Sepuluh

1619 Words
Lea memperhatikan sosok wanita imut yang terlihat cantik di samping Nathan, wajahnya mungil dan nampak sekali kalau dia berasal dari kalangan berada. "Ini Serra, Serra ini Lea," Nathan mengenalkan Lea pada istrinya, Lea memberikan selamat pada wanita cantik yang kini menikahi mantan pacarnya itu. Serra tersenyum namun pandangannya teralih ke lelaki yang sedari tadi membisu di belakang Lea. "Ka Ale?" "Hai," Ale menyalami Serra, sebelumnya dia juga tak menyangka kalau mengenal sang mempelai wanita. "Pah, ini ka Ale dateng," Serra nampak memanggil ayahnya yang berdiri di dekatnya. Ale pun menyalami ayah Serra dengan kikuk, dengan harapan tidak ada yang membocorkannya. Karena ayah Serra merupakan rekan bisnis papanya. "Lho tadi kata papa kamu lagi diluar kota enggak bisa hadir?" "Iya baru sampe om, langsung kesini." Ayah Serra mengangguk dan melirik Lea. "Ini calon istri kamu?" Lea memberikan senyum terpaksa, dia juga tak tahu kalau ternyata mertuanya Nathan mengenal Ale. Sementara Ale menelan salivanya kasar, salah tingkah. "Doanya aja om," jawab Ale lalu dia mengamit lengan Lea untuk turun, "Kita kebawah dulu ya Om, gantian sama yang lain," "Oh iya, ya sudah selamat menikmati ya." Ale melepas kaitan lengannya ketika mereka sudah berada di dekat meja kerumunan teman-teman Lea, Lea pun langsung diberikan tempat duduk oleh teman yang lain yang masih asik meledeknya. Ale yang duduk disamping Lea hanya sesekali menimpali percakapan itu. "Kerja dimana?" tanya salah satu teman Lea pada Ale. "Hmm, di Radians group." "Owh yang terkenal itu ya, hebat! sebagai apa?" Timpal lainnya. Ale merasa salah tingkah, dia melirik Lea yang juga terlihat menanti jawaban Ale. "Staff biasa kok, hehe." Kekeh Ale menyamarkan suaranya yang terdengar agak sumbang karena berbohong. Calon pewaris tunggal Radians group yang menyamar sebagai karyawan biasa. Catat 'Biasa'! "Emang pemilik Radians group siapa sih? Jadi penasaran." Lea mengambil handphone dari tasnya dan ingin browsing. Namun dengan cepat Ale mengambil handphone Lea dan memasukkan kembali ke tasnya. "Nanti aja lah, masa temennya mau dikacangin," Ale tersenyum pada teman-teman Lea yang langsung menyetujui kata-katanya. Setelah Lea bercengkrama lagi dengan teman-temannya barulah Ale merasa tenang. Betul kata mamah, cepat atau lambat dia pasti tahu. Tapi Ale ingin mengulur waktu selama mungkin. Dia sudah sangat nyaman dengan posisi dan kedekatannya saat ini. "Gue ke toilet dulu ya," Pamit Ale, Kemudian seorang wanita yang tadi duduk tak jauh dari Lea menggantikan tempat duduk Ale. "Lo tau gak Le, si Nathan dulu frustasi banget pas lo tinggal nikah, parah banget! Kita udah coba hubungin email dia seminggu sebelum lo nikah tapi emailnya kayaknya enggak dibuka atau apa? Kita kan memang lose contact sama dia. Pas dia balik dua tahun kemudian ckckck hampir bunuh diri dia." Ucap si wanita itu, "Iya, kita nih yang coba nyadarin dia supaya gak berbuat gila kayak gitu, makanya kita kaget pas elo cerai, kita pikir lo akan nikah sama dia, dan yang bikin kita kaget ternyata dia malah nikah sama perempuan lain, anak bosnya." Tambah teman yang lainnya. Lea tersenyum getir dan menengok ke pelaminan itu, disana tampak Nathan yang sedang mengusap kepala Serra. "Cewek itu yang duluan suka Nathan, Nathan kan dapet panggilan kerja di perusahaan bokapnya setelah balik ke Indo, nah dari situ mereka ketemu dan gosipnya sih si cewek ini bener-bener jatuh cinta sama Nathan, untung si Nathan pinter ya jadi hubungan mereka gak ditentang orangtuanya. Meskipun Nathan berasal dari keluarga biasa aja." Lea hanya memberikan anggukan singkat. Jujur hatinya malah semakin perih. Disaat dia sedang menjalani bahtera rumah tangga, disaat itu pula Nathan depresi. Hatinya seperti tersayat pisau, tercabik dan susah dijelaskan dengan kata-kata. "Gue balik duluan ya, kasian anak-anak klo kelamaan ditinggal." Pamit Lea pada teman-temannya. Baru saja melangkah, seseorang pramusaji menghampirinya dan memberikan box pada Lea. "Mba Lea kan? Ini puding dari ibu katanya buat mba bawa pulang." "Oh makasih ya Mas," Lea menoleh ke pelaminan, nampak ibu Nathan yang melambai kan tangan dan Lea mengangguk sambil mengucapkan terimakasih. Hatinya semakin hancur sekarang. Tidak bolehkah dia berharap bahwa wanita baik itu yang menjadi mertuanya? Tidak bolehkah dia bermimpi bahwa dirinyalah yang ada disamping Nathan, mengenakan gaun itu, tersenyum dan menyalami tamu undangan, lalu mengarungi rumah tangga yang bahagia. Lea memegang sudut matanya, tak ingin meneteskan air mata, meskipun dia yakin hidungnya sudah memerah. Dengan cepat Lea berjalan ke mobil Ale, ternyata Ale sudah berdiri di dekat mobil itu. "Kita pulang," ucap Lea sambil membuka pintu mobil. Ale tahu ada yang tidak beres dari suara Lea yang bergetar. Karena itu tanpa banyak tanya dia melajukan mobilnya menuju suatu tempat, dimana Lea bisa melampiaskan tangisnya. *** Mobil yang dikendarai Ale masuk ke dalam pelataran Mall eksekutif, disebut eksekutif karena hanya yang mempunyai kartu member yang bisa belanja disana. Untuk membuat kartu memberpun harus punya penghasilan tetap perbulannya diatas belasan juta, dan wajib berbelanja disana sebulan minimal tiga juta. Mall itu tidak terlalu besar namun sangat mewah dan berkelas, hanya terdiri dari empat lantai. Di lantai satu terdapat berbagai aneka makanan dari belahan dunia. Wisata kuliner Keliling dunia tak perlu jauh-jauh karena semua tersedia di mall itu. Lantai dua berisi seluruh yang berhubungan dengan fashion dari brand-brand ternama yang bahkan harga satu itemnya bisa mencapai ratusan juta. Lantai tiga merupakan pusat perhiasan, berlian, permata dan sebagainya ada disana. Banyak Artis yang ingin menikah membeli cincin dan set perhiasan disana. Lantai empat merupakan tempat bioskop yang sangat-sangat privat, kursi yang dipakai antara penonton satu dan lainnya bisa di set berjauhan. Bisa ditarik dan diatur memanjang seperti sofa bed, ada selimut dan bahkan bisa sambil memesan makanan pula. Ale terbiasa berjalan disana, ya ayahnya lah yang membuat Mall ini. Mall yang baru dibangun lima tahun belakangan ini sudah mempunyai omset yang fantastis. "Gue belum pernah masuk sini sebelumnya, tapi yang gue denger hanya yang punya kartu member yang bisa masuk ya? Lo punya AL?" "Iya, hmm gue kerja disini." Lea hanya mengangguk mengerti lalu mengikuti Ale yang sudah naik eskalator ke lantai paling atas. "Mall sepi gini apa incomenya sesuai ya sama servicenya? Lihat tuh semua pegawainya nunduk saat kita lewat, mereka memperlakukan semua pelanggan kayak gitu Al?" tanya Lea lagi, matanya memutar ke pegawai yang memakai segaram sama, seragam berwarna hitam, yang wanita memakai hairnet, yang pria memakai dasi, bahkan tinggi tubuh mereka hampir sama semua. Dengan wajah yang tampan dan cantik. Lea menggeleng pelan, membayangkan betapa capeknya bekerja sebagai karyawan Mall elite seperti ini, harus terus senyum dan ramah. Apalagi ditambah harus membungkuk setiap pelanggan sepertinya lewat. Ale mempersilahkan Lea untuk menempati kursi bioskop yang ada di pojok, sudah di setting agar bisa dipakai tiduran, dengan bantal yang terlihat nyaman sekali, juga selimut lembut yang tertata rapih. Bahkan pelayan yang datang langsung memberikan mereka hidangan kentang goreng dan tiramissu, juga coklat hangat. Tak lama layar besar di depannya memutar sebuah film barat, entah berjudul apa? Lea tak perduli, suasana yang remang, musik klasik yang menjadi backsound film itu meruntuhkan pertahanannya. "Mau nangis? Teriak sekenceng apapun juga gak apa-apa." Ale tersenyum lebar, Lea menoleh sambil menggigit bibir bawahnya tapi sekuat apapun dia mencoba menahan tangis, tetap saja dinding itu jebol juga. Luruhlah air matanya bersama banyak kenangan yang silih berganti. Perkenalan pertama dirinya dan Nathan di SMA, hingga akhirnya mereka berteman dan menikah. Lea yang merasa sangat dilindungi Nathan, lalu perkenalannya dengan kedua orangtua Nathan yang amat sangat baik terhadapnya, perlakuan ibu Nathan yang sering sekali memberinya perhatian. Semua laksana kaset yang berputar. "Bi.. Biasanya gue klo nangis meluk Ina, tapi dia udah gak ada sekarang huhuhu," Lea tergugu persis anak kecil sambil mengusap kasar air matanya. Ale nampak berfikir lalu ingatannya kembali pada saat pertama kali dia bertemu Lea, wanita itu sudah memberitahu bahwa ulang tahunnya sama dengan mendiang sahabatnya yang sudah lebih dulu pergi dari dunia ini. "Yaudah untuk hari ini, anggap aja gue Ina, tanggal lahir kita sama kan?" Ale duduk di kursi yang sama dengan Lea dan merentangkan tangannya, langsung saja Lea menghambur dalam pelukannya. Tangisnya pecah lagi kali ini dengan cukup keras, hingga Ale dapat merasakan bajunya sudah basah dengan air mata Lea. Dia mengusap rambut Lea turun hingga ke punggung, menepuknya pelan, lalu mengulanginya lagi sampai Lea agak tenang. "Makasih ya Ina, Lea sayang Ina." Lea yang masih terbawa perasaan merasakan bahwa sosok yang memeluknya kini adalah sahabatnya yang sudah pergi tiga tahun lalu. Ale terhenyak, tubuhnya kaku dan diapun mengerjapkan matanya. Dengan suara yang dibuat-buat seperti wanita dia menjawab ucapan Lea. "Sama-sama, Ina juga sayang Lea," Lea menarik tubuhnya dan mendengus kemudian dia tertawa pelan. "Ina suaranya gak jelek kayak gitu, itu sih kayak kodok kejepit." Ale mengusap air mata di pipi Lea dengan kedua jempolnya, lalu dia menangkup wajah lea sambil agak menunduk, mensejajarkan wajahnya. "Jangan nangis lagi ya, Loe jelek klo nangis." Ale tertawa sementara Lea sudah mencubiti perutnya. Setelah puas menangis dan kini tertawa, dia merasa sangat lega sekarang. Semua unek-uneknya sudah keluar dan plong. Bahkan film yang mereka tonton pun sudah habis dan sampai di credit title, tanpa sempat mereka tonton karena yang terjadi justru film itulah yang menonton mereka berdua. Setelah keluar dari Mall, Ale langsung mengantarkan Lea pulang kerumahnya, karena hari juga sudah larut malam. Sebelum Lea membuka pintu mobil, Ale memanggilnya, membuat Lea urung. "Itu pudingnya gak dibawa," Tunjuk Ale pada box yang diletakkan dibangku belakang, puding dari Ibu Nathan. Lea menarik nafas dan menjulurkan tangan mengambil box itu. "Kira-kira suatu saat nanti gue bisa dapet mertua yang baik kayak dia gak ya?" Gumam Lea lebih berucap ke dirinya sendiri karena suaranya yang pelan. "Bisa lah," Jawab Ale dengan tangan yang digunakan untuk menopang dagunya ke stir. Sangat yakin bahwa ibunya pasti jauh lebih baik dalam memperlakukan Lea nanti. Nanti.. jika Lea menjadi istrinya. "Thanks yaa atas hari ini." Lea tersenyum sangat manis, lalu melambai saat keluar dari mobil dan saat itu juga Ale merasa bahwa jantungnya berhenti berdetak. Senyum itu indah sekali bahkan dia sampai lupa bernafas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD