"Kerjaanku masih lama." Hanya itu yang dikatakan Alisha pada Arya sebelum ia berbalik menatap kanvas yang tadi mendapatkan perhatian penuh darinya.
"Nggak apa-apa, aku tunggu sampai selesai," balas Arya mencoba mengembangkan senyum senatural mungkin demi menutupi dentuman jantungnya yang menggila.
"Tapi di sini..." Alisha menghentikan kalimat sesaat karena kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mengamati suasana lantai dua yang bisa dibilang sepi. Hanya ada seorang tukang yang mengecat dinding di sisi balkon selain dirinya sendiri dan Arya.
"Sepi?" tebak Arya langsung diangguki Alisha. "Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, Sha. Aku cuma pengen ngobrol setelah sekian lama kita nggak ketemu. Please," sambung Arya setelah membuang napas panjang.
"Ada yang cemburu atau marah kalau aku nemuin kamu gini?" tanya pria yang mengenakan jaket kulit berwarna cokelat muda itu saat melihat Alisha masih bungkam. "Danesh mungkin."
Alisha langsung memicingkan mata saat Arya menyebutkan nama Danesh. Sedikit keheranan karena pria itu tiba-tiba menyebut nama Danesh.
"Mas Danesh nggak cemburuan kok, lagian dia masih sibuk kerja." Alisha ingat kalau tadi pagi saat mengantarnya ke kantor, Danesh sempat bercerita kalau malam ini ia ada meeting penting dengan calon client yang potensial. Oleh karena itu malam ini Danesh juga tidak bisa menjemputnya di kantor maupun di cafe.
"Kelihatannya hubungan kalian sangat dekat," lirih Arya saat mengaduk minumannya.
Alisha enggan menjawab, jadi ia sengaja tutup mulut dan kembali sibuk dengan pekerjaan yang tinggal sedikit. Perempuan berambut pendek itu yakin kalau ia bisa menyelesaikan lukisannya malam ini jika bisa tetap berkonsentrasi tanpa terdistraksi dengan kehadiran Arya.
Melihat Alisha diam, Arya ikut tak bersuara karena tak ingin mengganggu fokus Alisha. Lebih cepat selesai lebih baik kan? jadi nanti ia bisa lebih leluasa berbincang dengan pemilik hatinya selama ini.
Hampir satu jam Arya memaku sabar saat menunggu Alisha menyelesaikan lukisan abstraknya. Saat melihat Alisha mencuci tangan dan melepas apron yang dikenakan, barulah pria itu mendesah lega. Lukisan Alisha selesai dengan hasil sempurna. Meski Arya tak terlalu paham dengan karya seni, tapi ia mengakui kalau hasil lukisan Alisha begitu memukau mata.
Alisha tak langsung mendekati meja Arya saat selesai merapikan alat lukisnya. Perempuan itu justru menempelkan ponsel di telinga untuk menghubungi Serra, pemilik cafe ini.
"Oke, Kak. Aku masih di cafe kok, tadi dibikinin sajen banyak banget sama pegawai Kakak." Alisha terkekeh saat berbincang dengan lawan bicaranya di telepon. Arya ikut tertular senyum saat melihat lengkung manis menghiasi wajah Alisha, meski jelas-jelas ia tahu senyuman Alisha tak tertuju padanya.
"Jadi, mau bicara apa?" Alisha sempat melirik arloji berwarna biru tua di pergelangan tangannya saat melayangkan tanya.
"Kamu keburu?" Arya justru balik bertanya. Ini masih jam delapan malam, jadi ia berharap Alisha tak tergesa-gesa pulang. Karena ia berharap bisa berbincang dengan tenang.
Alisha mengusap jemarinya yang terkena noda cat. "Nggak keburu banget sih, cuma ada yang nungguin aja di rumah. Jadi kepikiran kalau pulang terlalu malam, asisten rumah tangga aku pulang sore soalnya. Nggak nginep."
"Ditungguin Magika?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Arya. Namun tetap saja sukses membuat wajah Alisha menegang sesaat.
"Bu- bukan gitu," jawabnya mendadak terbata-bata.
Arya mengangguk pelan seolah paham, padahal ia sama sekali tak punya tebakan siapa yang tengah menunggu Alisha pulang. "Aku cuma mau ngomong sebentar kok, nggak akan makan waktu lama."
"Ya udah buruan ngomong, habis ini aku masih ada janji sama pemilik cafe soalnya." Alisha masih ingat bahwa Serra yang tadi ia hubungi mengatakan akan mampir ke cafe malam ini. Perempuan itu berkata tetap ingin melihat secara langsung hasil lukisan Alisha meski Alisha sudah memotret dan mengiriminya lewat pesan singkat.
"Kamu sibuk banget kayaknya, Sha. Selain kerja di Less Giant, ternyata kamu ambil pekerjaan di luar kayak gini. Kesehatan kamu lebih penting, Sha." Arya mengucapkan kalimatnya dengan nada tenang. Pun demikian dengan raut wajahnya yang ia pasang seramah mungkin tanpa terkesan menggurui.
Sejujurnya bukan hanya kesehatan Alisha yang sedang dikhawatirkan Arya. Namun juga tumbuh kembang Magika jika Alisha terlalu sibuk bekerja seperti saat ini. Tapi Arya sadar diri akan posisinya, mereka bukanlah sepasang manusia yang menjalin hubungan asmara seperti tahunan lalu. Jadi ia juga tak berhak mengomentari kehidupan Alisha terlalu jauh.
"Aku sangat mencintai pekerjaanku kok, jadi aku nggak merasa terlalu lelah juga kalau menghabiskan waktu dengan menggambar seperti ini," respon Alisha melarikan pandangan pada hasil lukisan yang ada di dinding belakang Arya.
"I know, but..." kalimat Arya kembali tertelan karena tak mampu menyuarakan keberatan.
"Kamu cuma mau ngomong itu, Ya?" potong Alisha kembali mengamati arloji di tangannya.
Arya sontak menggeleng gelagapan. Kalimat pamungkasnya belum ia utarakan, tapi Alisha sudah nampak kebosanan. "Tentu saja, nggak!"
"Terus mau ngomong apa? Aku harus balik," desak Alisha tak sabar sambil memasang wajah gusar.
Arya mengambil napas panjang lantas menghembuskannya perlahan. Dengan sepasang mata yang masih fokus pada Alisha sembari mencoba membaca raut wajah perempuan itu.
"Magika," seru Arya lantas terjeda lantaran jantungnya mendadak berisik gelisah. "Bisa aku ketemu sama anakku, Sha. Sebentar saja, kumohon."
***
Arya tak bisa tidur tenang. Jangankan memejamkan mata, sejak sampai di rumahnya, pria itu bahkan tak bisa beristirahat atau sekedar berpikir jernih semenjak perbincangannya dengan Alisha berakhir beberapa jam lalu.
Arya juga masih sangat ingat raut wajah Alisha yang terkejut begitu ia mengutarakan ingin bertemu dengan putri kecilnya, Magika. Alisha memang tak menolak permintaan tersebut, tapi tetap saja jawaban singkat Alisha membuat Arya tak bisa tenang sampai sekarang.
"Kamu yakin mau ketemu sama Magika?" respon Alisha tadi.
Arya mengangguk mantap. Dua tahun lalu, sebelum ia berangkat ke New York untuk kedua kalinya, dengan tegas Alisha meminta satu syarat yakni menjauhi dirinya dan juga Magika. Namun sekarang, Arya sangat berharap kalau kekecewaan di hari Alisha sudah lenyap seiring dengan berjalannya waktu.
"Sangat yakin, Sha. Tolong ijinkan, sudah dua tahun lebih aku tersiksa karena nggak bisa bertemu dengan kalian berdua."
Alisha diam tak menjawab pernyataan Arya. Namun sikap diam perempuan cantik itu justru memantik banyak tanya di benak Arya.
'Kenapa harus tak siap untuk sekedar menemui putri kecil yang sudah sangat dirindukan selama ini?'
Pertanyaan sederhana itulah yang mengusik Arya hingga diri hari. Hal serupa yang sebenarnya juga terjadi pada Alisha. Di tempat lain, perempuan itu sedang bermuram durja karena tak menyangka akan bertemu dengan pria di masa lalunya seperti tadi. Ditambah lagi dengan permintaan Arya yang membuatnya tak tenang hati sampai saat ini.
"Seharusnya kamu nggak pernah muncul lagi, Ya," gumam Alisha dengan jemari menyentuh foto lawannya bersama Arya.
Alisha beranjak dari tempat tidur menuju meja rias. Kembali menyembunyikan satu lembar fotonya dengan Arya ke dalam buku dan menyembunyikannya hingga bagian laci terdalam. Seharusnya ia tak membuka kenangannya lagi agar hatinya tak bimbang dan penuh rasa bersalah seperti ini.
"Daripada kita kembali saling menyakiti, lebih baik tak bertemu lagi untuk selamanya. Bukankah ... dia yang menyatukan kita sudah tidak ada." Alisha menunduk menyembunyikan air mata yang menyeruak ke permukaan.
Semua orang yang mengetahui kisah masa lalunya dengan Arya menganggap pria itulah satu-satunya sosok yang patut disalahkan atas derita Alisha. Namun di sisi lain, Alisha juga menyalahkah dirinya sendiri atas kenyataan yang selama ini ia tutupi. Kenyataan tentang Magika, putri kecil yang kini tak bisa ia rengkuh dan hujani kasih sayang sebagaimana mestinya.
***