Sudah hampir satu jam aku menunggu Ganda, tapi dia belum juga datang. Kantor sudah mulai sepi, perutku terasa sakit kalau diingat-ingat aku memang hanya makan sepotong roti siang tadi.
Pagi tadi begitu menyerahkan deadline pada Pak Damar dia tak sepenuhnya menerima proposalku tapi tak juga menolaknya seperti sebelumnya, ada beberapa yang harus aku revisi dan tambahan yang disarankan Pak Damar untuk dimasukkan ke dalam proposal.
Pak Damar kembali memberi tenggat hingga sore nanti, aku pasti bisa menyelesaikannya meski sebenarnya pekerjaanku yang mengantri juga masih banyak. Saat masuk jam makan siang aku memilih melanjutkan pekerjaanku dan hanya memakan roti yang ada di tasku.
Mungkinkah maagku kambuh lagi?
Aku menghubungi Ganda tapi tak ada jawaban, apa sebaiknya aku pulang saja, sebenarnya aku juga sedikit khawatir padanya karena pukul 17.00 tadi Ganda mengabariku dia bersiap menjemputku, apa terjadi sesuatu padanya di jalan.
Ah, sebaiknya aku pulang saja, tiba-tiba badanku pun terasa meriang, keringat mulai bercucuran. Aku meninggalkan pesan singkat untuk Ganda dan akhirnya memesan taksi online.
Dari dalam kantor yang berdinding kaca aku melihat mobil yang ciri-cirinya sama dengan taksi pesananku. Aku bangkit dari sofa, tiba-tiba pandanganku berkunang, sakit perutku pun menjadi-jadi.
“Mbak Jingga, ada pesan taksi online?” tanya satpam kantor yang aku kenal, Pak Dirman, namanya, aku mengangguk lemah. “Mbak, sedang sakitkah? Wajahnya pucat sekali,” sambungnya.
Telingaku berdengung, pandangan pun kian menghitam. “Mbak Jingga?”
“Jingga.”
Kepalaku terasa berat, aku terhuyung seketika hilang keseimbangan. Aku merasa di dekap seseorang, Pak satpamkah atau driver? Tapi parfum ini, entahlah.
***
Aku mencium aroma disinfektan, suara yang samar mulai terdengar jelas.
“Dispepsia, Dok. Ditangani Dokter Farhan tadi.”
“Ganda.” Aku menatap sekeliling, ternyata aku ada di rumah sakit.
“Ga ….” Ganda masih memakai snelinya, dia duduk di kursi samping ranjangku, memegang sebelah tanganku yang tak diinfus.
“Selamat malam, Bu Jingga. Saya Dokter Farhan, bagaimana sekarang lebih baik?” Aku mengangguk, selanjutnya Dokter Farhan melakukan pemeriksaan padaku. “Istirahat di sini dulu malam ini, ya, infusnya juga harus habis dulu, saya permisi.”
“Terima kasih, Dok.”
Dokter Farhan menepuk pundak Ganda pelan dan meninggalkan kami. Aku masih menerawang ingatan sampai akhirnya aku berada di rumah sakit tapi nihil, aku hanya ingat saat melihat mobil taksi online pesananku terparkir di depan kantor, lalu?
“Ga, kita pindah ruangan, ya.” Aku tersadar kemudian mengangguk patuh.
Saat ini aku berada di ruangan rawat inap, rasanya tak perlu sampai begini, tapi Ganda bilang dia hanya melakukan yang terbaik. Ganda juga bertanya apakah dia perlu memberitahu Dimas, oh, tentu saja tidak perlu. Bisa habis aku jadi bahan omelannya.
Ganda berulang kali meminta maaf padaku, dia menceritakan alasannya tak sempat mengabariku karena mendadak menerima panggilan dinas, ada satu mobil berisi keluarga mengalami kecelakaan. Dia bahkan menyalahi dirinya atas apa yang terjadi padaku, padahal aku sudah menceritakan kelalaianku siang tadi.
Aku sempat bertanya pada Ganda bagaimana dia bisa menemukanku, dia bilang saat bertugas di IGD dan mengupdate status pasien, dia mendengar seorang perawat menyebut nama lengkapku. Saat dia bertanya lebih jelas ternyata aku dibawa ke IGD dalam keadaan pingsan oleh driver taksi dan seorang pria. Setelah melakukan pendaftaran pria itu pergi dan belum kembali, mungkinkah Pak Dirman?
“Ga—“
“Kalau mau minta maaf lagi aku gak mau dengar.” Aku menjeda suapanku dan menatapnya tajam.
“Iya, iya, lanjutin lagi makannya. Aku temani kamu malam ini, boleh?” Dia sudah menukar pakaiannya menjadi lebih santai, ya, ini Ganda yang selalu aku lihat. Sebelumnya aku belum pernah melihat dia memakai baju kebangsaannya seperti tadi, aku rasa ketampanannya naik pesat.
“Apa nggak sebaiknya istirahat di apartemen saja. Bukannya besok tugas pagi?” Aku menyudahi makanku, mulutku masih terasa pahit. Ganda membersihkan bekas makanku, memposisikan ranjang agar aku bisa bersandar dengan nyaman.
“Aku bisa istirahat di sini.” Selanjutnya dia merapikan selimutku, aku tahu dia menunggu jawabanku. “Boleh?” tanyanya sekali lagi dan aku mengangguk.
***
Setelah kemarin seharian beristirahat hari ini aku kembali pada rutinitasku, berkutat mengerjakan pekerjaan yang sudah menumpuk padahal baru saja ditinggal satu hari. Hingga waktu makan siang menyapa, aku turun ke kantin kantor bersama Dimas. Dimas akhirnya tahu ceritaku yang berakhir di rumah sakit kemarin dan, ya, dia seprotektif itu padaku.
“Iya … ini udah di kantin bareng Dimas, ya, oke, see you.” Aku mengakhiri panggilan telepon Ganda dan menerjap sesaat kala Pak Zein menyapa dan meminta izin untuk bergabung di meja yang sama dengan kami, beliau bersama Pak Damar saat ini. Tentu saja kami mempersilakan meski pasti nanti akan canggung.
Aku kembali setelah mengambil menu makan siangku begitu juga yang lain kecuali Pak Damar, dia masih tampak sibuk dengan ipad-nya. Kami duduk berhadapan, Pak Damar melihatku dan piring di hadapanku bergantian.
“Makan, Pak,” tawarku padanya.
“Wah … ada capcay di menu hari ini, ya.” Aku membelalak saat Pak Damar meraih garpu dan mengambil udang yang bersembunyi dibalik sesayuran yang aku ambil. Tak hanya udang, akhirnya dia menghabiskan sayurannya juga.
Sebenarnya aku alergi seafood satu itu, padahal enak dan aku suka. Kalau nekat memakannya tubuhku akan memerah dan gatal sekujur tubuh meski hanya memakan kuahnya.
Aku dan Dimas saling menatap saat Pak Damar pergi mengambil makan siangnya, kemudian Dimas menggeleng. Dari raut wajahnya dia tampak kesal, entah padaku yang ceroboh atau pada sikap Pak Damar yang sok perhatian tadi, tapi dibalik itu aku bersyukur bisa-bisa aku kembali lagi ke rumah sakit.
Pak Damar kembali membawa semangkok kecil sop. “Ini untuk menggantikan capcay tadi, maaf.” Pak Damar memberi sop itu padaku.
“I—iya, tidak apa-apa, Pak. Terima kasih.” Aku mengamati sop di mangkok itu, tidak ada kol, padahal aku sengaja tak memilih sop karena malas memilah kolnya, aku kurang menyukai sayuran satu itu.
Ada apa dengannya?
***
“Aku tahu kalau aku setampan itu, Ga.” Ganda melirikku seraya tersenyum dan kembali fokus pada kemudinya. Aku memang sempat mencuri pandang padanya.
“Kamu mau culik aku, ya?” Aku bertanya seperti ini karena kami sudah berjalan cukup jauh, tak biasanya begini.
“Boleh?” Kami saling menatap, aku memicingkan mata padanya dan dia terkekeh. Saat ini mobil sedang berhenti di lampu merah. “Kita makan, ya.” Aku hanya mengangguk.
“Mas.”
Ganda menatapku kemudian mengulumkan senyum lalu kembali fokus pada kemudinya.
“Usia kamukan lebih tua daripada aku, Mas.” Kini aku melipat kaki kananku dan menyerongkan badan ke arahnya.
“Mas ….” Aku memanggilnya setengah menggoda, akhirnya dia tertawa lepas.
“Panggil seperti biasa aja, Ga.”
“Gak sopan, sih.”
“Bagaimana dengan Dimas?”
“Dia pengecualian.”
“Oke, panggil Aa’ saja kalau begitu.” Ganda menoleh seraya tersenyum.
“Aa’ … Ah, iya. Kamu asli Bandung, ya.” Ganda mengangguk. “Kita sudah sampai, Neng,”ujarnya.
Eh, dimana ini?