Part 14

1516 Words
Akhir minggu itu, seperti biasa acara kumpul dua keluarga itu dilanjutkan sampai acara makan malam. Selesai makan malam, para orang tua minum teh di ruang tengah sambil mengobrol. Sedangkan Eyrin dan Regar duduk di ruang santai di lantai dua, menonton acara reality show dan sesekali gelak tawa terdengar dari keduanya. Edgar yang baru saja keluar dari ruang kerjanya dan hendak langsung menuju kamar, menghentikan langkahnya melihat Regar dan Eyrin. Eyrin yang duduk bersandar di sofa, memegang toples kue coklat sedangkan Regar membaringkan kepala di paha Eyrin. Tepatnya di kulit telanjang paha Eyrin. Lagi-lagi percikan api memenuhi d**a Edgar, karena begitu cerobohnya istrinya mengenakan hotpants yang memamerkan nyaris seluruh permukaaan kulit paha. Ditambah kaos tanktop yang tentu saja hanya menutupi d**a dan perut. Tidak sadarkah Eyrin bahwa berpakaian seperti itu, di hadapan seorang pria dewasa mampu memancing hasrat yang ... tidak. Edgar tak bisa membayangkan Regar dan Eyrin lebih dari ini. Cukup ini saja membuatnya gemuruh di dadanya menjadi tak tertahankan. “Eyrin?” Geraman tertahan Edgar mengalihkan perhatian Eyrin dan Regar dari layar TV. Keduanya melirik kedatangan Edgar dengan sikap tenang dan sama sekali tak merasa perlu memperbaiki posisi di hadapan pria itu. Atau siapa pun yang datang pada mereka. “Ya?” Edgar berhenti tepat di depan keduanya. Menarik lengan Eyrin hingga berdiri dan kepala Regar terbanting di sofa. Regar mengaduh, bangkit terduduk dengan tangan mengusap kepala bagian belakangnya. “Kenapa?” tanya Eyrin tak mengerti. “Sudah malam. Kita kembali ke kamar.” Edgar tak membiarkan Eyrin membuka mulut untuk menolak ajakannya, menyeret wanita itu menuju kamar mereka. Regar tertegun menatap punggung Eyrin dan Edgar yang menjauh. Menatap layar televisi dengan desahan yang panjang. Kemudian kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Sepi dan terasa mengganjal. Dan tidak ada Eyrin. Huftt .... ‘Haruskah ia menikah juga?’   ***   “Apa kau biasa berpakaian seperti itu di hadapan Regar?” Eyrin hanya melongo. Tiga kali mengulang pertanyaan Edgar dalam hati, tetap saja ia tak mengerti. “A-apa maksudmu?” “Lihat dirimu?” Eyrin menunduk. Tidak ada yang salah dengan hotpants dan tanktopnya. “Kenapa? Apa ada yang salah?” “Penampilanmu benar-benar mengundang. Kau bahkan membiarkan pria dewasa berbaring di pahamu.” “Regar?” “Kaupikir?” “Kenapa akhir-akhir ini kau menjadi aneh, Edgar?” “Aneh?” “Ya, semua tentangku dan Regar terlihat salah di matamu. Ada apa denganmu?” “Aku tidak suka dengan kedekatanmu dan Regar.” “Bukankah ini terlalu terlambat mengatakannya? Dua puluh tiga tahun kami bersahabat dan kau baru mengungkapkan ketidaksukaanmu kepada hubungan kami sekarang?” “Intinya sekarang aku keberatan,” ungkat Edgar keras kepala. “Beri kami alasan.” “K-karena ... sekarang kau sudah menjadi istriku.” “Lalu?” “Aku tak suka  melihat istriku sebebas itu dengan pria lain.” “T-tapi dia adikmu.” “Dia pria dewasa,” tandas Edgar. Eyrin diam. Matanya menyipit, mencermati setiap inci wajah Edgar penuh curiga. “Jangan bilang ini karena kau cemburu, Edgar?” Edgar terpaku. Dengan tuduhan Eyrin. Ia ingin menyangkalnya, tapi entah kenapa kepalanya bergerak dengan sendirinya. Mengangguk tanpa seijinnya. Anggukan kepala Edgar membuat Eyrin terkejut. Tak memercayai apa yang dilihat oleh matanya. “K-kau benar-benar cemburu? Pada adikmu sendiri.” Rasanya Edgar ingin mengelupas kulit wajahnya karena rasa malu akan pengakuan tak terduganya tersebut. Akan tetapi ia pun tak bisa membiarkan perasaan bernama cemburu itu terus-terusan memenuhi dadanya setiap ia melihat kedekatan Eyrin dan Regar. Dan pilihan menegaskan gejolak yang selama ini terpendam di hatinya adalah piliha yang tersisa, agar ia tak terlalu memalukan di hadapan Eyrin saat ini. Menegaskan perasaan yang entah sejak kapan mulai tumbuh di hatinya. “Kau masih ingat dengan janji kita, kan?” tanya Edgar. “Janji?” “Janji saat kita memulai keseriusan dalam pernikahan ini?” Eyrin masih ingat. Ia mengangguk sekali dengan perlahan. “Kau adalah milikku. Seutuhnya. Dan aku tidak suka milikku disentuh oleh orang lain.” Eyrin tak asing dengan prinsip hidup Edgar yang satu itu. Bahkan Regar tak berani menyentuh mobil Edgar karena begitu teguhnya akan prinsip hidup Edgar yang satu itu. “Dia adikmu.” “Juga pria dewasa.” “Dia sahabatku.” “Kau istriku. Wanitaku. Milikku. Aku lebih berhak atas hidupmu daripada dia.” “Regar tak pernah melihatku seperti yang kaupikirkan, Edgar. Dan aku juga tak melihat Regar seperti yang kaupikirkan.” “Tetap saja interaksi kalian berdua membuatku gerah. Bahkan orang-orang di kantor melihat Regarlah suamimu. Bukan aku.” Eyrin diam lagi. Kebingungan untuk berdalih sekaligus masih belum memahami cara pandang Edgar terhadap hubungannya dengan Regar. Adakah seorang suami yang cemburu pada saudaranya sendiri? “L-lalu ... apa yang ingin kaulakukan?” “Jauhi Regar.” Eyrin mulai sangsi. “Itu ... tidak masuk akal. Sekarang kau juga menjadi tidak masuk akal.” “Kalau begitu pilih aku atau Regar?” Eyrin tercengang. Keseriusan di wajah Edgar membuatnya menelan ludah. Setiap perkataan Edgar sejak mereka masuk ke kamar tampaknya sama sekali tidak bercanda. Pria itu benar-benar serius untuk setiap kata yang diucapkan. “Kau pilih aku atau Regar?” Edgar mengulang pertanyaannya. Baginya Edgar dan Regar bukanlah pilihan. Keduanya sangat berarti dengan cara masing-masing dan Eyrin membutuhkan keduanya. Kebingungan, Eyrin memilih menghindari pembicaraan yang semakin tak terkendali ini. Edgar menangkap pergelangan tangan Eyrin. “Tentukan pilihanmu, Eyrin.” “Jika aku memilih Regar, apa kau akan menceraikanku?!” sentak Eyrin sambil mengempaskan genggaman Edgar dari tangannya. Ia tak bermaksud berbicara sekasar itu pada Edgar, tapi mendadak sikap pria itu menjadi menyebalkan. Edgar tercengang. Keduanya saling bertatapan dengan ketegangan yang mendadak mencapai titik puncak. Cekalan tangannya melonggar dan Eyrin langsung masuk ke kamar mandi. Saat wanita itu keluar lima menit kemudian, Eyrin langsung berbaring memunggungi sisi ranjang tempat Edgar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Edgar yang duduk di sofa, meletakkan ponsel di meja nakas, membersihkan diri di kamar mandi sebelum ikut berbaring. Menghadap punggung Eyrin. Hening sangat lama. “Maaf, mungkin aku yang terlalu berlebihan,” gumam Edgar lirih. Menyentuhkan telapak tangannya di pundak Eyrin sepelan mungkin. Tahu wanita itu belum memejamkan mata seperti dirinya. Eyrin masih bergeming. Memasang telinganya baik-baik untuk mendengar kalimat Edgar selanjutnya. ‘Kau memang berlebihan.’ Eyrin membenarkan dalam hati. “Aku ... tidak tahu apa yang terjadi. Sejak aku memandangmu seperti seorang istri, hubunganmu dan Regar tak terlihat sama seperti bertahun-tahun yang lalu.” Tubuh Eyrin membeku meki rasanya sejak tadi ia sama sekali tak bergerak dan tak bersuara. “Maaf jika hal ini membuatmu tak nyaman.” Edgar mengakhiri penjelasannya, menarik tangannya dan berbalik memunggungi Eyrin. Hening lagi. Eyrin mencerna kembali setiap kata-kata yang baru saja diucapkan Edgar, dengan nada meminta pengertian. Ia pun kembali diingatkan oleh kalimat Edgar pada malam itu. Malam ketika ia mengungkapkan keinginan untuk berpisah saja dari Edgar. Karena tak tahan dengan dinginnya pernikahan mereka. Yang ternyata karena Edgar tak sekedar menginginkan tubuhnya untuk membuat anak dan memenuhi harapan kedua orang tua mereka. Tetapi karena pria itu menginginkan lebih. ‘Pikirkan baik-baik, Eyrin. Jika kau memilih untuk maju, aku tak akan membiarkanmu mendapatkan kesempatan untuk mundur. Dan itu berarti kau akan menyerahkan seluruh hati dan tubuhmu untukku.’ ‘Apa aku juga akan mendapatkan hal yang sama darimu?’ ‘Saat ini, mungkin bukan cinta yang kita rasakan untuk satu sama lain. Tapi, kita akan berusaha melakukan itu. Jadi, ya. Aku akan memberikan apa yang kauinginkan dariku sama seperti yang kau berikan untukku. Apa itu melegakanmu?’ Tubuh dan hati. Dan saat itu ia berjanji akan menyerahkan seluruh tubuh dan hatinya untuk Edgar. Jadi ia pun akan menjaga apa yang diberikan oleh Edgar padanya. Termasuk perasaan cemburu yang pria itu rasakan untuknya. Karena kedekatannya dengan Regar. Regar adalah sahabat, saudara kandung, dan belahan jiwanya. Sejak kecil mereka selalu hidup bersama. Regar menjadi saudara perempuan yang tidak ia miliki saat ia membutuhkan. Melindunginya seperti saudara laki-laki yang tidak ia miliki saat ia membutuhkan. Sebagai tempat bersandar, memegang tangan, dan mengusap air matanya. Tertawa bersama, bahkan di saat-saat yang tidak memungkinkan untuk tertawa. Mengenal dirinya lebih dari siapapun di dunia ini, bahkan dari kedua orang tuanya. Sampai kemudian akhirnya Eyrian merasa kelelahan memikirkan semua itu dan memejamkan mata. Mulai ternyenyak dalam tidurnya.   ***   “Akhirnya, hari ini kita berhasil lagi.” Regar mencium berkas di tangannya dengan puas. Lalu mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut kepala Eyrin dengan gemas. Eyrin menepis tangan Regar dengan bibir manyun ke depan merapikan kembali tatanan rambutnya. “Akhir-akhir ini semua berjalan lancar untuk kita berdua. Jika seperti ini terus, kita akan cepat kaya.” Eyrin mendecakkan lidahnya. Mulai mencicipi berbagai macam jenis kue yang baru saja diletakkan pelayan. “Kenapa mamamu melemparkan pekerjaan ini pada kita? Regar memasukkan berkas di tangannya ke tas. Menatap bentuk-bentuk kue di hadapan mereka dengan enggan. Setelah ia berhasil mendapat tanda tangan klien mereka, mamanya mendadak menelpon dan menyuruhnya pergi ke toko kue. Untuk memilih kue yang akan mereka sajikan di acara ulang tahunnya lima hari lagi. “Aku tidak makan makanan manis, jadi pilihan ada di tanganmu.” “Tidak bisakah kita hanya memilihnya? Semua terlihat sangat enak.” “Mama berpesan untuk mengikuti nalurimu.” “Seleraku,” koreksi Eyrin sebal. “Dan nalurimu sebagai menantu keluarga kami,” dalih Regar disertai kikikan pelannya. Eyrin berganti dari satu kue ke kue yang lain. Mendadak ada rasa tak nyaman dengan kata menantu yang diucapkan oleh Regar. Hanya mengingatkan posisinya sebagai istri Edgar. Sambil mencicipi kue tersebut, pandangan Eyrin berkeliling ke meja-meja di sekitar mereka. Semua meja dipenuhi oleh pasangan pria dan wanita. Yang sibuk bercanda tawa, mengobrol, seperti yang ia lakukan bersama Regar. Ia membayangkan jika itu adalah Edgar, duduk bersama wanita lain. Interaksi semacam itu, memang begitu mudah mengundang fitnah. Dan yang pasti akan membuat hatinya dilanda kecemburuan. ‘Apakah ia memang harus sedikit menjaga jarak dengan Regar? Untuk menjaga perasaan Edgar sebagai suaminya?’ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD