Halo, Sayang. Daddy Rindu

1326 Words
07 Acara pemberkatan pernikahan Patrick Rayes dan Gabriella Richardson telah usai tiga puluh menit lalu. Para tamu berpencar untuk menyicipi hidangan yang disediakan pemilik acara. Vlorin menyuapi Mackynzie dengan hati-hati, terutama karena anaknya bergerak lincah hingga harus dipegangi. Nicholas yang menyaksikan Vlorin kewalahan, akhirnya mengangkat bocah laki-laki bersetelan jas biru tua mengilat dan memangkunya. "Tetap di sini, Jagoan," tutur Nicholas sambil memegangi lelaki kecil yang hendak turun. "Dia sangat aktif," balas Vlorin sembari melanjutkan aktivitasnya. "Tidak apa-apa. Berarti dia sehat." Vlorin mengangguk. Dia memindai sekitar, lalu berkata, "Tamunya kebanyakan orang tua." "Ya, orang tuaku memang membagi undangan. Saat resepsi nanti, akan banyak teman-teman Gabriella." "Apa akan ada teman sekolah kami?" "Mungkin." Vlorin mendengkus pelan. "Berarti Mackynzie tidak diajak ke pesta." "Kenapa?" "Akan banyak pertanyaan tentang dia." "Katakan saja, ini anakku." Vlorin menaikkan alis. "Bagaimana mungkin ini anakmu? Dia tidak sepenuhnya seperti kita." "Katakan padaku, apa ayahnya orang Asia?" Vlorin tertegun sesaat. "Sudah kukatakan sejak dulu, aku tidak akan menyebutkan siapa ayahnya." "Aku curiga dengan pria Asia yang bertemu dengan kita di bandara." Vlorin berusaha mempertahankan ekspresi wajah agar Nicholas tidak mengetahui jika dirinya tengah terkejut. "Tidak ada hubungan dengannya." "Tapi, dia memaksa untuk mengajakmu bicara berdua." "Aku tidak tahu alasannya dia ingin begitu. Karena kami tidak pernah berhubungan sama sekali semenjak dia pergi dari Brisbane." Nicholas mengamati perempuan bergaun salem yang sedang merapikan rambutnya yang tertiup angin. "Apa mungkin, dia teman dari kekasihmu?" "Nic, aku sedang tidak berniat bicara apa pun tentang orang di masa lalu." "Tapi ...." "Aku titip Mack." Vlorin berdiri dan jalan menuju stand makanan. Dia sengaja menjauhi Nicholas karena tidak mau dicecar. Vlorin mengambil piring berisi potongan daging dari asisten koki. Dia hendak mengambil yang lainnya ketika satu tangan terulur dari sebelah kanan dan memegangi lengannya. "Russel?" Vlorin membeliakkan mata. "Bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanyanya. "Aku merindukanmu. Jadi aku menyusul ke sini," seloroh Russel sembari mengambil potongan daging dari piring Vlorin, dan menyuapkannya ke mulut. "Sudah kubilang, aku sedang cuti." "Dan aku juga sudah mengatakan, waktu cutimu hanya tiga hari. Terakhir, kemarin." "Jangan mengada-ada! Mana mungkin aku harus bekerja saat weekend?" "Padaku, harus begitu. Weekend ini kamu kerja sebagai pengasuh anakku." "Ini tidak lucu!" "Jangan memajukan bibir seperti itu. Aku jadi ingin menciumimu." Vlorin memutar bola mata karena jengah. "Aku bukan kekasihmu, Bos." "Ya, memang bukan. Tapi, kamu calon istriku." "Lamaranmu sudah kutolak." "Aku akan melamar lagi." "Pasti tidak akan kuterima." "Aku akan terus mengajukan setiap bulan sampai kamu bosan dan akhirnya menerimaku." "Hanya dalam mimpi!" "Apa kalian sudah selesai berdebat?" tanya Nicholas yang telah hadir di belakang Russel. "Ya." Pria bermanik mata biru mengabaikan Nicholas dan langsung mengulurkan kedua tangan untuk mengambil Mackynzie dari gendongan rivalnya. "Halo, Sayang. Daddy rindu," bisiknya sembari menciumi kedua pipi lelaki kecil yang spontan memeluknya erat. Nicholas berdecih. Dia kesal karena Russel tiba-tiba muncul dan merusak rencananya untuk berkencan dengan Vlorin. Nicholas mengamati interaksi Russel dan Mackynzie. Rasa kesalnya kian meningkat, karena kentara sekali lelaki kecil tersebut menyayangi Russel. Vlorin mengambil piring lain yang diberikan asisten koki. Dia menambahkan kentang, saus dan lain-lain, kemudian bergegas kembali ke meja sambil mengajak Russel serta Nicholas untuk ikut duduk bersamanya. Vlorin bersantap sendirian dengan cepat. Dia benar-benar lapar dan butuh banyak asupan demi kelancaran ASI. Berbeda dengan perempuan kebanyakan, Vlorin tetap memberikan ASI pada anaknya. Meskipun tetap dibantu s**u formula jika dia sedang bekerja dan Mackynzie dititipkan pada pengasuhnya. Sementara itu di tempat berbeda, Jourell tengah berbincang dengan Clay. Pria berkulit putih menjelaskan semuanya pada sang detektif, yang mendengarkan dengan saksama sambil membuat catatan di buku kecil. Keduanya berbincang serius selama hampir satu jam. Kemudian Clay berpamitan dan berjanji akan langsung berangkat ke Brisbane nanti malam, untuk menunaikan tugas penyelidikannya. Sepeninggal Clay, Jourell mengamati foto anak Vlorin yang didapatnya dari Hansel. Dia meng-crop foto itu hingga hanya ada Vlorin dan lelaki kecil, sedangkan sisanya dihilangkan. Jourell mengusap wajah bocah dalam foto sambil membatin bila anak itu nyaris serupa dengan dirinya semasa kecil. Jourell bertanya-tanya dalam hati tentang identitas anak berpipi tembam yang sangat lucu. "Jika kamu memang anakku, maka aku akan berjuang mendapatkanmu," gumam Jourell. "Bila Vlorin tidak mau menikah denganku, segala cara akan kulakukan untuk mengambilmu darinya," lanjutnya. Tatapan Jourell berpindah pada perempuan dalam foto yang tidak banyak perubahan dari yang diingatnya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku jika sedang hamil, Vlo?" tanyanya tanpa ada yang menyahut. "Aku tidak akan kabur dan pasti bertanggung jawab menikahimu. Tapi, kamu memilih menjauh dan menyembunyikan anakku. Itu, jahat, Vlo!" desisnya. *** Jalinan waktu terus bergulir. Sudah hampir seminggu berlalu semenjak perjumpaan dengan Jourell di bandara Sydney. Vlorin serta Russel dan Mackynzie telah kembali ke Brisbane. Hari pertama bekerja, Vlorin langsung ditarik Bethany ke ruangannya. Sang sekretaris membisikkan kabar jika selama beberapa hari terakhir, ada seorang pria yang mencari tahu tentang Vlorin pada orang-orang kantor. "Siapa dia?" tanya Vlorin. "Aku tidak tahu," jawab Bethany. "Apa dia juga menanyaimu?" "Aku selalu menghindar hingga dia tidak bisa menemuiku." "Lalu, siapa saja yang sempat ditanyainya?" "Bibi Mandy, dan beberapa petugas kebersihan." Vlorin mendengkus. "Aku jadi penasaran." "Kamu harus berhati-hati." "Ya, tentu saja." "Sampaikan pada pengasuh agar menjauhkan Mack dari orang asing." Vlorin mengangguk mengiakan. Dia meraih ponsel dari baugette bag hitamnya untuk menghubungi Nora Lin, perempuan berusia empat puluh tahun yang menjadi pengasuh Mackynzie sejak lahir. Nora merupakan perempuan keturunan Tionghoa. Dia menikah dengan sopir keluarga Knight bernama Xavier dan memiliki dua anak yang beranjak remaja. Setiap pagi suami Nora akan menjemput Vlorin dan Mackynzie di unit apartemennya. Setelah mengantarkan perempuan tersebut ke kantor, Xavier mengajak Mackynzie ke rumahnya agar bisa diasuh Nora. "Aku baru mau mengabarkan padamu, Vlo. Sudah dua hari ini ada pria bercambang yang sering mondar-mandir di depan rumah," terang Nora yang mengejutkan Vlorin. "Apa Bibi sempat bertemu langsung dengannya?" tanya Vlorin. "Tidak. Lucius tadi memergokinya dan hendak ditanyai, tapi pria itu langsung pergi." Vlorin memejamkan mata sesaat. Dia mulai khawatir jika ada orang yang tengah mengintai untuk menculik anaknya. "Bi, usahakan agar Mack tidak keluar rumah. Aku takut terjadi sesuatu padanya." "Ya, Vlo. Dia tetap di dalam rumah dan hanya akan keluar bersamaku dan pamannya." "Baik, Bi, dan terima kasih banyak telah membantuku merawat Mackynzie." "Hey! Dia anakku juga!" Vlorin mengulum senyuman. Dia sangat bersyukur karena keluarga Nora sangat menyayangi Mackynzie. Demikian pula dengan keluarga Russel, Bethany dan Alicia serta Maxim. Vlorin memutus sambungan telepon dan meletakkan ponsel ke meja kerja. Dia berpindah ke dekat jendela untuk mengamati awan putih berarak melintasi langit biru terang. Vlorin menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia harus menguatkan hati dan percaya, jika tidak ada masalah yang berarti. Vlorin mensugesti diri untuk bisa tetap kuat dalam menjalani ujian kehidupan. Terutama karena ada Mackynzie yang menjadi tanggung jawabnya. Matahari bergeser cepat ke barat. Jourell baru usai rapat dengan tim proyek baru, ketika ponselnya berdering dan nama Clay tertera pada layarnya. Pria bersetelan jas biru tua berdiri dan jalan menjauh sambil menerima panggilan. Jourell berhenti di depan jendela, lalu mengarahkan perhatian ke taman samping gedung yang terlihat teduh. "Nama putranya, Mackynzie Pearce. Lahir pada tanggal 24 Desember, hampir dua tahun lalu di sebuah rumah sakit di Brisbane," terang Clay yang mengagetkan Jourell. Jourell menghitung waktu pertemuannya dengan Vlorin, lalu menguranginya dengan hari lahir Mackynzie. "Berarti sekarang usianya sekitar satu setengah tahun, betul?" tanyanya. "Ya, Bos." "Apa kamu sudah mendapatkan alamatnya Vlorin?" "Belum. Sangat sulit mengorek informasi tentangnya dari orang-orang kantor Knight Grup." "Apa tidak bisa menanyai orang lain?" "Sedang diusahakan. Aku tengah mengekori mobil suami pengasuhnya." "Ke mana?" "Sepertinya dia menuju kantor Vlorin." "Jangan sampai lolos!" "Siap!" Jourell memutus sambungan telepon. Dia berdoa dalam hati agar Clay berhasil menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Setelah itu, Jourell akan langsung berangkat ke Brisbane dan mendatangi Vlorin. Pria berhidung bangir ragu-ragu untuk menemui Vlorin di kantornya, karena Jourell yakin jika Russel akan menanyainya, bahkan mungkin akan memaksanya menceritakan kisah cinta satu malam antara Jourell dan Vlorin. Jourell menjengit ketika ponselnya berbunyi. Dia mengecek nama penelepon, lalu menekan tanda hijau pada layar. Jourell menempelkan telepon genggam ke telinga kanan dan hendak menyapa terlebih dahulu. Namun, kabar terbaru dari sang penelepon membuatnya terpaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD