Hari ini betul-betul hari yang sibuk di tahun 2005.
Sam memarkir motornya, dan berjalan tergesa-gesa masuk kantor. Matahari sudah tinggi sejak tadi. Sudah lewat jam makan siang. Benar-benar sial.
Hari ini bahkan jam beker tuanya tidak berhasil membangunkannya dari pulau kapuk. Tidak ada alasan untuk tidak masuk. Besok jam dua siang pekerjaannya harus selesai dan siap dipresentasikan. Mau tidak mau ia harus masuk kantor meskipun tubuhnya membujuk untuk tidur lebih lama lagi.
Tadinya ia bermaksud tidur 4 jam saja di rumah, setelah tiga hari habis-habisan lembur di kantor. Hasilnya, ia tertidur nyenyak selama 8 jam. Teman-temannya pasti sudah bekerja sedari tadi, mengingat mepetnya deadline.
Dengan jins belel, kemeja lusuh, dan tas ransel di punggungnya tidak akan ada yang mengiranya seorang eksekutif muda, alias pekerja kantoran. Sekilas, orang akan mengiranya calon office boy yang mencari lowongan untuk sesuap nasi.
Di salah satu gedung pencakar langit, di bilangan Jalan Sudirman, penampilan Sam terlihat mencolok di antara pegawai kantoran yang berpakaian rapi dengan setelan blazer atau jas.
Sekilas, satpam meliriknya curiga, namun id card yang menggantung di lehernya jelas-jelas menyatakan bahwa Sam adalah salah satu karyawan yang bekerja di gedung itu. Sam masuk ke dalam lift dan memencet angka 5. Ia bersandar di dinding dengan lelah.
Bayangan di dinding menunjukkan wajahnya yang kusut dan rambutnya yang awut-awutan, lupa disisir dan diikat asal-asalan. Hari ini ia tidak sempat minum kopi ataupun energy drink untuk mensuplai energi tambahan ke dalam tubuhnya.
Boro-boro! Sam buru-buru melompat dari kasur begitu mendengar suara Ivan, bosnya di ponsel yang terdengar panik bercampur kesal karena belum menemukannya di dalam kantor di saat-saat genting begini.
Pada dasarnya jam kerja di kantornya jauh lebih fleksibel dibandingkan di tempat lain. Maklum, karena pekerjaannya sebagai staf kreatif dari agensi periklanan, jadi ia diperbolehkan datang agak siang dan lebih longgar dalam berpakaian.
Tapi, konsekuensinya, tentu saja, akan ada banyak malam-malam lembur yang panjang dan tidak mengenal kompromi begitu tenggat waktu proyek tiba. Juga, tentu saja, tidak kenal ampun kalau bersantai-santai di saat seperti sekarang.
Tanpa banyak basa-basi, Sam langsung masuk ruangan dan bergabung dengan timnya yang bertugas menyelesaikan dummy iklan produk untuk perusahaan mie instan ternama. Sebagai seorang desainer komunikasi visual, sudah menjadi tugasnya untuk membuat berbagai rancangan konsep yang artistik sekaligus berdaya jual bagi klien. Tahun ini, di usianya yang ke-25, adalah tahun ketiga ia bekerja sebagai Art Director Junior.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini ia sudah siap untuk lembur dan tidur di kantor. Satu setelan blazer terbaiknya sudah tersimpan rapi di dalam laci mejanya untuk mendampingi presentasi Tina, account excecutive, yang bertugas di depan klien besok.
Bukan hal yang aneh jika karyawan McCloud Company menginap di kantor. Perusahaan ini menerima proyek advertising dan graphic design. Jadi jangan heran kalau tiba-tiba saja ada seseorang yang tertidur pulas di kolong meja, seperti sebongkah mayat. Itu betul-betul pemandangan yang biasa.
“Minum, nih!” kata Nugraha sambil menyodorkan secangkir kopi panas. Wajahnya sama berantakannya dengan Sam. Cowok ini satu tim dengan Sam, selama tiga tahun terakhir. Jelas-jelas, sebagai teman senasib dan seperjuangan, ia tahu apa yang paling dibutuhkan dalam kondisi begini.
Tanpa berkata-kata, Sam meraih cangkir itu dan menenggak isinya sampai habis. Ia kemudian larut kembali dalam pekerjaannya berjam-jam kemudian. Hari itu benar-benar hari yang panjang. Entah berapa belas jam Sam dan timnya bekerja.
Yang jelas, begitu pekerjaan itu selesai, Sam langsung terkapar di kolong mejanya, seolah-olah lantai yang dingin dan keras itu seempuk kasur bulu angsa.