Ingin Pergi Ke Villa

1042 Words
"Maaf jika ini membuatmu marah. Aku tak akan bicara lagi dengan Marcel. Maaf," kata Vanilla. Arvy tak mengatakan apa pun dan menuju ranjangnya dengan melangkah perlahan dan duduk di tepi ranjang. Tak lama kemudian seorang pelayan mengetuk pintu kamar Arvy dan Vanilla membukanya. "Ada apa, Paman?" tanya Vanilla. "Mobilnya sudah siap. Tadi Tuan Arvy mengatakan bahwa dia ingin pergi ke Villa Pantai.” "Baiklah, Paman:” Kemudian pelayan itu pun pergi. Vanilla berjalan ke arah Arvy dan mengatakan bahwa mobil telah siap. "Aku akan mengambil koperku," ucap Vanilla. "Aku tak mengajakmu.” Arvy menolak Vanilla ikut. "Aku tetap akan ikut.” Vanilla tetap akan ikut meskipun Arvy bersikeras mencegahnya. "Kau akan menyesal jika kau ikut," ancam Arvy. "Aku tahu apa yang kuputuskan. Aku akan tetap ikut dan aku tak akan menyesal.” Vanilla pergi ke kamarnya untuk mengambil bajunya yang akan dibawa ke Villa pantai. * * Arvy dan Vanilla kini sudah ada di dalam mobil dan tak ada obrolan di antara mereka. Supir tampak fokus menyetir dan merasakan hawa dingin di antara kedua penumpangnya di belakang. Satu jam perjalanan dilalui oleh mereka hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah Villa yang tak terlalu besar dan berkonsel minimalis. Lalu Vanilla keluar dari mobil dan membukakan pintu Arvy. "Aku bisa buka sendiri.” Arvy turun dari mobil dan menepis tangan Vanilla yang ingin membantunya keluar. "Don't touch me!" kesal Arvy. Sekali lagi, Vanilla hanya diam saja karena dia sudah terbiasa dengan hal ini. Vanilla adalah wanita yang kuat dan hal seperti ini tak ada apa-apanya baginya karena sejak kecil dia sudah terbiasa diperlakukan kasar. Lalu mereka pun masuk ke dalam Villa dan kali ini Paman Supir yang membantu Arvy naik ke atas tangga beranda depan. Vanilla membuka kunci pintu Villa itu. Di sana tak akan ada pelayan dan hanya ada Arvy dan Vanilla saja. Itu artinya Vanilla yang akan mengerjakan semua urusan rumah. Vanilla sengaja tak membawa pelayan meskipun sebenarnya Arvy menyuruh pelayan untuk menyusul. Vanilla hanya ingin berhubungan baik dengan Arvy dan tak ada permusuhan lagi di antara mereka. Mau tak mau Arvy akan meminta bantuannya nanti di sana jika tak ada Pelayan yang melayaninya. * * Vanilla menata semua barang-barangnya beserta barang Arvy juga di dalam lemarinya. Villa itu hanya memiliki satu ranjang besar yang ada di tengah Villa. Villa itu tanpa sekat kecuali kamar mandi dan ada paviliun belakang yang biasanya digunakan pelayan untuk memasak besar dan tempat tinggal sementara pelayan. Vanilla menoleh ke arah Arvy yang sedang duduk di balkon sembari menikmati udara pantai. Tadi Vanilla sudah mengirim pesan pada Izzy bahwa dia dan Arvy sedang berada di Villa pantai. Setelah menata baju dan barang, Vanilla menuju ke arah dapur dan dia lupa bahwa satu pelayannya belum tiba untuk mengantarkan bahan makanannya. Vanilla kemudian menunggu pelayan di depan pintu depan Villa dan tak lama kemudian pria tua itu pun datang. “Thank God,” gumam Vanilla karena pria itu datang tepat waktu. Vanilla harus cepat memasak karena jam makan Arvy akan tiba setengah jam lagi. Vanilla akan memasak makanan simple yang enak karena Arvy pasti akan mencari celah salah dari Vanilla. * Setengah jam kemudian, Vanilla menghidangkan makanan di meja makan yang terhubung dengan balkon. “Makanan sudah siap.” Vanilla memberitahu Arvy yang tampaknya sedang mendengarkan berita dari ponselnya. “Di mana Pelayan?” tanya Arvy. “Tak ada Pelayan di sini dan hanya aku saja yang akan melayanimu,” papar Vanilla. “Siapa kau berani mengatur?” Arvy mulai marah dan tak suka dengan apa yang diputuskan oleh Vanilla tanpa sepengetahuannya. Vanilla tak menjawab apa pun. Lalu Arvy menendang meja di depannya hingga meja itu terbentur pagar balkon. Vanilla tampak terkejut dan memegang dadanya yang berdebar cepat. “Maaf, aku hanya ingin melayanimu,” ucap Vanilla. “Melayaniku?? Kemarilah.” Arvy terlihat marah dan wajahnya begitu dingin. Vanilla melangkah pelan dan berdiri di dekat Arvy. Arvy bisa melihat bayangan tubuh Vanilla yang berdiri di depannya. Pria itu tiba-tiba menarik Vanilla dan menindihnya di atas sofa. “Melayaniku seperti ini maksudmu?” geram Arvy. Vanilla merasa jantungnya akan copot karena tindakan Arvy benar-benar mengejutkannya. “Kau tak memberontak? Jadi jika aku menginginkan pelayanan seperti ini kau tetap akan melayaniku?” tanya Arvy semakin geram. Vanilla tetap diam dan tak bicara karena apa pun yang dia katakan nanti pasti Arvy tetap akan marah. Lalu Arvy mengumpat kesal dan berdiri dari sofa lalu berjalan pelan menuju ke arah dalam. Tanpa terasa air mata Vanilla menetes. Wanita itu segera mengusapnya dan beranjak berdiri kemudian berjalan mengikuti Arvy. Vanilla duduk di samping Arvy dan mengambilkan makanannya. Meskipun marah, Arvy akhirnya tetap makan makanan yang disediakan oleh Vanilla. Vanilla sedikit was-was ketika Arvy mulai mengunyah makanannya. Pria itu tak mengatakan apa pun dan tetap makan. Ada perasaan lega di hati Vanilla melihat Arvy tak marah ketika memakan makanannya. Vanilla berusaha tak mengeluarkan suara sama sekali agar tak memancing kemarahan Arvy. Setelah beberapa menit kemudian, Arvy pun beranjak kembali dari tempat duduknya. Pria itu menuju ke arah balkon lagi karena dia suka mendengar deburan ombak di pantai. Sejak tak bisa melihat, Arvy hanya mendengarkan apa pun yang disukainya termasuk musik. Dia belum siap untuk masuk ke dalam pekerjaannya tapi Arvy tetap menandatangani semua dokumen yang membutuhkan tandatangannya. Arvy masih ingin adaptasi dengan kondisinya saat ini. Emosinya pun masih labil dan dia sangat menyadari hal itu. Kehadiran Vanilla pun semakin membuatnya tak bisa mengontrol emosinya karena dia akan selalu kesal pada wanita yang menyebabkan matanya buta itu. Tak lama kemudian, Vanilla mengantarkan obat untuk Arvy dan menaruhnya di meja bersama segelas air. Arvy pun mengambil obat itu dan meminumnya sekaligus. Lalu Vanilla pergi lagi dari sana dan mengambil bukunya. Selama menjaga Arvy, Vanilla hanya membaca buku saja dan dia melakukannya di belakang Arvy agar pria itu tak terganggu dengan kehadiran dirinya. Vanilla duduk di atas karpet yang ada di belakang sofa lalu mulai membaca bukunya. Suara deburan ombak membuatnya tenang dan dia membuka lembar demi lembar buku yang dibacanya. Sejak tak bisa melihat, pendengaran Arvy semakin sensitif dan dia mulai terbiasa mendengar hal-hal di sekelilingnya meskipun itu hanya suara percikan air atau suara kecil yang tak terlalu penting sekalipun. Arvy mendengar suara lembaran buku yang dibalik dan itu pasti Vanilla. Arvy selalu diberi tahu pelayannya bahwa Vanilla selalu membaca buku sembari mengawasi Arvy dari jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD