Aku menatap map yang sebelumnya aku tinggalkan di meja ruangan direktur, kini sudah berada di atas meja kerjaku, lengkap dengan tanda tangannya. Rita kemudian menjelaskan, dia sendiri keheranan saat melihat siapa yang mengantar berkas itu. Dia adalah Damar Aby Satrian, direktur baru kami.
Gegas aku melangkah menuju ruangan divisi keuangan. Ketika aku melewati pantry, pandanganku tertuju pada seseorang yang sedang kebingungan mencari sesuatu.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Sebenernya aku ragu menyapanya, tapi ini kantor, aku harus tetap profesional bukan?
“Astaga, kamu mengagetkan saja!”
Aku meringis. “Maaf, Pak. Bapak perlu sesuatu?”
“Saya tadi telepon ke pantry, tapi tidak ada yang angkat—” Dia menjeda kalimatnya menatap mataku sesaat.
“Lalu?” tanyaku menunggu lanjutan kalimatnya.
“Saya mau buat kopi.”
“Saya bantu buatkan—” Dia menghentikan langkahku saat hendak masuk ke dalam pantry. Dia berkata sudah tidak menginginkannya dan berlalu begitu saja meninggalkanku.
Aku masih mengikutinya, bukan, maksudku lebih tepatnya aku berjalan di belakangnya tujuanku adalah divisi keuangan. Kalau dia, aku tebak menuju lift. Dia berbalik saat menyadari aku masih di belakangnya dan memicingkan matanya.
“Map apa lagi itu?”
“I-ini laporan bulanan tadi, Pak. Saya mau teruskan ke bagian keuangan.” Kak Damar meneruskan langkahnya tanpa menghiraukanku. Ternyata tebakanku salah, dia berjalan menuju ruangan manager keuangan.
“Kalau secepat itu Bapak tanda tangan harusnya saya menunggu saja tidak apa-apa, Pak.” Katakanlah aku sok asyik, biarkan saja memang benar kalau saja tadi dia segera menandatangani berkasku sudah pasti pekerjaanku cepat selesai ‘kan?
“Aduh!” Aku tak sengaja menabrak punggungnya, tiba-tiba saja dia berhenti. Tidak, dia memang sudah sampai di tempat tujuannya, di depan pintu ruangan manager keuangan.
“Bukankah kamu tidak pandai menunggu, Jingga?”
‘Deg
Dia masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu dengan kasar.
***
Satu tahun menjalani hubungan jarak jauh, ternyata tak seburuk yang aku pikirkan. Itu yang aku rasakan di awal hubungan kami. Hingga akhirnya, aku menarik ucapanku. Memasuki tahun ketiga, mungkin, entahlah, aku tak lagi menghitungnya karena semua terasa melelahkan. Aku sering kali salah paham dengan kedekatan Kak Damar dan Dinda—teman satu angkatan Kak Damar semasa sekolah di Yogyakarta. Sekarang, perempuan blasteran Inggris dan Yogyakarta itu kuliah di universitas yang sama dengan Kak Damar.
“Apakah ada pertemanan yang murni antara laki-laki dan perempuan?”
“Kamu ini bicara apa, sih. Kakak cuma bantuin Dinda, Sayang. Kasian dia selalu jadi korban KDRT. Lagi pula kami tidak hanya berduaan, ada Dedi.”
Aku terdiam, Kak Damar memang sejujur itu. Dia kerap menceritakan setiap kegiatan yang dia lakukan dan alami. Seperti saat ini, aku tak kuasa melihat luka dan memar di beberapa sudut wajahnya. Katanya dia baru saja membela ‘temannya’, aku sengaja menekankan kata teman karena kesal. Memangnya dia siapa harus memperjuangkan perempuan itu, rela dihabisi begitu, dasar sok jagoan.
Dinda, aku dengar dia menjadi korban kekerasan Ayahnya sendiri. Dia kerap disiksa, bahkan dipaksa menikah dengan pengusaha kaya demi melunasi hutang Ayahnya. Bukannya kenyamanan yang dia dapat setelah menikah, dia malah menjadi korban KDRT oleh suaminya, malang sekali.
Sudahlah lupakan tentang si Dinda-dinda itu, aku tengah melepas rindu pada kekasihku ini. Kami bertemu hanya dari layar ponsel saja, tapi cukuplah dengan melihatnya aku sudah sangat senang. Kami menceritakan banyak hal, termasuk rencana kepulangannya saat ulang tahunku yang tinggal beberapa minggu lagi. Aku sungguh tak sabar menantinya, obrolan kami terhenti saat aku mendengar Kak Dedi menceritakan sesuatu tentang Dinda. Aku tak memahami alur ceritanya, tapi satu hal yang aku ketahui saat ini mereka akan mengejar Dinda yang lari karena suaminya mengetahui tempat persembunyiannya.
“Tidak, luka di wajah Kakak saja belum kering. Itu hanya yang aku lihat, aku tidak tahu dengan bagian tubuh Kakak yang lainnya. Stay there.” Aku melihat wajah Kak Damar tampak panik. Dia kembali menjelaskan kepadaku kronologi masalah si Dinda-dinda itu.
“Maaf, Sayang, Kakak janji setelah ini Kakak hubungi kamu, love you.” Aku mengembuskan napas kasar, khawatir, tapi aku tetap harus berpikir positif. Semoga mereka bertiga dijauhkan dari bahaya.
***
Aku meneteskan air mata saat melihat sebuah foto yang dikirim oleh seseorang. Sebenarnya, belakangan ini aku sering kali menerima pesan singkat dari orang yang sama, sepertinya dia ingin menghancurkan hubunganku dengan Kak Damar, tapi aku abaikan. Namun, selamat, pagi ini dia sukses menghancurkanku.
“Kamu salah paham, Sayang. Ini gak seperti yang kamu pikirkan.”
“Jingga bahkan sudah gak bisa berpikir saat ini, Kak.”
“Sayang.” Kak Damar terus meminta maaf karena batal pulang ke Indonesia dengan alasan ketinggalan pesawat dan di hari yang sama penerbangan London ditutup karena faktor cuaca. Dan hari ini, dia baru bisa menghubungiku karena sebelumnya pergi bersama Dinda mencari tempat tinggal baru.
“Jingga.”
“Maaf, Jingga gak bisa lanjutin ini lagi.”
“Stop, Sayang ….”
“Jingga salah, Kak, ternyata Jingga tidak pandai menunggu.”
“No, no, Stop it. Kamu sedang emosi saat ini, jangan bicara apa pun.”
Kak Damar tak terima aku memutuskan hubungan ini secara sepihak, tapi inilah yang terbaik. Hubungan jarak jauh ini tidak berhasil, harusnya aku sadari sebelum memulai. Kak Damar tak terima saat aku memintanya melepasku dan mencari wanita lain yang tentunya lebih dewasa dariku dan bisa menemaninya di setiap saat.
“Apa yang membuat kamu berkeras hati seperti ini?”
“Jangan memaksa perasaan seseorang, Kak.”
“Memaksa? Bohong! Katakan kalau kamu tidak memiliki perasaan apa pun lagi.” Aku mendengar nada bicara Kak Damar mulai meninggi saat ini jelas sekali dia kesal dan marah.
“Perasaan kita sudah tidak sama lagi, Kak, maaf.”
“Kamu keterlaluan Jingga—” Aku memutuskan sambungan telepon begitu saja, tak kuat rasanya berdebat lagi.
Sejak saat itu aku tak lagi menghubunginya dan begitu juga dia, sepertinya dia sudah dapat menerima perpisahan ini.
***
Aku sengaja menghindari Kak Damar sejak terakhir bertemu tepatnya saat dia menyindirku. Untung saja pekerjaanku tidak ada kaitan dengannya. Hanya dalam situasi tertentu misalnya saat aku membutuhkan tanda tangannya, itu pun aku mengatur sedemikian rupa agar tidak bertemu dengannya.
“Saya rasa kamu mampu untuk membeli beberapa potong celana.”
“Ah!” Aku terkejut saat tiba-tiba mendengar suara dari belakangku, aku masuk ke dalam lift sambil mengelus d**a, menetralkan detak jantungku dan dia pun ikut masuk ke dalam kotak besi ini. Setelah aku merasa lebih baik, aku menatap ke arahnya.
“Maksudnya, Pak?”
Nihil, aku tak mendapat jawaban, dia sibuk menatap ponsel di tangannya. Sudahlah, aku pun malas berbicara panjang lebar padanya.
Saat pintu lift terbuka, aku sempat menganggukkan kepala sebagai bentuk hormat sebelum keluar mendahuluinya.
Hah … akhirnya aku bisa bernapas bebas, jujur saja saat berdua dengannya di lift tadi sesekali aku menahan napas saking gugupnya.
“Ah!” Kali ini aku bukan terkejut, tapi kesakitan. Dengan santainya Dimas mengapit kepalaku dengan sebelah tangannya, kusikut saja perutnya hingga dia meringis.
“Sakit, Ga!”.
“Lah, kamu pikir aku nggak sakit?” Aku terus memukuli lengannya, tapi dia malah tertawa.
“Ayo, makan.” Dimas menarik tanganku begitu saja, sampai aku terseok-seok. Tanpa aku sadari seseorang tengah menatapku tajam.
***
Setelah jam makan siang berakhir, aku mendapati Kak Damar duduk bersama Rita tengah membahas pekerjaan. Dia tampak memberi beberapa instruksi kerjaan pada Rita. Pembicaraan mereka terhenti saat Dimas masuk ruangan sambil mengomeliku yang berjalan tertatih-tatih.
“Jingga.” Rita menyapaku khawatir, aku malah gagal fokus melihat tatapan Kak Damar saat ini, apa dia juga khawatir?
Aku meringis, lalu menyapa Kak Damar bersamaan dengan Dimas dan Reno pun melakukan hal yang sama denganku. Kemudian, Dimas kembali memapahku menuju meja kerjaku.
“Pakai ini! Besok-besok pakai flat shoes saja.” Dimas memberi sendal jepit miliknya.
Aku meringis pelan, kakiku terkilir saat berlari mengejar pintu lift yang akan tertutup hingga salah satu hak sepatuku patah. Setelah membantuku, Dimas pergi keluar ruangan, dia kembali masuk bersamaan dengan Kak Damar yang keluar dari ruangan kerja kami.
Dimas menghampiri mejaku membawa kompresan es batu yang dia dapat dari pantry dengan bantuan Bu Ning, office girl kantor kami. Kemudian, dia menutupi pahaku dengan jaket miliknya.
“Aku kompres sendiri aja, Dim.”
Dimas dengan telaten mengompres kakiku, Rita juga sudah berada di dekat mejaku ikut mengomel. “Kamu jangan ngeyel, Ga,” sambung Rita.
“Ehem.” Kak Damar berdiri di pintu ruangan.
“Pak, ada yang bisa saya bantu?”
Rita berdiri menutupi Dimas yang sedang mengompres kakiku dengan tubuhnya, sembari mencolek-colek bahu Dimas. Aku lihat Kak Damar berbicara dengan Rita sesekali pria itu tampak melihat ke arah Dimas yang masih berjongkok membantuku.
Rita kembali ke mejaku, dia mengerutkan keningnya. Kemudian, mengedikkan bahunya setelah sang direktur meninggalkan ruangan kami.
***
Aku menggerak-gerakkan kakiku untuk membuktikan bahwa aku sudah baik-baik saja pada Dimas, dia bilang akan mengantarku pulang karena masih khawatir tentang kakiku yang terkilir tadi.
“Aku udah baik-baik saja, terima kasih bantuannya, Dimasku ….” Aku terkekeh geli, mengembalikan jaketnya, Dimas tampak gemas, lalu mengacak kasar rambutku. Sabar … aku merapikan rambutku yang kusut akibat ulahnya, kemudian mempercepat langkah masuk ke dalam mobil. Tanpa aku sadari, ada seseorang yang memperhatikanku dari kejauhan.