"Bro, dilihatin terus tuh!" Jero menyenggol lenganku.
Di depan sana, seorang gadis bertubuh tinggi semampai berdiri terpaku menatapku. Gadis yang kerap datang, mampir hanya sekedar duduk seperti orang bodoh di depan pagar bengkel yang kudirikan dengan beberapa teman.
"Gak kenal." Jawabku tak acuh dan kembali fokus pada motor yang sedang kubongkar.
"Tapi dia rajin kesini, cuma lihat lo doang."
"Selesaikan ini!" Aku mengambil kemeja hitam yang tergantung di paku pintu ruang tempat memajang berbagai produk minyak pelumas kendaraan.
"Gue mau minta maaf." Gadis itu menghalangi jalanku, wajahnya yang tegas tidak terlihat ketakutan atau bosan meski berkali - kali kuabaikan. "Tolong, biarkan gue menebus kesalahan. Apa aja, lo bisa kasih struk biaya rumah sakit. Gue akan ganti."
Aku meliriknya sekilas dan kembali berjalan menuju motor RX King yang dibelikan Ayah saat kelulusan SMA.
"Atau, struk bengkel kerusakan motor lo. Please. Gue gak mau dihantui rasa bersalah." Memutar kunci kontak, kunyalakan motor.
Gadis itu menghadang di depan jalanku, "gue cuma mau minta maaf. Kenapa lo senang banget nyiksa gue sih?"
"Minggir!"
Dia bergerak ke samping, kulajukan motor, tapi tiba - tiba motor yang kukendarai tertarik ke belakang dan gadis itu tahu - tahu sudah terjatuh dua meter di belakangku.
"Ssshh, saaakiittt." Rengeknya manja seraya memeriksa kakinya yang tergores jalanan berbatu.
Aku segera berlari menghampirinya.
"Kamu gila ya!" Seruku panik.
Gadis itu bangun dan melihat celana jeansnya yang robek di bagian paha dan lutut.
"Ayo ke klinik." Aku membantunya berdiri.
"Gue minta maaf. Gue gak sengaja nabrak lo saat itu. Gue baru belajar nyetir." Bisiknya.
Aku diam tidak menggubrisnya.
Karena kecelakaan itu, aku kehilangan kesempatan untuk menjadi tentara. Cita - citaku sejak kecil.
Setelah memastikan dirinya mendapatkan perawatan, aku segera pergi menyelesaikan administrasi dan pulang. Namun, gadis itu kembali mengikutiku.
"Gue min--"
"Saya sudah maafkan. Sekarang, kamu bisa lupakan soal itu!" Aku kembali menyalakan motorku, bersiap pergi.
Tiba - tiba saja gadis itu naik dan duduk di belakang.
"Apa lagi ini?" Aku memutar leher untuk menegurnya.
"Anterin pulang." Dia menjawab dengan rengekan manja, membuatku teringat Anis, adik perempuanku.
Aku berdecak sebal, "jangan mudah percaya dengan orang yang baru kamu kenal. Bisa aja saya pembunuh sadis."
Gadis bodoh itu melebarkan senyumnya, "barusan, kalimat terpanjang pertama lo selama kita ketemu."
Aku mendengus dan melajukan motor beranjak dari tempat parkir klinik, dengan santainya gadis itu berpegangan pada kedua pinggangku.
Begitulah awalnya, hingga kami akhirnya menjadi lebih dekat dan semakin dekat. Hingga berpisah menjadi hal tersulit yang pernah ada.
~~~
Namanya Trinity. Gadis dengan tinggi seratus tujuh puluh senti, berambut lurus sebahu yang selalu dikuncir kuda dan membiarkan poni depannya bebas tanpa penjepit beraneka warna. Sejak peristiwa permintaan maaf itu, dirinya selalu datang menemuiku di bengkel. Membawakan banyak makanan untuk Jero dan Wahyu, kedua rekanku, dan membelikan mereka minuman.
Menemaniku memperbaiki motor - motor para pelanggan, hingga sore. Dan aku akan mengantarkannya pulang, setiap hari. Kadang kami mampir di warung makan pinggir jalan. Untuk sekedar memperpanjang kebersamaan di hari itu. Trinity akan menceritakan seputar kegiatan di kampusnya, teman - temannya hingga keluarga. Seperti hari ini.
"Kamu memang suka otomotif?" Matanya berbinar saat bertanya padaku.
Entah mengapa, menyenangkan melihat binar mata itu. Belum pernah ada sebelumnya perempuan yang terang - terangan mengikutiku kemanapun seperti Trinity. Jero bahkan memberikan nama 'Buntut' sebagai panggilannya untuknya, tentu saja karena dirinya selalu membuntutiku kemanapun aku pergi jika dia sedang tidak kuliah.
"Cuma ini pekerjaan yang bisa aku lakukan." Aku menjawab pertanyaannya.
Dia mencibir, "bohong ah. Kamu cocok jadi, uhm-- polisi, tentara. Badan kamu bagus."
Aku tersenyum kecut.
Impian kecilku harus musnah ketika pertemuan pertama kami menjadi bencana seumur hidup untukku. Trinity yang saat itu baru belajar membawa mobil, tanpa sengaja menabrakku yang sedang mengendarai motor. Cedera di lutut kiri, membuatku kehilangan kesempatan mengajukan diri untuk tes masuk dunia militer.
Meskipun Ayah dan Ibu merelakan, hatiku berat. Tidak ada lagi yang kuinginkan selain mengabdi pada Tanah Air. Dan membuat kedua orangtuaku bangga.
"Yah gerimis." Trinity menatap nanar pada langit yang mulai menurunkan rintik hujan.
"Mau pulang sekarang? Kamu bisa pakai jas hujanku." Aku mengeluarkan sepasang jas hujan berwarna merah marun dan memberikannya ke Trinity.
Dia tampak kesulitan mengancingkan bagian penutup kepalanya.
"Lihat ke atas!"
Trinity menengadahkan lehernya ke atas, untuk kubantu mengancingkan bagian penutup kepalanya.
Setiap sentuhan yang kudaratkan di kulit wajahnya, membuat degupan di dadaku menggila. Aku berdeham beberapa kali, menghilangkan kegugupan melihat wajahnya yang hanya beberapa senti dari wajahku.
Trinity mengerjapkan matanya dengan cepat.
"Sudah." Aku memecahkan keheningan yang terjadi.
"Kamu ganteng banget kalau dari dekat begini." Katanya tiba - tiba.
Membuat akal sehatku mengabur beberapa saat.
Ini kali pertama bagiku, merasakan degupan kencang di d**a ketika mendengar pujian dari seorang wanita. Kali pertama bagiku, kehilangan kata - kata meski hanya sekedar tatapan mata. Pertama kali bagiku, begitu menginginkan waktu yang lebih lama bersamanya.
***
"Senang sekali, Mas." Ibu yang belum tidur menggoda ketika melihat wajahku yang tidak bisa berhenti tersenyum.
Kuraih tangan kanan ibu dan mengecup punggung tangannya dengan takzim, seraya tersenyum malu karena ketahuan senyum - senyum sejak baru datang.
"Siapa sih? Bawa dong ke rumah, Ibu mau kenalan."
Aku tertawa malu dan meraih bahu ibu, memeluknya.
"Insya Allah, suatu saat nanti Giri bawa ke rumah."
Ibu mengelus kepala dan mengecup dahiku. Pasti adikku sudah tidur, jika belum dan melihat ini, dia akan cemburu dengan ibu dan berebut untuk menciumku. Anak itu memang, sudah kuliah masih saja ngaku - ngaku sebagai pacarku jika ada teman wanita yang menelpon ke rumah mencariku. Padahal dia sudah punya pacar sendiri, itu yang kudengar dari ibu. Dan kadang aku tahu saat dirinya sedang asyik berbincang di telepon dengan kekasihnya.
"Giri mandi dulu, Bu."
"Kamu sudah makan?"
"Sudah," jawabku tak bisa lepas senyum saat mengingat Trinity yang menemaniku makan malam tadi.
"Yasudah, sana mandi!" Ibu menggelengkan kepala melihat tingkahku.
•••