pun mundur. Bukan menyerah. Namun, dia tak ingin membuat Susan merasa tertekan karena keberadaannya di sini yang terus memaksa Susan untuk mendengarkan penjelasannya. Setelah melihat Adrian melangkah menjauh menuju mobilnya, Susan segera membangunkan si kembar. Dia tak ingin terlihat lemah di depan Adrian karena tak mampu mengatasi bagaimana cara membawa kedua anaknya ke dalam. Bagaimanapun juga, Susan bertekad dalam hati bahwa hak asuh si kembar harus jatuh ke tangannya. Dia tak akan menyerahkan harta yang paling berharga baginya saat ini kepada pria yang telah mengkhianatinya, sekalipun Adrian adalah ayah kandung si kembar. Alan dan Liana adalah nyawa bagi hidup Susan. Hanya merekalah yang berhak mendapatkan cinta kasihnya saat ini. Susan bertekad akan tegar dan kuat hanya untuk mereka. Sementara itu, Adrian termenung di dalam mobil. Pria itu menyadari bahwa perasaan cinta Susan untuknya telah habis tak bersisa. Dia harus segera memikirkan sebuah cara untuk merebut kembali kasih sayang Susan dan anak-anaknya. Bagaimanapun juga, dia sangat mencintai mereka. Keluarga adalah hidup matinya. Tiba-tiba saja, mata Adrian membulat. Keningnya berkerut, kemudian berganti dengan senyuman samar. Saat ini, terlintas sebuah ide cemerlang di benak Adrian. Isi kepala Adrian mulai memainkan rencana yang matang. Pria itu sangat yakin bahwa kali ini dia pasti bisa mendapatkan keluarganya kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD