Permohonan Maaf

1262 Words
Aldi muncul ketika Rian tak kunjung memberi tahu perihal keperluannya datang ke ruangan karyawan housekeeping kepada Reina, yang saat itu masih diam dengan menundukkan wajahnya. "Pak Rian! Maaf, ada keperluan apa, yah, Bapak datang kemari? Apa Bapak membutuhkan sesuatu?" Aldi yang tidak menyadari sikap diam antara Reina dan sang manajer, bersikap hormat kepada atasan barunya itu. Mendapat kesempatan untuk pergi, Reina pun pamit undur diri pada sang kapten, dan juga 'manajernya'. "Aku pulang dulu, Mas!" "Oh iya. Makasih, yah, Rein!" "Iya, Mas." Reina melewati Rian, tetapi sebelumnya ia menyempatkan diri untuk pamit kepada lelaki itu. "Permisi, Pak Rian." Tidak peduli akan tatapan Rian yang terus melihat ke arahnya seolah ingin mengatakan sesuatu, Reina melangkah cepat demi menghindari laki-laki yang mendadak kembali hadir di dalam kehidupannya itu. "Pak Rian? Pak!" panggil Aldi karena sang manajer terus melihat ke arah Reina pergi. "Eh, iya!" Rian kembali dalam modenya. Sikap tegas yang sejak awal ia perlihatkan, kini kembali. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Rian akhirnya menyampaikan maksud kedatangannya ke ruangan petugas kamar tersebut kepada Aldi. Sedangkan di tempat lain, tepatnya di tangga darurat di mana ada sosok Reina yang tengah menuruni anak tangga, gadis itu bergerak cepat menuju ruangan loker yang ada di lantai basement. Perasaannya kacau. Baru hari pertama ia bertemu dengan Rian setelah lebih dari lima tahun tidak bertemu, membuat perasaan yang sudah lama melupakan sosok cinta pertamanya itu, seperti terobrak-abrik akan kedatangannya yang tidak terduga. Inginnya Reina teriak. Mengadu pada Sang Pencipta akan suratan takdir yang Tuhan tuliskan untuknya. Namun, siapa-lah dirinya yang hanya manusia biasa, yang tak mungkin berani melakukan hal demikian. Mau bagaimana pun juga sebagai hamba ia harus banyak-banyak bersyukur karena berkat pertolongan yang Tuhan berikan, ia mampu melewati kesulitan hidupnya selama ini. Gadis itu terus berjalan menuju ruang loker. Jam pergantian shift yang sudah lewat, membuatnya sendirian di ruang ganti tersebut. Teman-temannya di jadwal pagi yang sama dengannya tadi, sudah tak terlihat lagi keberadaannya, termasuk Jefry yang hari itu izin pulang duluan karena ada urusan keluarga. Biasanya meskipun mereka tidak pulang bersama, lelaki itu akan setia menunggu Reina di ruangan khusus karyawan tersebut. Reina bersegera merapikan pakaian seragam dan menggantungkan kembali di lemari loker. Penampilannya sudah berganti dengan pakaian kasual yang membuatnya terlihat cantik dan santai. Rambut panjang yang sebelumnya digelung, ia ikat kuncir kuda supaya tidak mengganggunya saat mengendarai motor nanti. Setelah mengunci lemarinya, Reina pun keluar ruangan untuk menuju area parkiran. Namun, lagi-lagi ia harus terkejut ketika untuk kedua kalinya sosok Rian sudah berdiri di depan ruangan itu dengan menatapnya serius. "P-Pak Rian! A-Anda sedang apa di sini?" Terbata Reina bertanya. Ia masih kaget dengan kehadiran Rian yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Rein, bisakah kamu tidak bersikap formal seperti ini? Jam kerja kamu sudah habis bukan?" "Tapi Anda belum, Pak Rian." Reina menjawab dengan wajah yang seketika menunduk. Hal yang tak diduga terjadi di depan Reina, atasan sekaligus mantan temannya itu melepas jas hitam dan dasi biru navy yang mengalung di leher dan memilih menggenggamnya. Setelah itu ia menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. Saat ini, tampak di depan Reina sosok lelaki tampan dengan pakaian sedikit santai tanpa dasi dan jas melekat di tubuhnya yang atletis. "Aku baru menyelesaikan pekerjaanku. Saat ini pun aku sedang tidak dalam kondisi sedang bekerja. Jadi, apakah kamu masih akan memanggilku dengan panggilan 'Pak'?" Dalam kondisi termenung dan bingung, Reina akhirnya mencoba berdamai dengan hatinya. Gadis itu pun akhirnya memberanikan diri menatap lelaki yang sudah membuat seorang Reina menjadi sosok perempuan tangguh, yang mampu melewati semua kesulitan hidup dalam keyakinan hati yang luar biasa. "Kamu ada perlu apa, Rian?" Segaris senyum tersungging di bibir Rian. Meski tipis, Reina bisa melihatnya. "Jadi benar kamu tidak lupa padaku?" tanya Rian, entah apa maksudnya. "Aku sudah katakan 'tidak' ketika di atas tadi bukan?" "Ya, tetapi aku tidak yakin karena kamu tidak menjawabnya dengan tegas." "Kamu tahu alasannya." Sikap dingin yang Reina tunjukkan, sedikit membuat Rian canggung. Sekian lama tidak bertemu, ditambah kondisi keduanya dulu yang memang tidak akrab, membuat Rian sedikit gugup. Namun, salut Reina rasakan sebab lelaki itu mampu menghadapi situasi canggung di antara mereka dengan sikapnya yang —terlihat berbeda, sedikit ceria dan tampak santai. Jauh sekali dengan sikap Rian yang Reina tahu adalah lelaki pendiam dan jutek. "Apa kabar kamu, Rein?" Gadis itu mendelik. Pertanyaan itu bukankah sudah ia jawab? "Aku baik, kalau kamu tidak lupa ingatan?" jawab Reina datar. "Ya, aku masih ingat, tetapi yang aku mau tahu kabar kamu selama ini yang menghilang entah kemana." "Aku menghilang? Apa kamu salah minum obat?" "Tidak, aku masih waras makanya aku bertanya padamu." Seolah enggan berbincang lama dengan mantan teman satu sekolahnya itu, Reina pun menatap tajam dan serius lelaki di depannya. "Rian, jujur saja aku enggak tahu maksud kamu menemuiku apa? Tapi, aku rasa enggak ada kewajiban apapun bagiku untuk memberi tahu kamu, ke mana aku dan apa saja yang aku lakukan selama ini. Dan kalau kamu tidak salah ingat, hubungan kita ini hanya mantan teman satu sekolah. Jadi tolong, jangan bersikap sok perhatian apalagi bersikap sok akrab seperti ini. Karena saat ini kita tidak memiliki ikatan atau hubungan apapun selain hubungan pekerjaan, yakni sebagai seorang atasan dan bawahan!" Sejenak Rian terkejut dengan pernyataan yang Reina sampaikan. Lelaki itu sadar jika perkataan yang terlontar dari mulut Reina, sejatinya adalah sebuah kebenaran. "Reina, maksudku menemui kamu adalah karena aku ingin meminta maaf atas apa yang sudah terjadi di antara kita di masa lalu." "Tidak ada yang terjadi di antara kita, baik sekarang atau pun dulu." Reina menjawab tegas. Gadis itu sepertinya tak ingin mengulur waktu demi pembahasan yang menurutnya sudah tidak penting. "Reina, berikan aku kesempatan untuk menyampaikan permintaan maafku ke kamu," mohon Rian dengan wajah mengiba. "Enggak ada maaf yang perlu kamu sampaikan padaku, Rian." "Reina, please, jangan memotong terus kalimatku dulu," pinta Rian penuh harap. Reina melengos ketika melihat wajah tampan di depannya menatap dengan teduh. Sebetulnya Reina sama sekali tak ada kepentingan apapun dengan Rian. Lagipula, bukankah hubungan mereka tidak seistimewa seperti apa yang hendak Rian sampaikan. Memang kesalahan apa yang sudah lelaki itu buat sampai harus meminta maaf padanya. "Ok, Rian. Aku akan memberimu kesempatan. Tapi, sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang akan kamu sampaikan karena, ya ... kita ini bukan siapa-siapa. Permintaan maaf atas kesalahan apa juga yang akan kamu ingin sampaikan padaku, aku sama sekali enggak paham." Meskipun sedikit terkejut dengan jawaban yang Reina berikan, tetapi Rian merasa cukup senang karena gadis itu mau memberinya kesempatan untuk bicara. "Bisakah kita mencari tempat supaya nyaman berbicara?" "Apakah kamu tidak salah meminta? Dengan kita berbicara di sini saja akan menimbulkan banyak spekulasi seandainya ada karyawan yang melihat kamu bicara denganku. Apa yang akan mereka bicarakan seandainya aku dan kamu pergi bersama?" "Aku tidak peduli." "Kamu atasan, tentu saja kamu tidak peduli. Tapi aku sebagai karyawan kelas bawah, pastinya akan mendapat image buruk jika sudah berani pergi dengan seorang manajer yang baru saja bekerja." Reina semakin tidak mengerti dengan ide yang Rian ajukan. "Jangan menganggap dirimu terlalu rendah seperti itu, Rein?" "Aku memang rendah, bukankah itu yang kamu katakan dulu?" Reina menatap Rian kesal. "Kapan aku pernah mengatakan itu, Reina?" Rian seolah memutar memorinya ketika Reina mengatakan hal yang yang tak pernah ia lakukan. "Kamu memang tidak pernah mengatakan itu secara langsung, tetapi dengan mengatakan aku seorang perempuan yang tidak tahu malu, itu sudah membuatku berada di titik terendah hidupku, Rian." "Reina!" "Maaf Rian, kalau kamu tidak jadi bicara, aku permisi pulang sekarang." Reina sudah hampir melewati tubuh Rian yang sejak tadi menghadangnya, tetapi saat Reina baru saja sejengkal meninggalkan, Rian sudah menarik tangannya sehingga membuat tubuh Reina berbalik dan akhirnya menubruk tubuh Rian. "Kyaa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD