Giordan Abraham

1366 Words
Mobil yang membawa Naira berhenti di depan pintu gerbang tinggi yang terlihat kokoh. Semak belukar tumbuh tinggi di luar gerbang tinggi tersebut. Tak ada satu rumah pun di sekitarnya, sejauh mata memandang hanyalah alang-alang saja yang terlihat. Sopir keluar membuka gerbang besar tersebut. Naira hanya mengamati dari dalam mobil sambil memeluk tas besar di pangkuannya. Beberapa jam yang lalu percobaan kabur Sean dengan Naira terbongkar hingga menyebabkan kedua orangtuanya marah besar. Hari ini ketika Sean melaksanakan pesta pertunangan dengan Deryn, Naira dipaksa meninggalkan rumah untuk menjadi calon istri Giordan, pria misterius dengan rekam jejak mengerikan. Naira memang hanya mendengar sedikit tentang pria yang ia datangi saat ini dari Alma. Namun, sepertinya rumor itu benar jika melihat kediaman yang kini ia datangi. Kesan suram dan tak tersentuh terlihat jelas ketika mobil mulai memasuki jalanan menuju rumah utama yang menjulang tinggi di depan sana. Rumah itu terlihat besar dan kokoh. Cat hitam menambah kesan suram dan menciptakan aura horror bagi siapapun yang melihatnya. Di sepanjang jalan menuju rumah ditumbuhi beberapa pohon besar. Naira melihat dua orang pria memotong rumput di lahan luas tersebut. Naira mungkin tak mengira mereka adalah pekerja jika keduanya tak memegang cangkul dan sabit sebab keduanya lebih pantas menjadi bodyguard alih-alih seorang pekerja kebun. Sekilas ingatan tentang kaburnya istri Giordan terlintas di benak Naira. Tak heran hingga saat ini tak ada kabar apapun tentang gadis itu, mungkin keduanya tewas sebelum mampu mencapai gerbang. "Silahkan turun. Nyonya Kristin akan menyambut Anda." Naira turun sesuai arahan si pengemudi. Sesaat kemudian mobil memutar dan pergi meninggalkan Naira tepat di depan rumah besar dengan undakan beberapa anak tangga untuk menuju ke teras. "Nona Naira. Selamat datang di kediaman Abraham," ucap Kristin, wanita paruh baya yang sudah berdiri di ujung teras menunggu kehadiran Naira. Naira melangkah menaiki anak tangga. Ketika tiba di teras Kristin tersenyum manis padanya. "Berikan tas Anda." Naira menurut. Ia lantas berjalan di belakang Kristin. Keduanya masuk ke dalam istana yang tak berpenghuni. "Ini ruang tamu", jelas Kristin. Naira tak melihat siapapun di dalam. Tak ada foto, patung, maupun lukisan layaknya rumah konglomerat. Setelah melewati ruang tamu yang begitu megah dengan tata ruang simple, Kristin membawa Naira memasuki ruangan kedua. "Disini ruang pertemuan Tuan Gio bersama rekan ataupun bawahannya." Ruang tengah Naira sudah terlihat begitu luas, tetapi tak ada apa-apanya dibanding ruang pertemuan rumah ini. Di sudut ruangan terdapat lemari kaca besar yang berisi piagam, patung, piala, serta aneka medali penghargaan yang Naira tebak jumlahnya lebih dari lima puluhan. "Sebelah kanan ruang makan, dan dapur terletak di bangunan yang berbeda, sedikit menyeberang melewati taman." Ungkap Kristin sambil menunjuk setiap ruangan yang mereka lewati. "Mari naik ke lantai dua. Kamar Anda berada di lantai yang sama dengan Tuan." Naira tak menjawab sepatah kata pun. Dia hanya mengikuti kemana pun Kristin membawanya. Sesampainya di ujung tangga mewah yang sedikit melingkar, Naira tiba di depan sebuah kamar. Kristin mengambil kunci dari saku lalu membukanya. "Silahkan masuk, Nona.." Naira melangkahkan kaki ke sebuah kamar super besar, mungkin tiga atau empat kali lipat dari kamarnya sendiri. Bukan sebuah kamar mewah yang dipenuhi berbagai fasilitas. Kamar luas itu hanya memiliki satu ranjang, satu almari, serta satu set meja rias. Di atas nakas terdapat telepon tua namun terkesan antik. Ada kamar mandi di dalam kamar itu. Naira berjalan ke jendela lalu membuka tirai. Naira tersenyum menatap indahnya hamparan hijau di depan mata. Rumah tersebut hanya terdiri dari dua lantai, tetapi rasanya seperti berdiri di atas lantai empat sebuah gedung biasa. "Apakah kita tinggal di tengah hutan?" Naira akhirnya membuka percakapan. Naira tak menemukan apapun selain pepohonan yang tampak rimbun di luar sana. "Benar, Nona. Jarak rumah ini dengan pemukiman terdekat sekitar dua kilometer. Kita harus melewati hutan belantara setiap kali keluar masuk wilayah ini." Naira mengangguk, ia menatap khawatir pada kerimbunan di luar sana. Membayangkan betapa mencekamnya suasana di malam hari. "Tapi Anda tak perlu khawatir, rumah ini memiliki sistem keamanan terbaik. Tak ada satupun yang bisa menembus masuk tempat ini kecuali atas izin tuan Gio, begitupun sebaliknya. Sekali berada di dalam, maka tak sembarangan orang bisa keluar dari tempat ini." Naira menelan saliva. Penjelasan Kristin seolah menegaskan bahwa siapapun tak memiliki kesempatan untuk kabur dari tempat itu. Naira duduk di atas ranjang. Ia menatap pada sekelilingnya. "Sekarang apa yang harus aku lakukan?" Kristin tersenyum. "Silahkan Anda beristirahat dulu. Nanti pukul tujuh saya akan kembali membawa Anda untuk menemui Tuan Gio." Tok tok tok Kristin mempersilahkan seorang pelayan masuk membawa nampan berisi beberapa makanan dan minuman untuk Naira. "Silahkan dinikmati, saya permisi." Naira membiarkan Kristin meninggalkan kamar. Klik Naira mendengar pintu terkunci dari luar. Ia hanya menghembuskan nafas berat. Suasana hening membuat dirinya kembali teringat ucapan Darius padanya. (Flashback On) "Menikahlah dengan keluarga Abraham atau ayah akan dipenjara karena terjerat hutang!!" Naira tertunduk, setelah dipaksa merelakan Sean untuk Deryn, kini ia dipaksa menikah dengan Giordan. "Ibumu meregang nyawa karenamu, hidupku terasa sulit karena tak memiliki keturunan yang bisa diharapakan. Setidaknya jadilah bermanfaat! jika Kau menikah dengan Giordan, ayah bisa mengajukan pinjaman untuk menyelamatkan bisnis yang hampir kolaps! Ayah mohon sekali ini saja." "Tapi ayah, bagaimana jika rumor yang tersebar itu benar adanya?" "Persetan dengan rumor. Giordan mungkin pria tua yang bisa mati kapan saja. Kalau perlu buat dia mati dan ambil seluruh hartanya, Naira! dia pria sebatang kara. Jika Kau berhasil menjadi istrinya, maka Kau bisa membantu mengembangkan bisnis ayah." Mata Darius berkilat penuh semangat. Naira tak menyangka ayahnya memiliki rencana licik dibalik perjodohan ini. "Tidak ayah, Naira tak bisa!" "BODOH!! Kau memang anak tak tahu diri, tak tahu terimakasih!!" Plak!! Untuk pertama kalinya Darius memukul wajah Naira. (Flashback Off) Naira memejamkan mata seraya memegang pipinya sendiri. Rasa panas menyayat hati mengingat ucapan serta tamparan yang ayahnya berikan tadi. Naira menaikkan kakinya ke atas ranjang, ia meringkuk menatap langit di luar sana. Bulir-bulir bening menetes membasahi sprei.Kali ini dirinya harus bertahan sendirian, berjuang tanpa Alma, Aryo, dan Mirna yang selama ini selalu menguatkannya. ____________________________________________ Ceklek!! "Nona!" Naira tersentak ketika bahunya diguncang oleh seseorang, spontan ia melompat dari atas kasur hingga terjatuh ke lantai. Naira merasa berada di kamarnya sendiri yang tak memiliki ranjang. "Maaf ibu, Nai ketiduran. Maaf, jangan pukul Nai.." Naira menangkup kan kedua tangan di atas kepala dengan tubuh bergetar. "Nona? apakah Anda bermimpi?" tanya Kristin bingung. Naira menurunkan kedua tangannya. Ia menatap ke sekeliling dan baru teringat sedang tak berada di rumahnya sendiri. "Nona, bangunlah. Tuan menunggu Anda menyapanya." Kristin membantu Naira untuk untuk berdiri. Aneh sekali diperlakukan begitu lembut Biasanya hanya cacian, hinaan, pukulan, dan tamparan lah yang ia dapatkan dari ibu tiri dan keluarganya. "Ma-maaf, aku kelelahan. Apa masih ada waktu untuk mandi dulu?" tanya Naira lirih. Ia menatap tubuhnya yang kusut dan bau. Perjalanan berjam jam membuatnya sangat lelah dan tak bersemangat. Kristin melirik jam di tangannya. "Baiklah, Saya memberi waktu setengah jam untuk membersihkan diri dan berdandan." "Saya hanya butuh waktu lima belas menit saja," sahut Naira cepat, takut membuat Giordan menunggu nya terlalu lama. Bukankah orang tua inginnya dihormati? Mungkin begitu juga dengan Giordan. "Baiklah." Kristin berbalik untuk pergi, akan tetapi matanya tertuju pada nampan yang sama sekali tak tersentuh. Ia lalu menatap Naira. "Anda tak memakannya? atau mungkin Anda tidak menyukainya Nona? saya akan meminta pelayan memasak lagi menu baru," ucap Kristin. "Ti-tidak perlu. Saya ketiduran hingga lupa belum memakannya. Nanti saya akan--" "Biar Kami ganti yang baru, Nona. Dan.. jangan berbicara formal pada saya karena Anda adalah calon istri Tuan Gio." Kristin tersenyum lalu menutup pintu. Tepat lima belas menit kemudian pintu kamar diketuk. "Masuk," ucap Naira. Kristin memandangi Naira dengan tatapan heran. Naira berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya yang selalu tampil cantik dengan gaun terbaik ketika akan menemui tuannya. "Maaf, ini satu satunya gaun yang aku miliki. Gaun milik mendiang ibuku, kuno, ya?" Naira nyengir memahami ekspresi Kristin. "Oh, tidak! ini terlihat-- mengagumkan!" Kristin tersenyum tulus di balik rasa penasarannya. Bagaimana mungkin putri bangsawan kaya raya tetapi tak memiliki gaun sama sekali? "Mari Nona kita menemui Tuan." Naira mengikuti Kristin, berjalan menuju sebuah ruangan tertutup yang hanya berjarak satu kamar di sebelah kamar Naira tadi. "Tuan Gio sedikit berbeda, dia tak banyak bicara dan terkesan dingin. Anda tak perlu takut. Rileks saja." Entah mengapa ucapan Kristin bukannya menenangkan tetapi justru membuat Naira ingin mati berdiri tak mau melangkah masuk ke dalam. (Next➡)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD