Alvaro sedang menelepon dengan salah satu anak buahnya di kantor sang papa yang sampai saat ini masih ada di sana. Tapi dia juga butuh informasi banyak mengenai perusahaan tersebut. Akan tetapi apa untungnya berharap pada perusahaan sang papa untuk saat ini. Lebih baik fokus untuk mengatur siasat cara agar penjualan di restorannya ini terus meningkat.
Namun, saat Alvaro sedang sibuk dengan semua laporan itu. Tiba-tiba saja dia mencium aroma masakan yang sangat enak sekali. Beberapa waktu lalu Anjani mengatakan kalau dia akan masak mulai hari ini untuk Alvaro.
Tapi begitu dia sibuk bekerja. Malah tercium sekali masakan itu. Meskipun dia izin untuk tidur tadi.
Dia segera menyelesaikan teleponnya dengan anak buahnya. Kemudian keluar dari kamarnya untuk menuju ke dapur. Dilihatnya Anjani sedang menata piring di atas meja dan sudah siap untuk hidangan kali ini.
“Apa sudah selesai?” Alvaro menghampiri. Anjani mengangguk mendengar pertanyaan Alvaro.
“Ya. Semua sudah selesai. Mau langsung makan sekarang?”
Alvaro malah duduk tanpa menjawab pertanyaan dari Anjani saat melihat makanan yang menggugah selera. “Apa ini tidak ada racunnya?”
Ekspresi Anjani malah berubah mendengar itu. Tidak biasanya juga Alvaro berkata demikian dan malah menyakiti hatinya sebagai seorang juru masak. “Kakak kan nggak pernah ngomong gini ke aku.”
Alvaro baru sadar dia salah bicara. “Aku bercanda, ayo makan! Kamu istirahat, biar aku yang cuci piring nanti.”
Cuci piring? Apa seorang pria bisa cuci piring dengan sangat bersih. “Kakak bisa cuci piring?”
Alvaro malah menertawakan Anjani. “Kamu pikir aku tidak pernah cuci piring?”
“Nggak tahu, kita cuman ketemu beberapa kali.”
Alvaro mengambilkan nasi untuk Anjani. “Sudahlah, yang tadi lupakan ucapanku. Mari makan! Setelah itu kamu yang istirahat, kamu mandi kek terserah. Untuk kamar kamu juga sudah aku pasangkan kunci sidik jari, biar aku nggak bisa masuk. Kamu nanti tinggal daftarkan sidik jari kamu dan blokir sidik jariku.”
“Kenapa sampai sejauh itu?”
Sedangkan Alvaro tahu bahwa mereka ini adalah lawan jenis yang tidak bisa dibiarkan untuk tinggal bersama tapi karena butuh dengan jasa Anjani, maka mau tidak mau harus tetap tinggal bersama. “Kamu tau kan risiko perempuan sama laki-laki tinggal bersama?”
“Ya, biasa aja.”
Tapi mana bisa Alvaro bersikap biasa saja kalau tinggal dengan seorang wanita. “Sudahlah jangan dibahas, kamu makan saja.”
Anjani duduk di tempat berlawanan dengan Alvaro. “Apa orangtuamu tidak bertanya apa pun?”
Anjani menjawab. “Nggak sih kak, cuman mungkin nanti pulangnya seminggu sekali. Itu kalau kakak perbolehkan.”
“Jangan nginap.”
“Lah, kok gitu?”
“Aku nggak suka sendirian.”
Anjani mengangguk sembari dia mengunyah makannya. “Ya, kak. Aku pasti kembali lagi.”
“Kalau bisa aku yang anterin kamu pagi, pulangnya malam hari. Aku juga yang jemput.”
Tapi baru kali ini Anjani merasa dirinya ditanggung jawab oleh seorang pria. “Apa kakak tidak akan repot?”
“Tidak, akan lebih tidak tenang kalau kamu kembali sendirian. Maka dari itu aku tanya kamu mau mobil atau tidak. Tapi karena kita bakalan bareng terus, sepertinya nggak usah.”
Saat mereka sedang makan, tiba-tiba Anjani membahas. “Mengenai kakak diusir dari rumah dan juga kehilangan pekerjaan. Juga karena aku yang buat kakak putus sama pacar kakak, aku minta maaf sebesar-besarnya.”
Tapi tidak masalah bagi Alvaro, tahu kalau itu adalah neneknya yang dibantu oleh Anjani pada hari itu. Dua menitnya Anjani sudah dilewatkan oleh hal yang berharga sekali. Padahal semua juga demi sang nenek.
Namun untuk kali ini tidak akan mempermasalahkan soal itu. “Seharusnya kamu nggak perlu lagi bahas soal itu. Sekarang gimana caranya kita hidup di tempat seperti ini berdua dan harus saling dukung satu sama lain. Kamu jangan bahas yang sudah lewat. Kamu adalah kamu yang waktu itu sudah lakukan kesalahan. Aku juga lakukan. Sudahi jangan bahas lagi.”
Kemudian Alvaro mengambil sayur asam yang dibuat oleh Anjani. Waktu mencicipi kuahnya, dia diam sejenak. “Apa tidak enak?”
Alvaro diam bukan karena dirinya tidak suka, tapi malah diam lantaran dia baru kali ini merasakan masakan yang sangat enak. “Bukan.”
“Apa ada yang kurang?”
“Sedikit pedas, mungkin kamu bisa kurangi untuk masak yang pedas. Sudah aku ingatkan tadi.”
Anjani meminta maaf. “Jangan dimakan kalau nggak bisa kak, nanti kakak mules.”
Tapi sudah disukai oleh Alvaro kalau sayur asam buatan Anjani sangat enak. Tapi dilihatnya juga lauk yang ada di atas meja yang disediakan oleh Anjani.
“Apa kamu bisa bikin nasi kuning?”
“Tentu.”
“Apa kamu terbiasa memasak?”
“Ya, Kak. Mama selalu bilang kalau wanita itu harus bisa masak. Mau sekaya apa pun suaminya, harus bisa masak. Karena ada waktu di mana suami nanti bakalan minta masakan sendiri. Mama selalu tekankan itu, jadi aku sudah diajari masak sama Mama sejak lama. Kalau Mama kerja, terus aku sama adikku di rumah. Aku yang masak, soalnya Mama sama Papa kan kerja. Aku sama kedua adikku di rumah dan kadang masak bareng.”
Tidak heran kalau Anjani sepertinya mahir sekali dalam membuat bumbu dan rasanya juga sangat pas, Alvaro justru suka dengan rasa yang melekat sekali dan bisa dibanggakan oleh Alvaro kali ini. Tidak salah kalau dia memilih Anjani dalam segi masakan.
“Besok kamu buatkan aku nasi kuning, telur dadar, aku juga pengen telur bacem.”
“Oke, besok ya kak. Untuk menu makan siang?”
“Ya. Malamnya juga boleh kok seperti ini. Tapi jangan yang pedas. Untuk sambal di nasi kuning besok, bikin yang pedas manis. Usahakanlah gimana enaknya pokoknya.”
Anjani mengiyakan pria itu lalu melanjutkan makannya. Tapi dilihat kalau Alvaro malah makan dengan cukup lahap.
Anjani bersandar karena baru saja selesai makan dan menikmati hidangan kali ini. “Kamu kalau belanja bulanan nanti catat yang kamu butuhkan.”
“Ya, Kak.
“Kamu mandi saja, aku yang beres-beres.”
Anjani lalu kemudian meninggalkan Alvaro di meja makan sendirian untuk membersihkannya.
Begitu Anjani pergi, justru Alvaro mengambil nasi lagi dan menambah porsi makannya. Mana pernah dia sampai makan sebanyak ini sekalipun itu di rumah.
“Dia resek, tapi kalau soal makanan. Aku nggak bisa remehkan,” ucap Alvaro yang menambah untuk ketiga kalinya.
Benar-benar bisa jadi berat badannya akan naik drastis dengan cara yang seperti ini. Jujur saja kalau Alvaro memang suka dengan masakan yang dibuat oleh Anjani.
Alvaro mencuci piring dan merapikan meja makan. Saat Anjani keluar dari kamarnya dan menuju dapur, Alvaro baru selesai untuk menaruh di rak piring. “Kakak benar-benar mencuci?”
“Ya, kamu istirahat saja. Aku juga ada pekerjaan.”
Alvaro harus bisa menjaga dirinya di hadapan Anjani karena ingat dia punya karakter dingin yang sudah dikenal sekali oleh Anjani. Sekarang harus tetap dingin juga karena tidak mau kalau nanti malah diremehkan oleh Anjani.
Wanita cantik, hebat dalam memasak, ingin jadi tulang punggung, ingin membahagiakan orangtuanya.
Alvaro berdiri di depan cermin yang ada di dalam kamarnya. “Masih ada wanita yang berpikiran untuk orangtuanya, dibandingkan dengan memikirkan diri sendiri.”