Musim semi selalu menyenangkan di London. Sinar matahari membawa kesan hangat yang sempat hilang di musim dingin lalu. Bulan April begini, matahari masih belum terlalu panas. Tunggu beberapa bulan lagi hingga musim panas, maka pantai-pantai akan penuh.
Celana tiga per empat warna cokelat tua, kaus lengan pendek bergambar Ratu Elizabeth, sling bag warna hitam dengan aksen putih, serta sepatu pantofel warna cokelat menjadi pilihan Lovarie malam ini. Dia hendak cari makan dan sekadar jalan-jalan. Hidup di London begini, masa disia-siakan?
Padahal, tiga tahun lalu, Lovarie selalu berpikir hidupnya hanya sebatas Jakarta. Namun, siapa sangka dia justru diangkat pasangan suami-istri yang tidak bisa memiliki anak? Orang London pula. Crap! Seperti mimpi!
Lovarie bosan. Di rumah pun dia sendirian, orang tuanya sibuk di toko kue sampai malam. Jensen sedang ada project di Manchester bersama band-nya selama tiga hari penuh. Bukan hal baru memang. Mengingat Jensen sendiri lebih suka di luar ketimbang di rumah. Hidup baginya adalah perjalanan.
Baru saja mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di sling bag, tiba-tiba pintu rumah Auriga terbuka. Lovarie mungkin harus mulai membiasakan diri jika rumah di sampingnya sudah berpenghuni. Gadis itu melambaikan tangan, menyapa, "Hai, mau keluar juga?"
Auriga mengangguk dan mengantongi kunci rumahnya sendiri. "Iya, cari makan. Lo mau ke mana?"
"Sama. Mau bareng?" tawar Lovarie.
"Boleh. Jalan kaki aja atau gimana? Gue enggak punya kendaraan di sini. Motor ditinggal."
Lovarie melambaikan tangan. "Jalan aja, udah sering juga."
Akhirnya mereka berjalan menyusuri jalanan London. Keluar dari area perumahan, mereka mulai melihat gemerlapnya ibu kota Inggris. Kebetulan, perumahan yang mereka huni memang dekat dengan jam raksasa Big Ben.
"Ceritain tentang diri lo, dong. Suka apa, makanan favorit, cewek lo, apa pun. Sebagai calon tetangga yang baik, kita harus kenalan."
Auriga yang memakai mode pakaian tidak jauh dari kemarin terkekeh. Dia masih memakai kemeja, kali ini bermotif kotak-kotak warna hitam. Hanya saja lebih santai karena memakai celana jeans panjang.
Setelah menyeberang jalan, barulah Auriga mulai bicara. "Kalo gue ngomong 'enggak ada yang spesial dalam diri gue' pasti lo enggak terima. Jadi, jangan salahin gue kalo lo bosen dengernya. Menurut analisis gue serta orang-orang, gue itu orang yang enggak mau ribet, rapi, dan pekerja keras. Suka jalan kaki, minum teh, ngobrol sama orang. Makanan favorit, hm ... apa, ya? Kayaknya nasi goreng, enak banget, apalagi pake sayur. Terus, mana ada cewek yang tertarik ke cowok kayak gue? Gue enggak jago nyanyi dan main gitar, olahraga nol besar pula."
Di luar dugaan, Lovarie tertawa. Auriga menatapnya penuh tanda tanya. Merasa diperhatikan, Lovarie berhenti tergelak. "Sori, sori. Cara lo ngomong lucu banget. Gue rasa lo cocok jadi psikolog. Pembawaan lo enggak kaku dan to the point," katanya, "ngomong-ngomong, emang standar cewek nyari cowok itu yang jago nyanyi, main gitar, dan olahraga?"
Bahu Auriga terangkat. "Yah, mana tau. Kebanyakan gitu. Lagian, gue enggak sempet deketin cewek, terlalu fokus belajar pas SMA. Waktu mau cari cewek, ternyata udah pada sold out, ketinggalan bus gue. Ya udah, akhirnya gue terima beasiswa di London, toh, di Indonesia enggak ada tanggungan."
"Eh, serius? Lo di sini dapet beasiswa? Keren!" puji Lovarie.
Auriga tersenyum kecil. "Thanks. Itu iseng aja isi form beasiswa di London. Taunya diterima."
Lovarie bertanya, "Jadi, lo di London cuma sampe lulus kuliah?"
"Tergantung ada tanggungan di sini atau enggak." Sambil berkata demikian, Auriga menatap Lovarie yang juga meliriknya.
Lovarie tidak ingin berasumsi apa-apa, tetapi dia paham betul maksud ucapan Auriga. Namun, dia pura-pura tidak tahu saja. "Tanggungan kayak apa?"
Senyum lelaki itu terulas miring. "Lo suka pura-pura enggak tau ternyata." Baru saja Lovarie hendak membela diri, Auriga menambahi, "Jangan pernah bohong di depan gue, percuma, Lov."
Lovarie menyeringai. "Hehe, gue cuma mau memastikan. Mana ada niatan bohong gitu."
"Gantian sekarang. Tell me about your life. Ceritakan padaku tentang hidupmu."
Ada jeda sekitar semenit. Mereka melangkah di bahu jalanan yang tidak terlalu ramai. Sudah masuk ke gang-gang kecil rupanya. Entah ke mana mereka akan pergi, Auriga pun tak tahu. Dia hanya mengikuti Lovarie.
"My life was once a mess. Hidupku dulunya berantakan." Ucapan Lovarie membuat Auriga menoleh. Gadis itu tampak tenang, tidak ada gestur tidak nyaman. "It's alright now, getting better slightly. Tidak apa-apa sekarang, sedikit membaik."
Mereka sampai di sebuah rumah makan sederhana. Bangunan itu lebih cocok disebut rumah biasa yang menyediakan makanan. Isinya pun biasa saja, tidak mewah dan tidak terlalu ramai. Hanya dua meja yang terisi, tiga dengan Lovarie dan Auriga.
"Nasi goreng?" tanya Lovarie. Auriga tersenyum. Lovarie tampak bicara pada pemilik rumah makan yang sepertinya sudah berusia lanjut. "Enggak keberatan, 'kan, first time dinner in London di rumah makan kayak gini? Atau mau di resto--"
Auriga memotong, "Gue enggak sehedon itu kali. It's okay, kok. Gue suka selera lo."
Lovarie memangku kepala dengan tangan. "Selera apa, nih? Makanan? Gue pemakan segalanya, kok. Enggak pilih-pilih dan enggak pernah diet."
Tawa Auriga pecah lagi. "Bukan itu maksud gue. Lo keliatan orang yang kayak gimana dari pilihan tempat makan lo. Juga dari baju yang lo pake."
"Kuno, ya?"
"Nope. Antik. Vintage style. Eh, kecuali rambut lo, sih. Padahal bagusan item, ngapain dicat rambut biru gitu?"
Gadis itu memainkan ujung rambut yang memang diwarnai. "Gue gampang bosen anaknya. Sebulan lagi juga ganti warna. Cuma ujung, sih, yang gue warnain. Mau pertahanin warna rambut asli juga. Jarang-jarang di London ada rambut item. Kebanyakan brunette sama blonde."
Kepala Auriga mengangguk. "Buat itu gue setuju. Ngomong-ngomong, kok pemilik rumah makan ini tau menu nasi goreng?"
"Gue yang kasih tau resepnya dua tahun lalu. Katanya jadi menu andalan beliau sekarang. Dijamin kayak nasi goreng Indonesia!"
"Eh, tapi serius, gue mau liat lukisan lo."
Lovarie mengangkat jempolnya. "Boleh, boleh. Besok ke rumah gue aja. Jensen juga baru balik malemnya. Gue bakal bosen. Mana kuliah masih lama."
Mendengar nama Jensen disebut, Auriga jadi ingat sesuatu. "He's more than that, right? You know what I mean. Just tell me, don't lie. I can keep a secret. Dia lebih dari itu, 'kan? Kamu tahu maksudku. Katakan saja, jangan bohong. Aku bisa jaga rahasia."
Lidah bisa berbohong, tetapi tidak dengan mata. Auriga tersenyum kecil. Mereka tidak tahu, takdir sudah digariskan. Sesuatu akan terjadi. Antara tiga remaja yang akan satu kampus di London itu.
***