05
Jalinan waktu terus bergulir. Kandungan Vlorin kian membesar. Dia deg-degan menanti waktu persalinan, terutama karena belum menceritakan hal itu pada keluarganya di Gold Coast.
Akan tetapi, siang itu Vlorin benar-benar terkejut karena kehadiran kakaknya, Dillbert Pearce yang memang tidak mengabari adiknya jika hendak datang. Keduanya saling menatap dengan berbagai ekspresi, sebelum Dillbert memasuki unit Vlorin dan menutup pintu.
"Ternyata yang dikatakan Nicholas itu benar," ucap Dillbert sambil mengamati adiknya lekat-lekat. "Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?" tanyanya.
Vlorin menggeleng pelan. Dia masih kaget dengan kemunculan Dillbert yang tiba-tiba. Otak Vlorin buntu dan dia tidak bisa memikirkan jawaban terbaik atas pertanyaan lelaki berkemeja putih gadis horizontal.
"Vlo, jawab pertanyaanku," pinta Dillbert sembari menyambangi perempuan bergaun biru panjang dan memeluknya dengan hati-hati. "Aku tidak marah. Hanya penasaran saja," lanjut sambil mengusap rambut Vlorin yang telah dipotong lebih pendek.
"Aku tidak bisa mengungkapkannya, karena ... aku khawatir Papa dan Mama akan marah," cicit Vlorin.
"Ya, itu betul. Tapi, semarahnya pun, mereka tidak akan memintamu menggugurkan kandungan. Justru, kita akan hadapi ini sama-sama."
Vlorin memejamkan mata sambil mengeratkan pelukan pada lelaki yang sejak dulu selalu melindunginya. "Aku bisa menjalaninya sendiri."
Dillbert mengurai dekapan dan merapikan rambut perempuan yang terlihat lebih berisi. "Kita bersaudara. Masalahmu, jadi urusanku juga."
"Hmm."
"Sudah berapa bulan usia kandunganmu?"
"Tujuh bulan."
"Berarti, waktu kamu pulang Juli kemarin, sudah hamil?"
"Ya, sekitar dua bulan."
"Aku tidak menyadarinya."
Vlorin mengulum senyuman. "Kamu memang tidak peka."
Dillbert mendorong pelan lengan adiknya, kemudian dia mengajak Vlorin duduk di sofa. Keduanya berbincang dari hati ke hati. Namun, Vlorin tetap tidak menyebutkan siapa pria yang telah membuahi rahimnya.
Dillbert enggan memaksa, karena tahu itu akan tidak nyaman buat Vlorin. Akhirnya dia membiarkan sang adik tetap bungkam, dan Dillbert akan menunggu kebenaran terungkap suatu saat nanti.
Pria berkulit kecokelatan menghubungi Alicia yang datang sore itu bersama Maxim. Russel juga turut diundang dalam rapat mendadak tersebut, karena Vlorin meminta sang bos untuk hadir.
Percakapan serius itu berlangsung alot. Vlorin bersikeras untuk melahirkan di Brisbane. Sementara Dillbert ingin mengajaknya pulang ke Gold Coast.
"Mohon maaf menyela, tapi menurutku, keputusan Vlorin sudah tepat," ungkap Russel yang menyebabkan dirinya dipandangi keempat orang lainnya.
"Rumah kalian berada di tempat terpencil. Akan sulit membawa Vlorin ke rumah sakit besar di kota, jika ada kendala saat proses melahirkan nanti," lanjut Russel.
"Jika di sini, semua fasilitas lengkap. Aku juga telah menyiapkan seorang pengasuh untuk bayi, agar Vlorin bisa beristirahat. Sedangkan untuk makanan dan lain-lain, Alicia sudah menyanggupi mengurus bagian itu," pungkas Russel yang dibalas anggukan perempuan yang dimaksud.
Dillbert terdiam sejenak. Dia memikirkan ucapan pria yang lebih tua darinya di kursi seberang, sebelum akhirnya Dillbert mengakui jika perkataan Russel itu benar.
"Okay, aku setuju," tutur Dillbert. "Tapi, aku juga meminta agar setelah lebih kuat, Vlo dan anaknya segera pulang. Agar keluarga kami bisa ikut mengurus anaknya," paparnya.
"Aku tidak mau!" tegas Vlorin. "Aku bisa merawatnya sendiri, maksudku, dengan bantuan pengasuh," terangnya.
"Tapi, Vlo ...."
"Aku baru akan pulang setelah anakku cukup besar."
"Itu masih lama."
"Aku dan Alicia akan membantu Vlorin," celetuk Maxim.
"Aku juga," imbuh Russel.
Dillbert menatap orang-orang di sekitar. Dia berdecih karena telah kalah suara dan terpaksa menerima keputusan Vlorin. Russel bergeser untuk merangkul pundak Dillbert. Kemudian dia memandangi Vlorin yang balas menatapnya saksama.
"Bantu aku untuk membujuk adikmu agar mau menikah denganku," rayu Russel.
"Bagaimana aku bisa membantumu? Sekarang saja dia sudah berani menentangku," jawab Dillbert.
"Aku tidak mau menikahimu, Bos," timpal Vlorin. "Kita tidak akan pernah akur dan selalu berdebat. Aku tidak mau memberi contoh buruk buat anakku. Lebih baik aku tetap sendiri," pungkasnya.
***
Sepanjang beberapa hari terakhir, perasaan Jourell tidak menentu. Dia merasakan sakit pinggang dan perut yang muncul timbul tenggelam. Hingga mencapai puncaknya tepat di malam Natal.
Sebab tidak kuat menahan sakit, Jourell meminta diantarkan Tristan ke rumah sakit terdekat. Dedi dan semua pengawal diberikan libur selama seminggu. Hingga hanya Tristan yang bisa dimintai bantuan oleh Jourell.
Keduanya keluar dari pintu garasi, lalu memasuki mobil Lexus hitam milik Tristan yang diparkir di car port. Tidak berselang lama mobil mewah tersebut telah melaju keluar dari kediaman Desmond Cyrus.
Natasha mengintip dari balik gorden kamar Tristan yang menghadap ke depan rumah. Dia kasihan pada Jourell yang kentara sekali kesakitan, hingga tubuhnya berkeringat dan gemetaran.
Natasha tidak bisa ikut ke rumah sakit, karena tidak mungkin dia meninggalksn putranya tanpa pengasuh. Gracia, Ibu Tristan dan Jourell telah terlelap sejak tadi karena kelelahan memasak hidangan untuk hari raya.
Natasha juga tidak bisa menitipkan Deandre Anzel Cyrus pada asisten rumah yang juga sama letihnya dengan sang mertua. Kedua sepupu Tristan yang diminta menemani Desmond dan Gracia, masih sangat muda, hingga belum bisa mengurus bayi dengan baik.
Puluhan menit terlewati, Jourell masih berbaring di ranjang khusus pasien. Dia telah diberikan suntikan pereda sakit dan mulai mengantuk.
Tristan memandangi adiknya yang terlihat pucat dan lemas. Dia butuh bantuan orang untuk menjaga Jourell, karena pagi-pagi dia harus pulang untuk menginformasikan hal itu pada keluarganya.
Tristan akhirnya memutuskan untuk menelepon sahabat terdekatnya dan menjelaskan situasi terkini. David meminta Tristan untuk menunggu, sementara dia akan mencari bantuan.
Sekian menit terlewati, Tristan terkejut ketika ditelepon Alvaro. Dia mengangkat panggilan dari komisaris PBK dan PB serta BPAGK, lalu mendengarkan penuturan Alvaro dengan saksama.
Tiga puluh lima menit berikutnya, Alvaro, Yanuar, Tio dan David muncul bersama beberapa pengawal muda keluarga Pramudya. Tristan begitu senang karena rekan-rekannya cepat bergerak untuk membantunya.
"Mas pulang aja dan istirahat. Aku, Yanuar dan dua pengawal muda yang akan menjaga Jourell," tukas Alvaro, setelah bersalaman yang Tristan.
"Merepotkan nggak, Var?" tanya Tristan.
"Enggak. Besok kami libur. Sedangkan Mas dan Mas David harus ke gereja. Jourell biar kami yang urus."
"Ehm, ya. Tapi besok pagi aku balik ke sini."
Alvaro menggeleng. "Mas nikmati saja waktu berkumpul dengan keluarga. Jourell aman bersama kami."
"Turuti aja, Mas. Daripada Varo nanti ngambek," seloroh Tio.
"Varo benar, Tris. Aku besok agak siangan mau ke sini lagi. Penasaran juga dengan penyakit yang diderita Jourell," papar David.
"Makasih banyak, Gaes. Aku nggak tahu gimana cara membalas budi kalian," cetus Tristan.
"Cukup antarkan sate dan lontong buatan Mama Gracia besok pagi," kelakar Yanuar.
"Sip. Besok kubawakan," sahut Tristan.
"Ehm, Mas, baju ganti Jourell, sudah dibawa?" tanya Alvaro.
"Belum. Kami buru-buru ke sini." Tristan berpikir cepat, lalu berkata, "Bisa pakai bajuku. Nanti kuambil tas dari mobil."
"Ya. Azhar nanti ikut ke mobil. Jadi Mas bisa langsung pulang."
"Ehm, kalian tidur di mana? Cuma ada satu sofa. Pasti nggak muat dipakai ramai orang."
"Kami bawa bedcover beberapa set. Bisa pakai itu."
"Keras, dong, Var."
"Sudah biasa, Mas. Kalau lagi dinas, kadang kami tidur di lantai juga, tetap pulas."
"Jangan kaget, Mas. Badan mereka dari batu," canda Tio yang membuat Tristan tersenyum.
***
Jourell terkejut ketika terbangun pagi itu dan melihat Alvaro serta Yanuar tidur di lantai samping kanan ranjang. Jourell memindai sekitar. Dia baru menyadari bila ada dua pengawal lain yang tidur di sofa dengan posisi bertemu kepala. Sedangkan kaki mereka menjejak ke lantai.
Jourell hendak memanggil Yanuar yang posisinya paling dekat. Namun, suaranya tidak bisa dikeluarkan. Jourell memaksa agar bisa berucap, hingga akhirnya dia terbatuk-batuk.
Azhar yang lebih dahulu bangun, segera bangkit duduk. Dia memandangi Jourell yang menunjuk ke botol minuman di lemari samping kiri ranjang. Azhar berdiri dan jalan untuk mengambilkan botol itu, lalu memberikannya pada Jourell.
Azhar memutari ranjang untuk membangunkan kedua bosnya. Kemudian dia kembali ke sofa untuk mengguncangkan lengan Jeffrey yang segera tersadar.
"Sudah bangun, Bro?" tanya Alvaro setelah duduk.
"Hmm." Jourell berusaha untuk duduk, tetapi lengannya tidak mampu menyangga tubuh.
Azhar bergegas menyambangi ranjang dan membantu sahabat bosnya untuk duduk. Lelaki berkaus hitam lengan panjang menumpukkan dua bantal agar Jourell bisa menyandar.
Alvaro berdiri, lalu jalan ke kamar mandi. Tidak berselang lama dia keluar dengan wajah basah dan bergegas menarik ransel dari pinggir meja.
"Yan, bangun," ujar Alvaro sembari menggoyang-goyangkan kaki sahabatnya.
"Jam berapa, Bang?" tanya Yanuar sambil mengerjap-ngerjapkan mata.
"Jam tujuh."
"Ha?" Yanuar spontan bangkit duduk. "Kok, elu nggak bangunin gue buat salat Subuh?" tanyanya.
"Sudah, Sipitih. Tapi elu cuma hmm, hmm, doang."
"Masa?"
"Azhar sama Jeffrey saksinya."
Yanuar memandangi kedua ajudan yang serentak mengangguk. "Harusnya kalian guncangin badanku."
"Sudah dua kali, Bang," jawab Azhar.
"Aku juga kitik-kitik, tapi Abang tetap nggak bangun," sahut Jeffrey.
Yanuar menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian dia menengadah untuk mengamati sang pasien. "Bro, sudah lebih sehat?" tanyanya.
"Hu um," cicit Jourell. "Tapi perutku masih nggak nyaman," keluhnya.
"Kita tunggu dokternya visit. Kayaknya jam sembilanan baru muncul," sela Alvaro. "Mas Ben sudah nelepon Mas John, nanti beliau yang ngecek kamu," lontar yang dibalas anggukan Jourell.
Sementara itu di salah satu rumah sakit di Brisbane, Vlorin juga baru terbangun. Dia mencari-cari sang bayi yang telah dilahirkannya awal malam.
Sore kemarin, Vlorin tanpa sengaja terpeleset di tangga sebuah toko di dekat apartemennya. Nahasnya, dia jatuh telentang dan seketika ketubannya pecah.
Bethany yang tengah menemani Vlorin, bergegas meminta bantuan petugas keamanan toko. Mereka bekerjasama memindahkan Vlorin ke mobil dan melarikannya ke rumah sakit terdekat.
Alicia, Maxim dan Russel segera datang untuk menemani Bethany. Mereka bertahan menunggui Vlorin hingga usai melahirkan.
Alicia menelepon Dillbert yang berjanji akan segera datang. Kedua orang tua Vlorin telah mengetahui kabar kehamilan putrinya beberapa hari silam dari Dillbert. Mereka memang berniat akan datang ke Brisbane, karena Vlorin tidak bisa pulang ke kampung halaman untuk merayakan hari raya keagamaan.
"Hello, Sunshine," ucap Russel yang baru keluar dari toilet.
Vlorin memaksakan senyuman. "Anakku di mana?" tanyanya dengan suara lemah.
"Di ruang bayi. Aku belum mahir mengurusnya, jadi aku meminta bantuan perawat di sana."
"Aku ingin menemuinya."
"Nanti kuinfokan ke perawat." Russel menghampiri perempuan yang wajahnya masih pucat. "Apa kamu mau makan?" tanyanya.
"Ehm, ya."
"Tunggu sebentar. Aku tanya dulu ke perawat jaga."
Russel keluar. Vlorin mengamati ketiga orang yang tidur di tiga sofa panjang di sudut ruang perawatannya. Sebab kelahirannya mendadak, mereka tidak sempat memesan kamar VVIP dan hanya bisa menempati kelas utama.
Vlorin mengalihkan pandangan ke jendela yang gordennya terbuka. Langit terang terlihat menyilaukan. Dia memikirkan nasibnya ke depan akan seperti apa. Terutama karena ada satu makhluk mungil yang menjadi tanggung jawabnya.
Vlorin menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Terlintas raut wajah Jourell yang sama sekali tidak pernah menghubunginya.
Vlorin mendadak membenci pria itu dan bertekad akan tetap menyembunyikan putra mereka dari Jourell. Sebab dia khawatir, bila pria itu mengetahui tentang
Mackynzie Pearce, belum tentu Jourell akan mengakuinya sebagai darah dagingnya.
Selain itu, kemungkinan kedua adalah Jourell akan berusaha merebut hak asuh Mackynzie dan Vlorin tidak mau itu terjadi.
Perempuan berparas cantik juga tidak mau melakukan tes DNA pada putranya. Dia sudah memutuskan akan terus menyimpan rahasia tentang Ayah sang putra, sampai kapan pun.