Arin biasanya bangun tidur lalu berjalan mengambil handuk dan lalu melaksanakan ritual mandinya, tapi kali ini ia tidak bisa melakukannya. Kakinya masih berbalut kain casa. Sebaiknya ia melepaskan perban itu saja. Rafa sangat berlebihan kepadanya, padahal itu hanya luka kecil saja. Arin menatap gorden yang masih tertutup rapat, Arin lalu mencoba berdiri, berjalan mendekati jendela dengan kaki berjinjit.
"Biar, saya saja yang melakukannya".
Arin sudah hafal betul, siapa pemilik suara sexy itu. Arin lalu menoleh, dan menatap Rafa, yang sudah Rapi dengan balutan kemeja hitam, dipadu jas hitam senada. Arin dapat merasakan parfum mint dari tubuh Rafa. Apapun yang laki-laki itu kenakan semua terlihat sempurna di matanya. Arin hanya bisa menelan ludah.
Arin menatap penampilannya, terlihat sangat berantakkan. Arin dengan cepat merapikan rambutnya, dengan jari-jari tangannya. Rafa lalu mengambil alih horden itu, dan membuka untuknya.
Rafa tersenyum, dan ia tampak bersemangat, "Kamu sudah bangun rupanya".
"Iya" ucap Arin, ia nampak Kikuk dan malu.
"Saya sudah memesan sarapan untuk kamu, dan mungkin sebentar lagi, waitress akan datang".
Arin lalu duduk di sofa itu, "iya, terima kasih".
"Apa kaki kamu sudah baikkan?" Tanya Rafa. Ia memperhatikan kaki Arin.
"Sudah, seperti sudah sembuh, sebaiknya perban itu dilepas saja. Saya sudah tidak nyaman".
"Iya, sebaikknya di lepas saja" ucap Rafa, ia lalu berjongkok di hadapan Arin.
"Biar saya saja yang melepasnya, saya bisa sendiri" Arin mencegah Rafa untuk membuka perban itu. Tapi percuma Rafa telah melakukannya terlebih dahulu.
Arin semakin tidak enak jika seperti ini terus. Rafa memperlakukannya seperti ratu, yang selalu dilayani. Tindakkan Rafa selalu seperti ini terhadapnya.
Walaupun Arin menolak, ia tetap melakukannya. Ia tidak memperdulikan ucapan Arin. Rafa lalu membuka perban itu dengan hati-hati. Luka itu telah tertutup sempurna, Rafa tersenyum menatap hasilnya.
"Iya, sepertinya sudah lebih baik" Rafa lalu berdiri, kembali menatap Arin.
"Saya akan bertemu dengan klien saya hari ini, kamu tidak apa-apa kan saya tinggal sebentar?".
"Iya, saya tidak apa-apa, dan saya tidak akan kemana-mana".
Rafa tersenyum, lalu melangkah mendekat, ia membungkukkan badan. Mensejajarkan wajahnya, lalu di tatapnya wajah Arin lekat-lekat. "Jika terjadi apa-apa, kamu bisa menghubungi saya".
"Iya".
"Saya pergi kerja dulu" ucap Rafa.
Rafa lalu mendekati wajahnya lalu mengecup kening Arin. Rafa mengecupnya dengan segenap hatinya. Lalu melepaskan kecupan itu, dan Rafa tersenyum. Di kecupnya kembali bibir Arin. Hanya sebuah kecupan, yang sudah ia lakukan semalam. Sepertinya Arin harus membiasakan diri dengan sentuhan-sentuhannya. Agar Arin tahu, siapa dirinya sebenarnya.
"Jaga diri baik-baik" ucap Rafa lalu, melangkah menjauhi Arin. Dan ia bahagia.
Sementara Arin masih tidak percaya apa yang dilakukan Rafa kepadanya.
********
Arin semakin tidak mengerti atas tindak kan Rafa. Rafa memperlakukannya begitu manis semenjak pertama kali ia bertemu. Arin akui, Rafa romantis dan menawan, membuat siapapun wanita di dunia ini meleleh atas prilakunya. Rafa sangat ahli memperlakukan wanita, dan memanjakan wanita.
Rafa seperti aktor korea yang sering di tontonnya dalam versi nyata. Arin pikir bahwa aktor korea yang tampan dan romantis itu hanya karangan fiksi belaka, tapi kali ini ia percaya, bahwa laki-laki romantis seperti itu ada, kini ia bersamanya.
Arin duduk di sofa, dengan dress biru diatas lutut dengan motif floral menjadi pilihannya. Arin menatap tv flat yang berdiri angkuh di dinding kamar, ia lalu menghidupkan tombol power. Semenjak pertama kali ia menginjakkan kakinya di hotel ini, ia tidak pernah sekalipun menghidupkan Tv. Kali ini ia penasaran dan lalu menghidupkan TV itu. Menurutnya itu merupakan satu-satunya hiburan yang bisa ia lihat. Arin teringat, Rafa memberinya handphone, dan ia lupa membukanya. Karena kemarin ia hanya meletakkan kotak handphone itu di lemari.
Arin lalu berjalan ke arah lemari, dan ia mengambil kotak handphone berwarna putih itu. Arin lalu melangkah kembali ke sofa, ia menatap kotak handphone itu. Arin sempat terpana, karena Rafa mengganti handphone itu dengan merek terkenal. Sangat berbeda dengan handphonenya yang kemarin, hanya handphone murah dan biasa saja. Arin yakini handphone ini digandrungi dengan harga fantastis, banyak orang diluar sana menginginkan bahkan rela melakukan apa saja mendapatkan handphone tersebut.
Arin menatap bagian-bagian handphone itu. Satu set lengkap charge dan earphone. Arin lalu menghidupkan power, dan ia terpana, ternyata sudah lengkap dengan kartu untuknya. Arin memeriksa kembali di kotak tersebut, ia mendapatkan sticknote kecil berwarna kuning, bertulis dengan tinta hitam.
Semoga kamu suka.
Rafael
Arin tersenyum, setelah membaca tulisan itu. Apakah Rafa seperti ini terhadap semua wanita? Atau hanya untuk dirinya saja?. Oh Tuhan, ia bisa jatuh hati kepada laki-laki itu. Tanpa ia sadari, terdengar langkah kaki berjalan mendekat ke arahnya. Arin menatap Rafa, laki-laki itulah yang dari tadi ia pikirkan.
Rafa tersenyum menatapnya, dan Arin membalas senyuman itu. Hanya saling menatap, tatapan penuh arti, lisan tak mampu terucap. Ia tidak tahu dimana letak ketidak sempurnaan itu. Jantung Arin berdegup kencang, hanya dengan tatapannya saja.
"Terima kasih handphonenya, saya suka" ucap Arin.
"Syukurlah kalau begitu".
"Saya baru sempat membukanya" ucap Arin lagi.
Rafa meletakkan paper bag di meja. Arin hanya bisa melihat apa yang dibawa Rafa.
"Apa yang kamu bawa?" Tanya Arin.
Rafa lalu duduk disamping Arin, "Saya membelikan sneaker untuk kamu" Rafa lalu membuka paper bag dengan lebel terkenal. Rafa membuka kotak itu dan ia memperlihatkan sneaker berwarna putih.
Rafa lalu berjongkok, dan ia lalu melepaskan sendal hotel yang ia kenakan. Arin tidak tahu akan berbuat apa, ia seperti terhipnotis. Ia tidak memberontak ketika Rafa memasangkan sepatu itu di kakinya.
"Pas, cantik" ucap Rafa.
"Iya" hanya itu yang Arin ucapkan kepadanya.
******