Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah tirai menyoroti kamar yang masih sepi. Di luar, hujan yang semalam mengguyur kota mulai reda, meninggalkan kesan udara yang segar dan tenang. Rina melangkah perlahan menuju kamar dengan membawa nampan berisi sarapan—sebuah kesempatan untuk merawat Andri, atau lebih tepatnya, untuk menjaga jarak mereka tetap dekat.
Dengan hati-hati, Rina masuk ke dalam kamar, matanya langsung tertuju pada Andri yang masih tidur nyenyak di tempat tidurnya. Wajahnya yang tenang tampak jauh lebih muda di pagi hari, namun Rina tahu bahwa di balik penampilan itu, Andri adalah pria yang kini memiliki segalanya yang diinginkan banyak orang.
Dia meletakkan nampan di meja samping tempat tidur, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Andri dengan tatapan penuh rencana. Perlahan, dia menyentuh rambut Andri, seolah ingin memastikan bahwa pria itu masih ada di dekatnya, seperti di masa lalu. Rina tahu, kesempatan ini bukan sekadar tentang merawatnya, tapi juga tentang menambah kedekatan mereka dengan cara yang halus.
"Bangun, Mas," katanya dengan suara lembut namun penuh makna, "aku sudah menyiapkan sarapan untukmu." Namun, dalam hati, dia berpikir, ini adalah langkah pertama untuk membawa kamu kembali padaku.
Andri perlahan membuka matanya, merasa seperti baru terbangun dari mimpi yang tak jelas. Kepalanya terasa berat, berdenyut-denyut seperti dipenuhi awan tebal. Saat ia mencoba mengingat apa yang terjadi, sekejap ia terkejut melihat dirinya terbaring di kamar Rina, hanya dibalut selimut. Matanya berkeliaran di sekitar ruangan, mencari petunjuk. Namun, segala sesuatu terasa kabur, seolah ada yang hilang dari ingatannya.
Rina duduk di tepi ranjang dengan nampan makanan di tangannya, seolah tak ada yang aneh. Wajahnya tersenyum dengan lembut, meski ada sesuatu yang tajam di balik senyumnya. Andri memandangnya dengan bingung, otaknya berusaha keras untuk menyusun kembali potongan-potongan ingatan yang terhapus. Kepalanya yang pening semakin memperburuk kebingungannya.
“Rina … apa yang terjadi?” suara Andri terdengar serak, masih tidak jelas, seiring dengan upaya otaknya yang mencoba merangkai kembali peristiwa yang semalam. “Aku … aku tidak ingat .…”
Rina tersenyum lebih lebar, tanpa memberi jawaban langsung, justru menundukkan pandangannya seolah penuh perhatian. "Kamu tenang saja, Mas. Kamu hanya butuh istirahat." Suaranya lembut. Namun, penuh makna tersembunyi.
Andri merasakan ada yang tidak beres. Sesuatu yang tak beres dalam dirinya dan suasana di sekitar mereka. Namun, kepalanya yang masih pusing membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia menatap Rina dengan tatapan curiga, namun tetap merasa terperangkap dalam kebingungannya.
Andri merasa panik, tubuhnya terasa lelah dan bingung, tapi instingnya segera mendorongnya untuk bergerak. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidur dan mulai memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai, tubuhnya sedikit terhuyung akibat pengaruh obat yang masih membuat kepalanya pusing. Tanpa banyak bicara, ia mengenakan bajunya dengan gerakan terburu-buru, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk meninggalkan kamar itu.
Rina, yang masih duduk di tepi ranjang, memperhatikannya dengan tatapan tajam namun tenang. Wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda panik atau ketegangan, justru sebaliknya, senyumnya seolah menyiratkan kepuasan. Dia berdiri dan dengan langkah santai mendekati Andri yang sedang mengenakan bajunya.
"Kamu mau ke mana, Mas?" Rina bertanya dengan nada yang lembut, namun ada tekanan yang tak bisa disembunyikan dalam suaranya. "Kamu masih butuh istirahat. Jangan buru-buru pergi."
Andri menatapnya sejenak, matanya masih penuh kebingungan. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. "Aku harus pergi," jawabnya pelan, suaranya terdengar lebih tegas daripada yang ia rasakan. "Aku harus pulang."
"Laras pasti sudah menunggu ku dengan cemas," katanya pelan, suaranya penuh penyesalan. "Aku harus segera pulang, aku nggak mau membuatnya khawatir."
Andri meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping ranjang. Saat layar ponsel menyala, jantungnya langsung berdegup lebih kencang. Puluhan panggilan suara dari Laras tertera di layar, masing-masing panggilan yang belum terjawab seakan menjadi pengingat akan kebingungannya dan kekhawatirannya. Wajah Laras yang ia cintai, serta perasaan bersalah yang mendalam, semakin menyusup ke dalam pikirannya.
"Ini sudah keterlaluan," pikir Andri, merasa cemas dan bersalah, meskipun ia belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi semalam.
Rina, yang masih berdiri di dekatnya, melihat dengan tajam saat Andri memeriksa ponselnya. Senyum tipis masih menghiasi wajahnya, meskipun di dalam hatinya ada rasa puas. Rina tahu bahwa setiap detik yang Andri habiskan di dekatnya semakin mempererat pengaruhnya terhadap pria itu, meski Andri tampaknya ingin segera pergi.
Andri menatap Rina dengan pandangan tajam, namun rasa bersalah yang semakin dalam membuatnya ragu. Setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk menekan tombol panggilan keluar ke Laras, meskipun perasaannya terbelah antara dua dunia yang berbeda—dunia Laras dan dunia Rina.
Rina melihat Andri yang mulai bergerak menuju pintu dengan cepat, seolah ingin segera keluar dari kamar itu dan kembali ke Laras. Rina, yang tak ingin Andri pergi begitu saja, dengan cepat berusaha mencegahnya.
"Sebentar, Mas" kata Rina dengan nada lembut namun penuh tekad, berusaha memegang tangannya. "Kenapa nggak makan dulu? Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Kamu butuh energi."
Namun Andri, yang sudah merasa cukup cemas dengan Laras, menatap Rina dengan tatapan tegas. "Aku nggak lapar. Aku harus pergi sekarang. Laras pasti sudah sangat khawatir," jawabnya, suaranya datar. Namun, penuh ketegasan.
Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, Andri melangkah cepat keluar dari kamar, mengabaikan tawaran Rina. Ia merasa perlu untuk segera menghubungi Laras dan memastikan semuanya baik-baik saja. Rina berdiri terpaku sejenak, matanya menyipit, menyaksikan Andri yang semakin menjauh.
Dia tahu, Andri mungkin akan pergi untuk saat ini, tapi dalam pikirannya, ada rencana yang lebih besar. Rina masih yakin bahwa kesempatan untuk mendekatkan diri pada Andri belum berakhir, dan dia akan terus berusaha sampai tujuannya tercapai.
***
"Andri," suara Laras bergetar, "dari mana kamu semalaman? Kenapa baru pulang sekarang? Aku sudah berusaha menghubungimu berulang kali, tapi kamu nggak menjawab sama sekali!"
Andri terdiam sejenak, merasa tak nyaman dengan pertanyaan Laras. Kepalanya masih pusing, dan ingatannya tentang semalam masih kabur. Dia menatap Laras dengan rasa bersalah yang mendalam, namun tidak tahu bagaimana menjelaskan kejadian itu.