Hanya Atasan Dan Karyawan

1516 Words
Kafe semi-outdoor ini mengadopsi gaya interior industrial, menarik, cocok dijadikan latar foto. Perpaduan dengan lampu temaram membuat suasana menjadi kian estetik. Aku menyesap iced americano di meja luar cafe, hm … aku membulatkan mata merasakan tiap tegukan. Sebenarnya bukan tim yang suka ngopi-ngopian banget, tapi minuman ini cocok di lidahku, Dimas yang memesankannya. Saat ini orangnya tengah asyik bersenda gurau bersama teman-temannya, Tiara juga ikut dengannya. Aku memotret diriku sendiri dan beberapa spot yang aku sukai, boleh ‘kan eksis sesekali. “Jingga.” Aku menoleh, oh, ternyata Roza, teman sekantorku dari divisi keuangan. Kami bersalaman, aku mempersilakannya duduk semeja denganku. “Kamu sendiri?” Lanjutnya. “Aku datang bersama Dimas.” Kami melihat ke arah yang sama. “Kamu kenal Ganda juga, Ga?” Roza tak memalingkan wajahnya dari sekelompok pria yang duduk satu meja dengan Dimas. “Ganda, siapa?” Aku mengikuti arah pandang Roza penasaran, di antara sekian banyak pria yang duduk semeja dengan Dimas tak ada satu pun yang aku kenal. Roza menggeleng, kami tak bercerita panjang, karena Roza pamit begitu pesanannya selesai. Aku kembali memandang ke arah sekelompok pria yang masih betah bercerita saat Roza sudah pergi. Ganda. *** Tak ada angin dan hujan tiba-tiba aku diarahkan Pak Zein untuk pergi bersama direktur yang tak bersahabat itu untuk pertemuan pagi ini. “Saya bukan supir kamu,” ujarnya. Dia menatapku tajam saat aku membuka pintu belakang mobil. “Maaf, Pak.” Aku masuk ke dalam mobil dan duduk tepat di sebelahnya. Ini kali pertama kami sedekat ini, tak tahu akan secanggung apa sepanjang perjalanan nanti. Aduh, kenapalah ini seat belt, batinku. “Kenapa?” “Susah, Pak.” Aku melipat bibir hingga lesung pipiku menyembul. Kak Damar mendekat membuatku menghindar hingga ke sisi pintu, jarak kami sangat dekat aku saja dapat mencium aroma tubuhnya saat ini. “Geser, saya bantu pakaikan biar cepat.” Oh, itu maksudnya, dia ingin membantu memasangkan seat belt. Aku meringis, jelas aku terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba, tapi aku tetap berterima kasih padanya. Selama perjalanan kami hanya diam. “Pak, kalau kita beli buah tangan dulu gimana, Pak, untuk istri Pak Bagas?” usulku. “Boleh.” Setelah mendapatkan sekeranjang buah, kami mampir ke toko bunga langgananku, aku kembali memberi ide untuk membeli buket bunga dan Kak Damar menyetujuinya. “Teh, terima kasih, ya. Maaf loh pesannya dadakan,” ujarku. “Apa sih yang enggak buat kamu.” Teh Dina adalah anak dari ibu kos tempatku tinggal dulu saat kuliah di Bandung, kami sangat dekat, dia sudah menganggapku seperti adiknya sendiri. “Aduh, aku jadi tersanjung,” gurauku. Kak Damar menunggu di mobil, dia menurunkan kaca jendela kursi samping kemudi, mengangguk sopan saat teh Dina mengantarku lebih dekat dengan mobilnya. “Wah, pacar baru kamu, Ga?” Aku menggeleng cepat dan menyalaminya kemudian mencium kedua pipinya. “Kirain kamu sudah move on dari mantan terindahmu yang di London itu.” Rasanya aku ingin menghilang saja, betapa malunya aku saat ini. “Teteh, aku jalan, Bye.” Dengan cepat aku masuk dan menutup pintu mobil, katakanlah aku tak sopan, biarkan sajalah aku sudah tidak ada muka, Kak Damar pasti mendengar ucapan Teh Dina. “Ayo, Pak, jalan.” Aku memilih untuk tidak menanggapi kalimat terakhir Teh Dina dan meminta Kak Damar untuk menjalankan mobilnya. “Kamu ini seenaknya saja perintah saya,” ketus Kak Damar. “Maaf, Pak.” *** Akhirnya penandatanganan kerjasama kedua perusahaan berjalan lancar, sebelum pulang Kak Damar sudah memberitahuku bahwa kami akan langsung pulang ke kantor, tidak akan singgah untuk makan siang. Mobil sudah terparkir sempurna di basement, kami keluar dan menuju lift. Saat pintu lift terbuka di lantai satu muncul seorang pria yang ikut masuk ke kotak besi ini, dia menyapaku dan sang direktur. “Habis makan siang, ya?” Mas Seno mundur ke belakang berdiri di sampingku. “Belum makan malah, Mas. Aku baru pulang ketemu klien, tapi sudah pesan makan online.” Aku meringis, tentu saja kami bicara dengan nada pelan tapi aku yakin Kak Damar dengar. “Nasi ayam?” “Iya.” Aku kembali meringis, tersenyum memamerkan lesung di pipiku. Mas Seno malah terkekeh. “I know it, kamu lucu banget sih, aku duluan, ya.” Aku mengangguk, Mas Seno juga menyapa Kak Damar sebelum keluar dari lift. “Jingga.” “Iya, Pak.” Aku maju selangkah agar lebih dekat, maksudnya supaya aku bisa mendengar suaranya lebih jelas. “Kamu tidak paham bahasa atau bagaimana? Kamu tidak ingat apa yang saya sampaikan tempo hari tentang caramu berpakaian?” “Maaf, Pak, saya pikir pakaian yang saya kenakan masih cukup sopan. Dan—“ Aku menjeda kalimatku menarik napas, tiba-tiba saja aku tersulut emosi. “Selama saya bekerja di sini tidak ada larangan mengenai cara berpakaian selagi itu sopan. Bisa Bapak jelaskan apa yang salah dari pakaian saya contohnya yang saya kenakan hari ini?” Kak Damar menatapku, tatapannya, entahlah, aku sulit mengartikannya. Suara lift terdengar, tandanya ini sudah tiba di lantai tempat ruanganku berada, aku tetap saja diam di tempat. “Ini lantai kamu,” ujarnya. Saat pintu lift terbuka dan tak ada orang lain yang akan menggunakan lift, aku kembali menutup pintu lift. “Jawab, Kak Damar.” Aku menatapnya letak, raut wajahnya berubah mendengar aku menanggilnya dengan sebutan kakak, dia tampak sedikit gugup lalu kembali menampilkan wajah ketus. “Saya ini atasan kamu, Jingga. Bersikaplah lebih sopan, hubungan kita sebatas atasan dan karyawan. Jadi, apa pun yang saya sampaikan ke kamu, termasuk ucapan saya tempo hari semata untuk kepentingan perusahaan. Jangan terlalu percaya diri!” Begitu pintu lift terbuka dia berlalu meninggalkanku, aku menyeringai mendengar ucapannya. Nasib baik tidak ada karyawan lain yang berlalu lalang, karena sebenarnya ini sudah mulai masuk jam kerja. Ponselku berdering, dari Dimas, ternyata makan siangku sudah ada di ruangan. *** Rita terus mengajakku ikut menghadiri acara makan malam bersama dengan divisi keuangan, katanya acara itu dibuat khusus merayakan hari ulang tahun Mas Seno, manager keuangan di perusahaan tempatku bekerja. Belum sempat aku menjawab pintu lift terbuka, orang yang sedang kami bicarakan tepat di depan mata. “Hai, Jingga,” sapa Mas Seno. Aku terkejut, bukan karena kehadiran Mas Seno, tapi pada sosok yang berada di sampingnya saat ini yaitu Kak Damar. Aku dan Rita menyapa begitu keduanya masuk ke dalam lift. “Nanti ikut ‘kan?” Mas Seno menoleh ke arahku setengah berbisik, belum sempat aku menjawab Rita sudah mengacungkan jempol membuat Mas Seno tersenyum puas. Mas Seno sempat menawarkan untuk berangkat bersamanya, jelas aku menolak karena aku juga membawa kendaraan. Lagi pula, jarak restoran dan apartemenku tidak begitu jauh, syukurnya Mas Seno mengerti. Aku dan Rita sampai di parkiran restoran saat keluar dari mobil aku tersentak karena mobilku terparkir bersebelahan dengan mobil Kak Damar. Dia berjalan tepat di depanku. “Baiklah, kalian hati-hati ya, kalau sudah sampai kabari. Dinda, salam untuk si usil.” Dinda, batinku. Seketika terukir senyuman pahit di wajahku, nada bicaranya tadi merendah dan sangat lembut, tidak tajam dan ketus seperti saat bicara padaku. Aku terus membanding-bandingkan, ya … harapanku pupus ketika mengetahui bahwa dia telah bersama wanita lain. Harapan, lirihku. Apa setelah kami kembali bertemu aku mengharapkan sesuatu? Aku merutuki diriku, harusnya tidak begini sungguh memalukan! Kami bertemu dengan Dimas dan duduk semeja ternyata dia juga di undang. Mas Seno menghampiri mejaku membawa potongan kue, dia juga memberikan kepada Rita dan Dimas. Mas Seno bilang dia sengaja memilih tempat ini karena ada makanan favoritku yang merupakan menu best seller di restoran ini. Aku meringis sesekali melirik Rita dan Dimas yang menahan tawanya. Mas Seno meninggalkan mejaku, dia bilang akan memesankan menu itu untukku. “Mas—” Aku hendak menggapai tangannya untuk menghentikannya tapi dia sudah pergi. “Cie … perhatian banget Mas Seno sama kamu, Ga.” Aku jengah mendengar Rita mengolok-olokku, sekarang dia malah mengabsen beberapa karyawan pria yang tampak mencuri-curi pandang padaku. Aku tak menanggapi ucapan Rita memang sejak hubunganku berakhir dengan Kak Damar, aku belum menjalin hubungan asmara lagi, aku memilih menghindar saat ada yang mendekatiku. Yang menyatakan cinta padaku banyak, mulai dari zaman kuliah sampai klien dan rekan kerja juga ada. Mas Seno datang membawa hidangan itu sendiri untukku dan berpamitan karena harus bergabung dengan rekannya. Aduh, aku jadi segan, beneran deh. “Kayaknya hampir satu kantor tahu makanan favorit kamu, Ga,” kekeh Rita. “Tapi aku gak pernah kasih tau, loh, ya.” Kalau aku dipesankan nasi ayam Hainan, Dimas dan Rita memilih prime sirloin steak sebagai menu mereka malam ini. Dimas memotong steak-nya dengan ukuran kecil dan meletakkannya di piringku, dengan senang hati aku melahapnya. “Ini perasaan aku saja apa gimana, ya?” ujar Rita. Dia memajukan tubuhnya ke meja dan berbicara pelan. “Kenapa?” tanyaku penasaran. “Pak Damar dari tadi merhatiin meja kita,” sambung Dimas. Dia tampak acuh, kemudian menyantap kembali potongan daging ke mulutnya. “Nah, benar ‘kan?” Uhuk-uhuk! Aku tersedak dengan sigap Dimas memberiku segelas air mineral dan menepuk pelan pundakku. “Sekarang dia lihat kesini lagi,” lanjut Dimas. Aku menelan salivaku dengan susah payah. “Apa Pak Damar suka kamu juga, ya, Ga?” ujar Rita. Uhuk-uhuk!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD